Saya tak tahu persis siapa dan apa pemicunya, yang jelas, siang tadi, saya dan beberapa kawan di Mojok mendadak ngobrol panjang lebar soal buah-buahan.
Kami ngobrol soal buah-buah masa lalu yang dulu akrab di mulut kami, dari mulai jambu, mundu, mangga, sawo ijo, langsep, kokosan, duwet, asem londo, dan lain sebangsanya. Buah-buah tersebut dulu biasa kami dapatkan dari memetik di pohon milik tetangga, dengan atau tanpa ijin.
Setelah panjang lebar memblejeti dengan total dunia buah-buahan, kami akhirnya sampai pada satu kesimpulan, bahwa buah jaman sekarang, yang biasanya hanya kami beli di minimarket, (itupun mentok anggur, pir, apel, dan buah naga) tak punya rasa yang seenak dan sedahsyat buah-buahan masa kecil kami.
Semua punya argumen dan hipotesa sendiri atas kesimpulan tersebut.
Khusus untuk saya, argumen saya singkat saja: Adrenalin.
Argumen ini mau tak mau membuat saya harus menceritakan bagaimana pergesekan hidup saya dengan buah-buahan di masa kecil.
Dulu waktu kecil (sampai sekarang masih ding), saya tinggal di sebuah kampung yang bersebelahan dengan sebuah kompleks perumahan akademi militer bernama Panca Arga. Perumahan Panca arga adalah perumahan otonom yang statusnya setara dengan Dusun.
Kompleks perumahan ini ditinggali oleh tentara yang bertugas di Akademi militer, dan karena sifatnya adalah perumahan dinas, maka penghuninya pun selalu berganti-ganti. Hanya segelintir yang bisa menempati rumah di Panca Arga ini sampai jangka waktu puluhan tahun.
Saya dan kawan-kawan sebaya sering sekali main ke Panca Arga, maklum lah, di kampung kami nggak ada lapangan bola, jadi kalau kami ingin bermain bola, ya mau tak mau harus mlipir bermigrasi sejenak ke Panca Arga ini.
Sebagai kompleks perumahan yang ditinggali oleh tentara dan karyawan Akademi militer, perumahan ini termasuk salah satu kompleks perumahan dengan fasilitas maha lengkap. Satu Masjid besar, belasan Mushola, Gereja Kristen dan Katholik, taman rekreasi, Bank, ATM, Dua lapangan Tennis, tiga lapangan sepak bola, dan masih banyak lagi fasilitas-fasilitas lainnya. Dengan segenap fasilitas ini, bisa dibilang, bahwa penghuni perumahan ini adalah para keluarga yang beruntung.
Lebih beruntung lagi adalah mereka yang menempati rumah baru di Panca Arga yang pekarangan rumahnya sudah terisi dengan aneka tanaman buah yang ditanam oleh penghuni sebelumnya.
Sewaktu kecil, saya dan kawan-kawan begitu iri dengan penghuni yang model begini. Gimana nggak bikin iri, Lha wong mereka datang pindahan, dan tanpa dipesan di rumahnya sudah tersedia pohon jambu, kalau panen tinggal petik tanpa harus bersusah payah menanam pohon dan merawatnya sampai usia produktif. Bisa dibilang, mereka ini adalah penerima warisan buah-buahan.
Di Panca Arga, banyak sekali tanaman buah yang bisa dengan mudah ditemukan di pekarangan rumah, mulai dari mangga, jambu, belimbing, sawo, rambutan, matoa, bahkan sampai buah duwet sekalipun. Dan bagi saya dan kawan-kawan waktu kecil, buah-buahan itu adalah emas. Ya, waktu kami kecil, kami belum memikirkan uang apalagi pacar. Sehingga buah-buahan menjadi harta yang tak ternilai harganya, maka kebun buah di pekarangan Panca Arga itu pun nampak seperti El-Dorado di mata kami.
Saya masih ingat betul, dulu sewaktu masih kecil, saya dan kawan-kawan sering sekali mencuri buah di pekarangan rumah para penghuni Panca Arga.
Maklum saja, melihat potensi buah yang begitu melimpah, jiwa pendekar kami menjadi bergejolak hebat, adrenalin kami terpacu, dan naluri nggragas kami terus meninggi, maka begitu ada kesempatan, niscaya terjadilah pencurian kecil-kecilan yang berulang-ulang itu.
Namun sebagai anak kecil yang masih sedikit menjunjung norma kesopanan, kami tentu saja tak langsung mencurinya tanpa intermezzo, kami biasanya nembung dulu secara baik-baik dan diplomatis.
“Kulonuwun, pak buk, nyuwun jambune nggih????”
Kalau dijawab boleh, ya langsung kami petik. Tapi kalau tak ada jawaban, ya tetap kami petik, soalnya kami punya prinsip Diam berarti Ya. Trus kalau dijawab tidak boleh? Ya sekali lagi, tetap kami petik, tapi keesokan harinya, karena kalau yang ini, kami menganut prinsip penolakan adalah izin yang tertunda.
Beberapa pemilik pohon kadang ada yang merasa senang kalau buahnya dipetik oleh kami, karena itu berarti mereka merasa buah yang ada di pekarangannya bisa berguna bagi penduduk sekitar. “Udah mas, ambil saja yang banyak, kalau perlu kresek nanti saya ambilkan di belakang!” Nah, tipe penghuni seperti inilah yang sangat kami cintai dan kami banggakan.
Namun ada juga penghuni yang pelitnya nggak ketulungan, cuma minta jambu saja nggak diperbolehkan. Nah, kalau tipe penghuni yang seperti ini, biasanya malah sering kami jadikan target operasi wajib.
Entah mengapa, waktu itu kami merasa mendapatkan kepuasan tersendiri saat bisa mencuri buah-buahan di pekarangan rumah Panca Arga. Kami merasa seperti pahlawan yang berani menghadapi tirani. Persis Kaya Si Pitung yang berani mencuri harta para tuan tanah dan kompeni. Bedanya, kalau pitung harta curiannya emas perhiasan dan dibagikan ke rakyat miskin, sedangkan kalau kami harta curiannya berupa buah dan dimakan sendiri.
Nah, di sinilah poin adrenalin itu.
Nggak tahu kenapa, buah hasil curian itu kok terasa sangat nikmat. Mungkin karena efek usaha dan perjuangan dalam mendapatkannya. Ada efek deg-degan saat takut ketahuan. Dan itu menambah sensasi buah yang kami makan.
Kalaupun tidak mencuri, sensasi adrenalin masih tetap ada, misal karena kami harus memanjat pohon untuk memetik buahnya.
Tak jarang, ada pohon yang kami harus memanjat sangat tinggi.
Semakin tinggi pohonnya, semakin besar adrenaline rush yang kami rasakan. Dan itu pula yang semakin membuat buah yang kami petik semakin enak.
Ketika saya mengajukan argumen saya ini, kawan-kawan saya yang juga pernah melaksanakan tindakan kriminal ringan mencuri buah ternyata setuju dan mengamininya.
Yah, jangan-jangan memang benar, buah paling enak itu adalah buah hasil nyolong.