MOJOK.CO – Jokowi minta agar kalau ada masalah hukum, ada pihak yang menegur dulu. Jangan langsung ditindak. Hm, berlaku untuk rakyat juga atau cuma untuk pejabat nih?
Ada yang menarik dalam pidato yang disampaikan Jokowi di Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat Rabu (13/11). “Saya titip kalau ada persoalan hukum dan itu sudah kelihatan di awal-awal, preventif dulu, diingatkan dulu. Jangan ditunggu, kemudian peristiwa terjadi baru di…,” kata Jokowi.
Seperti mendadak bikin sesi kuis, Jokowi tidak melanjutkan kalimatnya. Meski begitu, tak ada audiens yang menjawab. Mungkin nggak berani juga.
Lalu tiba-tiba…
“Setuju semuanya?” tanya Jokowi.
“Setuju,” jawab audiens.
“Jelas-jelas keliru, sejak awal diingatkan dong ini keliru, benarkan dong. Jangan mengerti keliru, terus dikerjakan, setelah rampung baru ditebas. Nggak bisa seperti ini, harus kita akhiri seperti ini,” tambah Jokowi.
Pernyataan ini tentu jadi bola liar. Sebab, kalau perkara hukumnya sepele seperti buang sampah sembarangan mungkin tak masalah kalau diingatkan dulu, kalau kasus hukumnya sudah sampai tahap suap atau korupsi, masa iya ada pejabat yang tidak tahu kalau itu melanggar hukum?
Menanggapi itu, KPK langsung merespons pernyataan Jokowi. Juri bicara KPK, Febri Diansyah, menganggap bahwa seharusnya pejabat menggarisbawahi pernyataan Jokowi ini.
“Jangan sampai sudah diingatkan tapi kemudian setengah hati, di belakang dia masih terima suap. Kalau sudah terima suap maka tetap akan diproses tentu saja,” kata Febri.
Masih menurut Febri, sebenarnya KPK sudah sering mengingatkan pejabat kalau ada peluang pelanggaran hukum. Apalagi hal semacam itu juga merupakan tugas KPK juga, yakni melakukan pencegahan korupsi.
Masalahnya, sering sekali instansi yang diingatkan tidak menanggapi serius teguran tersebut. Bahkan begitu sudah terjadi maka mau tak mau KPK harus merespons dengan penangkapan atau penggeledahan. Bahkan mungkin melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
“Presiden pernah mengatakan pencegahan itu bicara sebelum kejahatan terjadi, jadi ketika kejahatan terjadi penindakan yang tegas, tetap harus dilaksanakan,” kata Febri.
Sebenarnya kalau Jokowi mau jeli, ada banyak peristiwa pelanggaran hukum dari pejabat yang malah berbalik “memangsa” pelapor atau—bahkan—pihak penyidik.
Seperti yang pernah dialami Sudirman Said pada 2015 misalnya, ketika mendapat rekaman pemufakatan jahat saham PT Freeport atas nama Setya Novanto. Kala itu Sudirman tidak langsung melaporkan itu ke KPK, melainkan ke MKD. Bisa dibilang ini bentuk dari “mengingatkan”.
Dan hasilnya? Justru Sudirman Said yang akhirnya kena reshuffle setelah sebelumnya sempat dikuliti habis-habisan saat sidang MKD. Hebat bener. Pelapor malah jadi yang dicecar, sedangkan terlapor? Tenang-tenang bae.
Lagian, Setya Novanto malah terjerat pada kasus yang berbeda, yakni korupsi E-KTP. Artinya, sekalipun sudah “diingatkan” dengan dibuka ke publik rekaman suara pada dugaan pemufakatan jahat, mantan Ketua DPR RI ini tak kapok-kapok juga. Masih korupsi juga.
Belum dengan kasus penyiraman air keras, penyidik KPK, Novel Baswedan. Sudah kena aksi teror, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasusnya malah balik menyalahkan Novel, dilaporkan karena dianggap melakukan rekayasa lagi. Ibarat jatuh tertimpa tangga, tangganya ada pakunya, pakunya karatan, mati kena tetanus lagi.
Kalau memang bentuk penegakan hukum bakal lebih preventif, ada baiknya Jokowi juga mencoba menerapkannya ke masyarakat luas. Jangan cuma untuk pejabat saja yang dapat keuntungan dengan “diingatkan” dulu kalau melanggar hukum.
Contohnya misal penindakan oleh polisi lalu lintas. Coba itu juga diterapkan di jalanan. Misalnya ada pengendara masuk ke jalur satu arah dari jalur yang berlawanan. Kebetulan si pengendara nggak tahu misalnya.
Ya sebaiknya polisi lalu lintas jangan langsung menilang, tapi diingatkan dulu.
“Pak, silakan putar balik. Ini salah jalur.” Begitu misalnya.
Atau kalau ada pengendara kelupaan bawa SIM, lalu ketika ada razia juga baiknya diingatkan dulu.
“Besok lagi, bawa SIM-nya ya, Pak.” Gitu.
Coba hal kayak gitu dilakukan sampai akar rumput. Sudah pasti ambyar total, Pak. Soalnya dalam penegakan hukum itu berlaku juga untuk kasih efek jera. Kalau apa-apa perilaku pelanggaran hukum harus diingatkan dulu, ya pelanggar hukum nggak bakal ada kapok-kapoknya dong.
Mikirnya kan jadi sederhana saja kalau mau melanggar hukum dan penegakan hukum cuma ada di aspek preventif semata. Misalnya, “Ah, cobain nggak pakai helm deh. Ditegur Pak Polisi nggak ya?”
Atau jangan-jangan ini cuma berlaku untuk pejabat negara saja? Ah, tapi mana mungkin. Pak Jokowi itu kan merakyat banget. Mana mungkin memberlakukan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Kayak kasus anak Bupati Majalengka aja. Eeeh.
BACA JUGA JOKOWI, PEMERINTAH, DAN DPR SEMAKIN SULIT DINALAR atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.