MOJOK.CO – Sebenarnya kenapa sih kalau patokan mobil mewah arogan selalu muncul stereotip mengarah ke Pajero dan Fortuner? Salah dua mobil itu apa coba?
Kalau Anda sempatkan sejenak mengetik di mesin pencari dengan kata kunci merek mobil apa yang paling sering arogan di jalanan? Maka ada dua pabrikan yang akan keluar di sana, yakni Toyota Fortuner dan Mitsubishi Pajero.
Dari mesin pencari itu, Anda akan diarahkan dengan berita-berita soal kelakuan pengendara Fortuner atau Pajero di jalanan. Dari yang mengacungkan pistol, aniaya ke sopir truk, sampai yang belum lama viral seperti di bawah ini:
Silakan teman-teman menyampaikan sepatah dua patah kata untuk orang ‘kaya’ ini. Saya speechless… 😟 pic.twitter.com/3rfcmrjuqh
— 𝐍𝐚𝐮𝐫𝐚 𝐀𝐮𝐫𝐮𝐦 𝐊𝐡𝐚𝐧 (@NAurumn) December 23, 2021
Iya, siapa saja akan speechless dengan kelakuan bapack-bapack yang ternyata anggota Pemuda P&@*#* di video tersebut. Namun lebih dari itu, ketimbang kelakuan bapack-bapack nggak bermutu kayak gitu, ada beberapa netizen yang fokus ke mobilnya.
Meski bukan Fortuner dan Pajero, mobil Land Cruiser yang nongol di video CCTV itu semakin menegaskan bahwa mobil bermodi bongsor kerap dianggap sebagai representasi arogansi jalanan. Dan dua merek paling lekat di ingatan netizen yang kebetulan Fortuner dan Pajero, ikut terseret lagi pada stereotip ini.
Duh, Pajero dan Fortuner… apes banget sih kalian berdua.
Inilah yang kemudian muncul dalam rilis riset pengemudi mobil mewah cenderung arogan dari Kumparan. Rilis yang kemudian ramai dikomentari netizen. Riset itu mengutip beberapa jurnal terbitan PNAS pada 2012 yang menunjukkan bahwa kelas individu upper-class kerap melakukan tindakan tak etis di jalanan.
Di jurnal penelitian yang lain, dari Universitas Helsinki, dengan survei yang dilakukan oleh pengendara mobil di Finlandia, hasilnya menunjukkan tone senada. Bahwa pengendara mobil mewah cenderung arogan. Dan di Indonesia, karena ada kata-kata “arogan”, entah kenapa alam bawah sadar kita jadi langsung mengarah ke Pajero, Fortuner, atau mobil yang mirip-mirip dengan itu. Mobil yang masuk pada kategori lumayan mewah.
Persoalannya, ada beda definisi antara mobil mewah di luar negeri dengan mobil “lumayan kelihatan” mewah di Indonesia. Di luar negeri, seperti di Finlandia, kategori mobil mewah itu terpatok pada mobil pabrikan Jerman, entah itu yang Mercedes, entah itu yang BMW.
Sedangkan di Indonesia, mobil mewah dengan mobil cenderung arogan punya satu variabel penting yang tak boleh dilewatkan dalam upaya membedakannya, yakni keberadaan sopir pribadi. Punya atau nggak?
Kalau Anda perhatikan kasus arogansi yang dilakukan oleh “oknum” (biar nggak semua pemilik dua mobil ini ngamuk) pengendara Fortuner atau Pajero, peristiwa seperti itu kerap kali dilakukan oleh pemilik kendaraannya langsung. Mereka bukan sopir, tapi ya memang orang yang punya mobil.
Beda sekali dengan pemilik mobil mewah kayak Alphard atau yang sekalian di puncak kayak Rolls-Royce. Jenis mobil yang justru cukup jarang ditemukan praktik arogan-nya, karena ya yang ngendarain ya sopir si empu mobilnya.
Ada sih mobil mewah pol mentok yang ada di puncak teratas dan kerap dikendarai sendiri. Jenis mobil seperti Tesla, Aston Martin, McLaren, Lamborghini, atau Ferrari, misalnya.
Hanya saja, mobil model begitu justru jarang banget menampakkan arogansi-nya di jalanan (mungkin ini berbanding lurus dengan orang yang punya mobil itu juga sedikit sih, jadi kasusnya jarang ada).
