MOJOK.CO – Habib Umar yang ngamuk tertangkap kamera. Lalu, netizen yang suci tanpa dosa, ramai-ramai melakukan penghakiman kepada gamis, sama kayak penghakiman ke cadar.
Dulu, saya pernah punya pandangan kalau pakaian itu representasi kualitas. Namun, kini saya sadar kalau itu pandangan yang tidak berguna. Ceritanya begini:
Suatu kali, teman saya datang untuk curhat. Dia baru saja ditolak sama gebetan karena masalah pakaian. Teman saya ini termasuk orang yang sering gagal merepresentasikan kualitas dirinya hanya karena “masalah sepele”, yaitu cara berpakaian.
Saya punya pendapat seperti ini. Benahi dulu caramu berpakaian, baru pikirkan kualitas diri. Orang yang merawat tubuhnya, harusnya juga akan merawat pikirannya. Ya memang sih banyak jenius yang bodo amat sama penampilan, tapi tetap saja nggak bisa dijadiin pembenaran. Kalau kamu berpikiran baju lecek dan badan bau akan dimaafkan ketika kamu pinter, pikir lagi.
Tapi saya ragu dengan pendapat sendiri. Benarkah baju adalah representasi kualitas? Bagaimana dengan orang yang bajunya bagus, tapi tingkahnya naudzubillah? Sejak saat itu, saya mengubah pandangan.
Beberapa hari yang lalu, Habib Umar tertangkap kamera marah betul sama petugas. Konon, Habib Umar diberhentikan dan diminta putar balik karena salah satu penumpangnya tidak memakai masker. Kesal, Habib Umar bahkan terlihat mendorong petugas sampai terjengkang.
Saya nggak mau komentar, deh, soal Habib Umar yang sampai lekas kendali. Toh video yang kita temukan di medsos sudah banyak yang dipotong. Penghakiman akan sikap saya serahkan ke kamu-kamu semua yang kayaknya nggak pernah berbuat dosa. Satu perdebatan yang saya temukan dari kejadian ini adalah soal berpakaian.
Kebetulan, saat itu, Habib Umar memakai gamis. Karena melihat kegagalannya mengontrol emosi, banyak netizen yang “mencacati” gamis Pak Habib. Sebelum terlalu jauh, saya cuma pengin bilang gini: bukankah beliau yang bernama lengkap Habib Umar Abdullah Assegaf, adalah pengasuh Majelis Roudhotus Salaf, Bangil, Pasuruan, Jatim? Kan normal kalau seorang habib pakai gamis.
Oh, karena gagal mengontrol emosi, maka Pak Habib layak dijadikan bulan-bulanan? Ada, lho, yang sampai menggunakan kata “daster” sebagai kata ganti “gamis”. Selain “daster”, ada satu lagi istilah yang sering dipakai, yaitu “kadrun”, singkatan dari “kadal gurun”. Mereka memakai gamis sebagai usaha representasi keimanan, atau setidaknya itu pikiran orang-orang.
Lho, representasi iman, kok, dipermasalahkan? Sayangnya, kenyataannya begitu. Apa ya namanya. Kalau nggak salah, sih, kita pakai kata “stigma” untuk menggambarkan sebuah “kesepatakan publik”. Seakan-akan, mereka yang pakai gamis atau cadar itu suka bikin onar. Nah, stigma kayak gini terbentuk karena, kok ya kebetulan, yang bikin onar dan jadi viral adalah mereka yang, antara pakai gamis atau cadar, dan seakan-akan merepresentasikan agama tertentu.
Nggak cuma sekali, kan, kita nemu video orang pakai gamis atau cadar lagi bikin onar. Entah itu menutup warung, berantem sama petugas pemerintahan, atau ngusirin orang pacaran di tempat umum. Pakaian yang mereka kenakan terkesan kontras dengan kelakuannya. Kasus demi kasus terjadi membentuk stereotip orang pakai gamis atau cadar pasti suka ribut.
Misalnya, ahhh, pokoknya ada. Ketika orang pakai gamis dan cadar jadi pusat perhatian. Takut saya mau melanjutkan. Hehehe….
Intinya, udah salah, ngeyel lagi seperti yang disangkakan ke Habib Umar. Ditegur baik-baik, malah melawan. Mentang-mentang “berdaster”, Habib Umar merasa paling benar, sok jagoan. Gak ada akhlak. Jahil ente! Begitu netizen berkomentar. Bukan saya, ya. Hehehe….
Mereka yang, seperti Habib Umar, pakai gamis dan cadar, pasti pernah perhatian di tengah kerumunan. Semua mata memandang dengan nanar. Curiga. Apa ya semua yang pakai gamis atau cadar selalu bawa bom. Gimana kalau ternyata, tas besar yang mereka bawa isinya sembako buat disumbangkan? Nah, kamu jadi kelihatan goblok, kan.
Memakai gamis tak lantas menjadikanmu orang bengis. Wih, berima. Kenapa sih, kita hobi banget melanggengkan pakaian dengan stigma tertentu? Suka mengkait-kaitkan bikin stereotip terus berlanjut. Prasangka jadi awet. Akhirnya, kita malah saling mencurigai satu sama lain.
Padahal, klisenya, kualitas diri tidak bisa dinilai berdasarkan pakaian. Lagian, ngapain sih kita harus ribet-ribet ngurusin seseorang yang bercadar atau pakai gamis kayak Habib Umar? Toh, mereka waktu beli juga nggak nyusahin orang lain. Nggak ngabisisn duit orang lain juga.
Yang perlu disoroti, mungkin lho ya, kegagalan Habib Umar mengontrol emosi. Lagian, kalau nggak salah, PSBB ada UU yang perlu ditaati. Pakai masker, misalnya. Nah, sikap itu yang perlu dikritik. Jangan pakaiannya. Banyak yang necis, tapi malah bajingan sejati, kok. Menyengsarakan hidup banyak orang.
Tindakan melawan hukum yang dilakukan gamis dan cadar tidak bisa dijadikan pembenaran akan sebuah stigma. Orang akan selalu berbuat jahat apa pun bajunya. Penghakiman membuat kita terlalu sempit memandang dunia.
BACA JUGA Negara Boleh Goblok, Kita Jangan atau artikel lainnya dari Rizky Prasetya.