MOJOK.CO – Cek ombak adalah kebiasaan bagus, utamanya untuk masyarakat di negeri maritim yang selalu akrab dengan air laut.
Banyak yang memberikan sindiran kepada pemerintah dengan sebutan “Pemerintah antonim” atau “Negara kebalikan”, sindiran tersebut muncul karena banyak sekali pernyataan-pernyataan pejabat negara yang kelak justru berlawanan dengan kenyataan yang terjadi.
Kalian bisa menyimak akun Twitter @sandalista1789 atau @txtdrpemerintah, dua akun tersebut selama ini dikenal amat telaten mengumpulkan pernyataan-pernyataan pejabat negara dan menyandingkannya dengan keadaan setelahnya yang sering kontradiktif.
Kini, setelah pemerintah antonim dan negara kebalikan, sindiran baru kembali muncul, kali ini dalam bentuk “Negara cek ombak”. Seperti dua sindiran sebelumnya, sindiran yang satu ini juga tidak lahir dari ruang hampa, melainkan berdasarkam kebiasaan pemerintah yang sering sekali merevisi aturan hukum yang sudah ditetapkan setelah mendapatkan gelombang protes yang amat deras dari masyarakat.
Kasus vaksin Gotong Royong berbayar yang dijual melalui Kimia Farma beberapa waktu yang lalu menjadi puncak dari perayaan sindiran negera cek ombak.
Seperti diketahui, Kimia Farma memang secara resmi sempat akan menjual vaksin Gotong Royong berbayar individu kepada masyarakat. Vaksin jenis Sinopharm ini bakal dijual dengan harga Rp321.660 per dosis dengan tarif pelayanan maksimal Rp117.910. Rencananya, vaksin tersebut bisa didapatkan di 8 klinik Kimia Farma yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, dan Bali mulai Senin, 12 Juli 2021 lalu.
Namun, program vaksinasi Gotong Royong berbayar individu yang aturan hukumnya mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021 ini langsung mendapatkan kritik dan protes dari berbagai pihak (masyarakat luas, para ahli, bahkan sampai WHO). Program vaksin berbayar individu ini dianggap merusak komitmen pemerintah yang dulu pernah menyatakan akan menggratiskan vaksin Covid-19 untuk masyarakat.
Pihak Kimia Farma pun kemudian sempat menunda pelaksanaan program Vaksin Gotong Royong berbayar pada 12 Juli 2021 lalu. Hingga puncaknya, pada Jumat, 16 Juli 2021, Presiden Jokowi akhirnya membatalkan program vaksin berbayar atau vaksin Gotong Royong yang semula akan disalurkan melalui Kimia Farma.
Pembatalan inilah yang membuat netizen beramai-ramai memberikan sindiran negara cek ombak karena dianggap mengulangi kebiasaan merevisi atau mencabut keputusan hukum tertentu.
Kasus vaksin tersebut memang bukan yang pertama. Pemerintah sudah berkali-kali membikin aturan hukum yang kontroversial untuk kemudian direvisi atau dibatalkan ketika mendapatkan protes dan kritik keras dari masyarakat.
Kasus kenaikan tarif iuran BPJS yang sempat ramai tahun lalu, misalnya. Saat itu pemerintah membuat kebijakan terkait kenaikan tarif iuran BPJS. Kebijakan tersebut tentu saja diprotes oleh masyarakat dan bahkan sampai dituntut ke MA. Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 pun kemudian membatalkan kenaikan iuran BPJS tersebut.
Hal serupa kemudian kembali terjadi, kali ini dalam kasus izin investasi miras yang tertuang dalam Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal yang diteken kepala negara pada 2 Februari 2021.
Dalam Perpres tersebut, bisnis minuman beralkohol yang berlokasi di Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua, boleh mendapatkan suntikan investasi dari luar. Perpres tersebut otomatis mengeliminasi aturan sebelumnya, yakni Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 yang menyatakan bahwa industri minuman keras, di mana pun itu, tertutup untuk investasi.
Bolehnya investasi bisnis miras di empat provinsi tersebut langsung mendapatkan kritik keras dari beberapa kelompok masyarakat, seperti ulama, MUI, NU, dan organisasi masyarakat (ormas) lainnya.
Pada akhirnya, Jokowi pun kemudian mencabut Perpres tersebut pada 2 Maret 2021.
“Setelah menerima masukan-masukan dari ulama-ulama, MUI, NU, Muhammadiyah, dan organisasi masyarakat serta tokoh-tokoh agama yang lain saya sampaikan lampiran perpres pembukaan investasi baru industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut,” begitu kata Jokowi dalam konferensi pers.
Aneka kasus pencabutan aturan tersebut pun kemudian memunculkan dugaan baru bahwa pemerintah memang tengah membiasakan diri untuk menggunakan formula cek ombak untuk mengeluarkan produk hukum baru.
Terbitkan saja dulu, kalau tidak kritik dan adem-adem saja, ya lanjut. Tapi kalau ada kritik keras dari masyarakat, tinggal ditarik dan dicabut, tentu disertai dengan embel-embel “Kami senantiasa memperhatikan masukan dan kritik dari masyarakat”, biar terkesan heroik dan partisipatif.
Makin seringnya kecenderungan tersebutlah yang kemudian menjadi alasan yang amat wajar jika istilah “Negara Cek Ombak” menjadi sindiran baru yang amat masuk akal.
Yah, mungkin memang para pejabat pemerintah kita saat ini memang sedang getol-getolnya mengulik budaya kelautan kita yang sempat berjaya di masa lalu. Jadi, kalau pemerintah kita suka cek ombak terhadap ketetapan hukumnya, anggap saja itu kewajaran. Maklum, bagaimanapun, kita ini kan memang negara maritim. Nenek moyang kita juga pelaut. Jadi ombak itu memang harus sering-sering dicek. Itu justru bukti kalau pejabat-pejabat kita adalah pejabat yang berjiwa bahari.
Bukan begitu, Pak Jokowi? Eh, BTW, Pak Jokowi ini dulu pengusaha mebel apa nelayan sih?
BACA JUGA Brutalnya Hidup di Negara kayak Indonesia: Negara ‘Survival of The Fittest’ dan artikel AGUS MULYADI lainnya.