Jalan Kaliurang, Jalan Paling Tidak Ramah Pejalan Kaki 

Jalan Kaliurang, Jalan Paling Tidak Ramah Pejalan Kaki Mojok.cp

Jalan Kaliurang, Jalan Paling Tidak Ramah Pejalan Kaki (unsplash.com)

Siap-siap energi dan kesabaran kalau jalan kaki di Jalan Kaliurang.

Saya malas tiap kali riset tentang orang Indonesia paling malas jalan kaki di dunia muncul di medsos atau berita online. Ada dua alasannya. Pertama, konten tersebut tidak merujuk pada riset terbaru. Konten-konten itu biasanya berdasar penelitian dari University of Stanford pada jurnal Nature yang di-publish 2017. 

Artinya, sudah lebih dari 7 tahun isu tersebut digoreng melulu. Kenyataan di lapangan memang orang-orang Indonesia masih ogah berjalan kaki. Tapi, tolonglah, masak nggak ada riset terbaru soal itu sih? 

Kedua, saya agak nggak cocok dengan kata “malas” pada judul konten dan pemberitaan. Saya pikir, bukannya malas jalan kaki, orang Indonesia memang “dipaksa” tidak suka berjalan kaki. Saya pernah menuliskan uneg-uneg ini dalam tulisan berjudul Bukannya Malas, Orang Indonesia Memang “Dipaksa” Nggak Suka Jalan Kaki.

Keyakinan itu semakin menguat ketika sehari-hari melewati Jalan Kaliurang. Belakangan saya baru menyadari, jalan ini benar-benar tidak ramah pejalan kaki. Tiap kali lewat Jalan Kaliurang menuju tempat kerja atau menuju sisi selatan Jogja, saya ngebatin dalam hati, “Siapa ya yang betah jalan kaki di tempat seperti ini?”

Gambaran Jalan Kaliurang

Saya beri sedikit gambaran tentang jalan yang kerap disingkat Jakal ini ya. Jalan Kaliurang adalah salah satu jalan yang menghubungkan Pakem dan daerah lain yang berada di bawah kaki Gunung Merapi dengan Kota Jogja. Jalan sepanjang 25 km ini lurus membentang dari utara hingga selatan. 

Pada 2023 Dinas Perhubungan (Dishub) DIY mencatat, Jakal menjadi jalan terpadat di DIY. Nilainya di atas angka 0,87 derajat kejenuhan, tepatnya 0,9. Kapasitas Jalan Kaliurang adalah 2.177 kendaraan. Namun, volume kendaraan yang melintas sudah mencapai 1.954.

Dishub DIY mengungkapkan, ada beberapa alasan yang membuat jalan semakin padat. Pertambahan jumlah kendaraan adalah salah satunya. Faktor lain, banyaknya tempat parkir di bahu jalan, serta tidak ada penambahan lebar dan ruas jalan. 

Terkait pertumbuhan kendaraan pribadi, sebenarnya ada transportasi umum yang melewati Jakal. Ada Trans Jogja yang melayani hingga halte Pasar Pakem. Hanya saja, armadanya tidak banyak. Waktu tunggunya bisa mencapai 30 menit antar armada bus. Selain itu, tempat pemberhentiannya pun alakadarnya.Sudah begitu, tidak ada area pejalan kaki yang memadai setelah penumpang turun dari bus.  

Jalan sepanjang itu tidak ada trotoar dan pepohonan

Selain jalan terpadat, saya rasa Jakal bisa juga disebut sebagai jalan paling tidak ramah pejalan kaki. Bayangkan saja jalan sepanjang dan sepenting itu tidak memiliki area pejalan kaki seperti trotoar. Pejalan kaki hanya bisa menyusuri perbatasan trotoar dengan toko-toko atau bangunan yang ada sepanjang Jakal. 

Asal tahu saja, menyusuri jalan seperti itu tidak mudah. Selain tidak rata, banyak juga kendaraan yang terparkir di sana. Dengan kata lain, pejalan kaki mesti super awas mencermati batas dengan jalan raya, menghindari kendaraan terparkir, hingga menghindari kendaraan bermotor yang ngebut. 

Sebagai warlok yang melintasi jalan ini sehari-hari, saya bisa bilang pengendara yang melewati Jakal itu “pembalap” alias banyak yang ngebut. Mungkin karena jalan yang lurus-lurus saja dan mayoritas beraspal mulus ya, orang-orang jadi memacu kendaraannya sesuka hati. 

Kalau mau merasakan betapa menyiksanya jalan ini. Cobalah sekali-kali jalan kaki di tengah siang bolong. Selain menyusuri jalan tanpa trotoar, awas terhadap kendaraan yang parkir dan melintas, kalian juga harus tahan terhadap paparan sinar matahari. Asal tahu saja, sepanjang jalan Kaliurang sangat jarang pepohonan besar yang meneduhkan. 

Iseng saya pernah jalan kaki dari pertigaan Jalan Damai hingga Pasar Colombo, jaraknya kurang lebih 1 km lebih dikit. Tidak jauh memang, tapi rasanya sangat menyiksa karena tidak ada trotoar dan pepohonan. Terik matahari membakar kulit dan angin yang berhembus panas. Sudah begitu, sesekali saya harus menghadapi kendaraan yang terpakir maupun melaju kencang. Duh, pokoknya menguras energi sekali, rasanya tidak ingin mengulanginya lagi. 

Penulis: Kenia Intan
Editor: Intan Ekapratiwi 

BACA JUGA Alasan Warlok Sleman Malas Berwisata ke Kaliurang dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN.  

 

Exit mobile version