MOJOK.CO – Pernyataan eks Pimpinan KPK agak sulit dipraktikkan untuk stafsus Andi Taufan Garuda. Pertama minta mundur. Kedua, berharap punya rasa malu.
Komentar keras Laode M. Syarif, mantan pimpinan KPK, ke staf khusus milenial Presiden memang tiada dua pedesnya. Hal itu muncul beberapa waktu lalu, saat Syarif menanggapi kelihaian Andi Taufan Garuda, sang stafsus milenial, yang mengirim surat ke camat se-Indonesia agar perusahaannya bisa berpartisipasi dalam program desa lawan COVID-19.
Kata Syarif, “Ini masih muda belajar memanfaatkan kesempitan untuk keuntungan pribadi melalui Amartha (perusahaannya sang stafsus). Ini contoh conflict of interest akut. Dia tidak layak menjadi staf khusus presiden.”
Walaupun kritik itu kelihatan udah pedes, tapi ternyata Syarif masih belum puas. “Harus mundur kalau punya malu,” kata Syarif lagi soal kelakuan stafsus milenial presiden ini.
Apa, apa? Kalau punya malu?
((kalau punya malu))
((malu))
???
Wait, wait.
Apa Bang Syarif ini sadar bahwa ada salah logika dalam pernyataannya tersebut? Terutama ketika pernyataan itu disampaikan kepada pejabat sekelas stafsus milenial presiden? Ini staf khusus lho. Bukan jabatan sembrambangan.
Oke, kamu mulai bingung dengan kesalahan logikanya? Oke, saya jelaskan.
Begini.
Pernyataan Bang Syarif ini merupakan dua hal yang agak sulit dipraktikkan. Pertama mundur dari jabatan mentereng, yang kedua, punya rasa malu. Semakin sulit lagi karena syarat mundur itu dibikin dengan pra-kondisi rasa malu.
Wah, makin runyam lagi. Kalau kondisinya nggak ada malu berarti nggak perlu mundur dong, Pak?
Terutama, kita sama-sama tahu, sebagai bangsa yang menjunjung tinggi adat ketimuran, kita sangat terbiasa untuk menyembunyikan kemaluan. Mau dalam bentuk fisik atau dalam bentuk perasaan.
Kepandaian menyembunyikan rasa malu semacam ini bahkan akan semakin terasa ketika seseorang punya jabatan publik yang mentereng. Rasa malu bisa tertanam begitu dalam sampai nggak bisa keluar lagi. Hm, mungkin karena rasa malu udah dianggap aurat sih, jadi nggak perlu ditunjukkan.
Apalagi tanpa disadari, hal semacam itu malah jadi syarat tak tertulis bagi seseorang yang ingin jadi pejabat di republik ini.
Ya iya dong, kalau kamu punya rasa malu kelewat besar, itu tanda kamu nggak cocok jadi pejabat negara. Apalagi jabatan macam stafsus milenial yang haters-nya banyak itu. Ya kalau mau bikin kelakuan yang malu-maluin mah nggak apa-apa, tapi kalau rasa malu? Ya nanti dulu.
Bahkan sebelum seseorang jadi pejabat, ia harus punya kepedaan yang luar biasa. Harus kampanye ke sana-sini, umbar janji-janji yang nggak masuk akal, fotonya dipajang di mana-mana. Itu kan malu-maluin banget. Ngotot amat ingin memanfaatkan uang negara. Kalau urat malu terlalu besar, yakin deh nggak ada bakat blas jadi pejabat.
Sekarang coba ngana bayangin juga kalau semua pejabat negeri ini rasa malunya udah ada dari dulu. Nggak bakal ada pejabat yang ketahuan korupsi masih bisa cengengesan ketika digelanggang oleh KPK. Nggak bakal ada cerita seorang menteri masih pede parah ketika dulu bilang ngapain pake masker kalau nggak sakit, tapi ujung-ujungnya minta semua orang pake masker juga.
Nggak bakal ada ceritanya itu semua, nggak bakal.
Bahkan kalau rasa malu masih ada di sanubari pejabat-pejabat negara, lembaga macam KPK nggak perlu ada. Ya iya dong, KPK itu ada karena pada dasarnya pejabat negara itu emang udah kelamaan dibiarin nggak punya urat malu lagi.
Bahkan dengan pemakain jaket oranye KPK (yang awalnya didesain untuk mempermalukan tersangka korupsi) pun masih kalah khasiatnya dengan dalamnya rasa malu pejabat kita.
Artinya, pernyataan Syarif M. Syarif ini beneran kontraproduktif. Kalau mau menyuruh stafsus milenial yang kebangetan supaya mundur itu hambokya nggak perlu bikin pra-kondisi aneh-aneh. Minta pejabat mundur kok harus ada embel-embel “kalau punya malu” segala.
Kayak punya aja.
BACA JUGA Pada Akhirnya Staf Khusus Milenial Memang Lebih Baik, Lebih Baik Bubar Maksudnya atau tulisan soal STAFSUS MILENIAL lainnya.