Kekuatan orang dalam. Begitu katanya, sebuah situasi yang membuat siapa saja mendapatkan kemudahan dan keuntungan. Dulu, saya punya kemewahan itu. Ketika masa SMA, butuh uang untuk jajan, dan mendapat tawaran untuk menjadi tukang parkir ketika PSIM Jogja main di Mandala Krida.
Kejadiannya sudah sangat lama. Saya masih SMA dan Stadion Mandala Krida belum renovasi.
Jadi, salah satu almarhum saudara saya “kebetulan” menguasai sebidang lahan parkir di depan pintu masuk tribun tertutup Stadion Mandala Krida. Kalau sedang tidak ada pertandingan PSIM, lahan tersebut menjadi lahan parkir fitnes. Lahannya cukup luas. Mungkin bisa menampung 300 sampai 500 motor jika diparkir dengan rapi.
Berawal dari celetukan, eh jadi tukang parkir beneran
Saudara saya ini kenal dengan banyak orang. Salah satu kemewahan, yang akhirnya dirasakan oleh para keponakannya adalah bisa masuk banyak event secara gratis.
Misalnya, saya bisa nonton konser di Jogja tanpa harus membayar. Beberapa kali pertandingan PSIM di kandang pun saya bisa masuk “begitu saja”. Tentu ini bukan hal baik dan sudah tidak pernah kami lakukan lagi.
Nah, saat itu, saya bisa jadi tukang parkir gara-gara sebuah celetukan dari bapak saya. Jadi, di keluarga saya, ada sebuah aturan tidak tertulis untuk remaja laki-laki. Kalau pengin merokok, ya boleh saja, meski masih di bawah usia 21. Namun, kami hanya boleh membeli rokok pakai uang sendiri.
Sekali lagi, meski dengan dalih biar mandiri dan tanggung jawab, kebiasaan ini tidak untuk ditiru. Tapi, itulah yang terjadi dulu sekali. Lantaran saya sudah merokok sejak SMA, dan kebetulan sedang kehabisan uang, saya tidak bisa minta ke orang tua.
Saya juga nggak bisa bohong ke bapak. Misal, minta uang untuk beli buku, eh saya larikan untuk beli rokok. Entah bagaimana bapak pasti tahu. Selalu ada yang “mengadu”. Mungkin karena instingnya sebagai polisi yang lama di jalan, yang membuatnya jadi sangat waspada.
“Kalau mau beli rokok, ya kerja aja sana.” Bapak mengucapkan kalimat itu di depan saudara saya yang kebetulan sedang datang ke rumah mengantar undangan nonton PSIM. Dari kalimat itu, muncul ide yang sungguh cemerlang. Saya mendapat tawaran untuk jadi tukang parkir dadakan di pertandingan kandang PSIM.
Pengalaman jadi tukang parkir dadakan
Awalnya saya ragu. Bapak saya juga sama. Apalagi ibu saya. Masak jadi tukang parkir. Apakah legal di Jogja, seorang remaja sudah bekerja sebagai tukang parkir? Ah, bodo amat, kata saudara saya. Kalau pengin duit lumayan buat beli rokok, ya coba aja.
Maka, di hari pertandingan kandang PSIM, saya jadi tukang parkir dadakan. Saat itu saya membantu anak dari saudara saya yang juga menjadi tukang parkir kala itu. Namanya Daris. Dia ini sudah sering jadi tukang parkir. Nggak hanya di Mandala Krida, tapi juga di beberapa titik parkir ramai di Jogja.
Tugas pertama saya adalah berdiri di depan area parkir dan mengarahkan penonton untuk mau masuk area parkir saudara saya. Saat itu, tarif parkir per motor adalah Rp3 ribu rupiah yang harus langsung dibayar. Namanya saja baru pertama, banyak pesepeda motor yang enggan masuk area parkir saudara saya. Mungkin saya terlalu culun.
Melihat kegoblokan saya sebagai tukang parkir amatir, Daris turun tangan. Gantian saya yang bertugas menata sepeda motor yang baru masuk area parkir. Tiba-tiba saja banyak motor yang masuk berkat arahan Daris.
Menjadi tukang parkir yang bertugas menata motor ternyata sangat melelahkan. Maklum saja, penonton PSIM Jogja sangat banyak dan mayoritas naik motor. Namun, segala lelah itu terbayar.
Nonton PSIM Jogja secara gratis
Sekitar 20 menit sebelum pertandingan mulai, area parkir saudara saya sudah penuh. Jadi, kami, tukang parkir yang bertugas, bisa sedikit santai. Daris mengangsurkan sebungkus Djarum Super kepada saya. Selama babak 1 pertandingan, tugas kami adalah mengawasi motor, merokok dengan santai, dan minum kopi sasetan.
Menjelang babak 2 mulai, saudara saya bilang kalau saya dan Daris boleh masuk stadion untuk menonton. Jelas saya girang. Bayangan nanti dapat duit setelah jadi tukang parkir, ditambah sebelumnya bisa nonton gratis. Jadi, selama 40-an menit, kami berdua bisa masuk dengan lancar dan menonton dengan tenang.
Pesan saudara saya hanya satu, yaitu sebelum pertandingan selesai, kami sudah harus siap di tempat. Maklum, sebelum pertandingan PSIM Jogja selesai, biasanya ada yang pulang duluan demi menghindari macet bubaran pertandingan. Tukang parkir harus siap untuk membantu pemilik motor keluar dengan nyaman.
Maka, yang terjadi adalah chaos. Iya, bagi saya yang amatiran, pemandangan di depan saya seperti chaos. Banyak pemotor yang rada nggak sabar pengin cepat keluar. Padahal tukang parkir nggak boleh sembarangan ngasih jalan. Kudu antre biar lancar. Tapi untungnya, semua selesai dengan aman.
Dapat duit dan ketagihan jadi tukang parkir dadakan
Setelah area parkir steril, saudara saya mengumpulkan semua tukang parkir. Saatnya bagi-bagi honor. Saya tidak ingat total pendapatan area parkir tersebut. Namun, di tangan saya, ada uang senilai Rp200 ribu sebagau upah. Saya juga dapat sebungkus Djarum Super dari saudara saya.
Angka Rp200 ribu jelas angka yang lumayan untuk anak SMA. Uang itu saya belanjakan 2 hal, yaitu makan enak dan beli rokok. Saat itu sedang ramai kemunculan rokok Djarum Black Cappuccino. Saya beli 2 bungkus, sementara sebungkus Djarum Super saya berikan ke bapak saya.
Pengalaman jadi tukang parkir di laga PSIM Jogja itu membekas sampai sekarang. Pertama, saya ketagihan karena kerja gampang uang lumayan. Kedua, bisa nonton gratis PSIM.
Seiring waktu, saya jadi lebih bisa menghargai susahnya bekerja. Nggak peduli jenis pekerjaannya, semua pasti ada proses yang nggak mudah. Termasuk jadi tukang parkir di Jogja.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Eksperimen Seminggu Jadi Tukang Parkir Ilegal di Jogja, Penghasilannya Bisa Kebeli Apa Aja? Dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN.