Sebaliknya, mobil seperti Fortuner, Pajero, atau mobil-mobil bongsor lainnya punya alasan sendiri punya stereotip arogan. Salah satu hal yang bisa saya baca, karena kedua mobil ini merepresentasikan citra kokoh nan kuat. Citra yang maskulin sekali.
Dengan bodi cukup tinggi, ban besar, pengendara Fortuner dan Pajero terkesan berani diadu dengan mobil pabrikan lain. Bukan diadu dalam hal kecepatan tentu saja, tapi ketahanan maupun kekuatan. Seolah, pemilik kedua mobil ini punya power besar yang siap menghabisi siapa saja yang mengganggu.
Citra seperti ini lantas membuat alam sadar kita merasa bahwa mobil yang punya kekuatan lah yang masuk kategori mewah, karena dengan kekuatannya, pemilik mobil seolah-olah jadi lebih aman kalau mau ngapa-ngapain.
Stereotip ini bukan lahir dari ruang kosong sebenarnya. Saya curiga ini ada hubungannya dengan mentalitas kita yang kerap menyandingkan kekuatan dengan kekuasaan (yang kemudian berbanding lurus juga dengan kemewahan).
Hal yang lahir karena lebih dari tiga dekade, di bawah junta militer Presiden Soeharto, kita percaya bahwa yang kuat lah yang punya kekuasaan di segala aspek kehidupan, termasuk di jalanan. Dengan kata lain; dari kekuatan, lalu jadi punya kekuasaan, keduanya lantas jadi merepresentasikan kemewahan.
Itu yang kemudian jadi alasan mobil-mobil “kuat” seperti ini cenderung dipilih, karena kesan kemewahan bisa didapatkan kalau Anda bisa menampakkan kekuatan di ruang publik. Kebetulannya lagi, mobil Fortuner dan Pajero, adalah mobil “termurah” yang bisa Anda dapatkan kalau Anda ingin menampilkan sisi-sisi big energy itu.
Soalnya, di kelas yang lebih wah secara ketahanan, mobil yang lebih mewah sebenarnya cukup banyak, cuma ngidap-idapi saja harganya. Mobil-mobil miliaran kayak Jeep Rubicon, Land Rover Range Rover, atau Mercedes-Benz G-Class, misalnya.
Jenis mobil yang mana orang kalau mau beli biasanya sudah kuat kalau mau memperkerjakan sopir pribadi. Kalaupun mobil kayak gitu dipakai sendiri, itu juga hanya sebagai hobi aja, bukan dipakai untuk keperluan sehari-hari. Artinya, ini orang-orang yang justru udah selesai sama urusan uang dan kemewahan.
Beda sekali dengan orang yang beli Fortuner atau Pajero, yang mana orang yang beli memang mau dipakai untuk keperluan sehari-hari untuk dikendarai sendiri. Jadi bisa dimaklumi kalau motif punya mobil kayak gitu ya karena ada kesan ingin punya sedikit citra berkuasa di ruang publik.
Nah, gara-gara stereotip buruk bagi pengendara Pajero dan Fortuner ini, kita juga jadi bisa membedakan pula bagaimana representasi mobil mewah di Indonesia dengan mobil mewah di luar negeri.
Di luar negeri, mobil mewah cenderung berpatokan pada kecepatan atau efisiensi bahan bakar. Lamborghini atau Porsche kalau untuk urusan kecepatan misalnya, atau kalau efisiensi bahan bakar ada Tesla. Karena di sana, orang mewah itu ya nggak harus “kuat” atau terkesan dekat dengan kekuasaan.
Sedangkan di Indonesia, karena kemewahan dianggap baru bisa didapatkan melalui kekuatan, makanya mobil yang dianggap mewah justru mobil-mobil yang punya corak untuk adventure (atau malah yang bentuknya dimodif kayak buat perang sekalian).
Dan bakal lebih berpeluang arogan lagi kalau di plat nomernya ada stiker keterangan keluarga aparat negara atau embel-embel pejabat negara. Dua stiker yang justru jarang nempel di plat nomor Lamborghini, Porshce, atau Rolls-Royce. Mobil yang tingkat kemewahannya sudah jauh di atas sana.
BACA JUGA Toyota Innova Tak Tertandingi karena Ia Bukan Mobil tapi Ormas dan tulisan OTOMOTIF lainnya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Ahmad Khadafi