MOJOK.CO – Cerita misteri, Sabdo Palon, hingga konfrontasi Jerinx SID merupakan wujud identitas mengatasi kegelisahan akan pandemi virus corona. Kita bisa apa?
Virus corona ini memang “unik” sekali. Saya bilang unik karena sesuatu yang “kecil” bisa menghadirkan “perihal besar” yang sebelumnya tidak pernah menjadi narasi utama. Perihal besar yang sebelumnya seperti ada di balik bayang-bayang.
Perihal besar yang saya maksud adalah berkaitan dengan identitas seseorang. Bukan, bukan sekadar nama dan alamat. Identitas yang saya maksud adalah sebuah penanda yang menentukan tingkah laku, kebiasaan, dan berbagai hal yang sebelumnya dipegang teguh.
Jadi, selama pandemi virus corona ini muncul berbagai tema obrolan yang sangat menarik. Berkaitan dengan cerita misteri, klenik, hingga teori konspirasi.
Mulai dari Sabdo Palon, gejolak alam terkait “pagelaran”, hingga Jerinx SID yang pemberani. Saya sering dibuat kagum sama Jerinx yang berani menabrak pandangan umum. Banyak yang menyebut Jerinx bodoh. Namun, di mata saya, ini soal identitas. Dan saya tidak akan menyalahkan Jerinx.
Ya, semuanya soal identitas beberapa dari kita. Kenapa obrolan soal Sabdo Palon, klenik, pagelaran, hingga keberanian Jerinx disuntik virus corona muncul ke permukaan? Karena ini identitas. Pada titik tertentu, fenomena ini menjadi sebuah cara untuk mengatasi kegelisahan akan sesuatu yang belum bisa dipahami.
Obrolan soal Sabdo Palon, klenik, berbagai cerita misteri, dan keberanian Jerinx ini ramai betul di kampung saya. Bapak-bapak dan para pemuda menjadikannya sebagai obrolan ketika ronda, ketika keliling mengambil jimpitan, atau sekadar mampir ke rumah tetangga untuk berbagi bumbu dapur, garam, dan gula.
Mereka, orang-orang Jawa, memandang sekarang inilah zaman terjanji itu, ketika Sabdo Palon menagih janji. Meminta kembali apa yang menjadi haknya. Sebuah kalimat yang hampir selalu mengiringi adalah, “Wong Jowo ilang jawane.” Artinya, orang Jawa sudah kehilangan sifat-sifat jawanya.
Apa itu? Ya berkaitan dengan sifat-sifat baik orang Jawa. Misalnya rendah hati, sopan, peduli dengan tetangga, tenggang rasa, menjaga alam, dan lain sebagainya. Hal-hal yang sebetulnya sangat besar maknanya, tetapi kini terlihat kecil. Bukankah ini identitas kita, para orang Jawa, sejatinya?
Banyak orang kesulitan memahami apa itu virus corona. Ini kenyataan, lho. Bagaimana bisa, benda yang “teramat kecil” merusak tatanan dunia dan bikin Jerinx marah-marah?
Hal-hal demikian, yang bahkan sudah ada kajiannya, terkadang tidak masuk ke dalam logika banyak orang. Oleh sebab itu, mereka berlindung, menjadi nyaman dengan hal-hal yang sudah dipahami sejak kecil: kepercayaan akan identitasnya, termasuk Jerinx yang konfrontatif.
“Oh, virus corona itu karena murka alam. Ini tanda-tanda pagelaran akan terjadi. Banyak orang akan mati.” Kalimat demikian jangan disepelekan. Bagi banyak orang, kalimat ini adalah sebuah alat untuk bikin ayem atine dewe-dewe, bikin terhindar dari kegelisahan.
Lho, ada cerita misteri yang menandakan mau bencana kok malah santai? Bagi orang Jawa, terkadang, sikap sempurna bukan panik, tetapi nderek kersane Gusti Allah, nrimo ing pandum.
Ya, pasrah kepada maunya Tuhan dan iklas menerimanya sebagai bagian dari kehidupan. Iya, nrimo ing pandum. Kalimat yang sebetulnya sangat indah tetapi maknanya direduksi ketika digunakan untuk mengkritik rendahnya UMK Jogja itu.
Setelah gagal memahami virus corona, lalu bisa berdamai dengan diri sendiri dengan ungkapan nderek kersane Gusti Allah, mereka lalu masuk dalam proses berpikir tahap selanjutnya: bagaimana sebaiknya kita berlaku supaya terhindar dari bahaya?
Caranya sangat sederhana: tenggang rasa, gotong royong, peduli dengan tetangga, dan lain sebagainya. Ada yang menyisihkan sejumlah sembako untuk tetangganya yang kekurangan. Ada yang rutin menengok tetangganya yang sudah sepuh dan sakit-sakitan. Ada yang membuat komunitas menjahit masker untuk dibagikan gratis. Ada yang membeli hand sanitizer lalu dibagikan ke warga dalam paket-paket kecil. Ada yang membuat dapur umum, yang sempat dibubarkan sama apparat itu. Dan lain sebagainya.
Semuanya dilakukan semata-mata karena takut ramalan wong Jowo ilang jawane semakin jadi kenyataan. Semua orang mengembalikan semuanya ke dalam identitas kebaikan. Dari ketidaktahuan, dari kegelisahan akan virus corona, membuat beberapa orang sadar kalau hanya kebaikan yang akan menjaga kita dari kesengsaraan.
Bagaimana dengan Jerinx? Setiap orang berhak punya prinsip. Entah prinsip itu akan menggangu orang lain atau bahkan diterima. Yang utama dan pertama adalah orang berhak punya prinsip. Untuk soal Jerinx, saya rasa memang demikian sifat yang ada di dalam dirinya. Sudah jadi identitasnya.
Kita bisa melacaknya dari komentar Nora, istri Jerinx. Nora jengah dengan netizen yang mengarahkan keluhannya kepada dirinya. Bagi Nora, kalau mau ngamuk sama Jerinx ya silakan alamatkan ke Jerinx sendiri, jangan ke dirinya. Nora menambahkan: begitulah sifat Jerinx, yang kritis akan segala hal. Sifat-sifat itu yang membentuk identitasnya.
Terkadang, yang dibilang Simon & Gerfunkel memang benar adanya:
“People hearing without listening.”
“People talking without speaking.”
Orang-orang sekadar mendengar tetapi enggan memahami Jerinx. Orang-orang mendengar sekadar untuk membantah. Orang-orang berbicara tetapi tidak ada makna. Apakah memang sangat sulit untuk tidak merendahkan orang lain? Suka merendahkan orang lain juga bagian dari wong Jowo ilang jawane, btw. Ehh, lagi-lagi kembali ke identitas.
Pada akhirnya, identitas menentukan cara orang mengatasi kegelisahannya. Ada yang berpedang kepada fenomena cerita misteri hingga janji Sabdo Palon. Ada pula yang mengkonfrontasi seperti Jerinx. Pada titik tertentu, yang perlu kita lakukan adalah memahaminya sebagai sesuatu yang “ada” ketimbang sibuk menghabiskan energi untuk “mencela”.
BACA JUGA Dear Bli Jerinx, Simak Tips Meredam Emosi Berikut Ini atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.