MOJOK.CO – Mantan Jubir KPK, Febri Diansyah, mencoba berandai-andai kalau koruptor dijadikan Pimpinan KPK, siapa kandidatmu?
Tidak biasanya Febri Diansyah bersuara agak keras ketika akan mengkritik suatu pihak, tapi kali ini, karena sudah cukup geregatan barangkali, mantan Juru Bicara KPK ini akhirnya mengeluarkan jurus sindiran ke lembaga tempat ia dulu bekerja.
“Ke depan perlu terobosan lebih berani. Bukan hanya menjadikan eks napi koruptor sebagai penyuluh antikorupsi, tapi menjadikan mereka Pimpinan KPK. Siapa kandidatmu?” kata Febri melalui akun Twitternya.
Sindiran ini bermula dari munculnya kabar KPK akan meminta tolong mantan koruptor sebagai penyuluh anti-korupsi. Meski pada akhirnya pihak KPK mengklarifikasi bahwa tak semua mantan korupsi otomatis bisa jadi penyuluh anti-korupsi.
Ada beberapa seleksi yang harus diikuti oleh mantan napi korupsi jika bersedia menjadi penyuluh anti-korupsi. Seleksi ini menurut KPK akan memakai berbagai aspek, salah satunya aspek psikologi.
Meski mendapat tekanan keras dari masyarakat soal ide yang sangat beyond ini, KPK tetap bergeming dengan argumentasi: semua pihak perlu dilibatkan dalam pemberantasan korupsi, bahkan termasuk koruptor itu sendiri. Hm, sebuah kredo yang sangat menggetarkan.
Dari ide tersebut, saya rasa, saya pun merasa perlu mengusulkan beberapa nama yang dirasa cukup punya kapasitas sebagai sosok penyuluh anti-korupsi. Menimbang dengan kasusnya terdahulu dan kemampuannya yang luar biasa. Bahkan tidak sekadar penyuluh, tapi mengamini kata Febri Diansyah, sekalian aja jadi pimpinan KPK.
Setya Novanto
Setya Novanto jelas harus berada di posisi pertama sebagai kandidat Pimpinan KPK, atau seminimal-minimalnya sebagai penyuluh anti-korupsi kalau blio nanti bebas.
Bukan apa-apa, Setya Novanto jelas merupakan praktisi korupsi paling yahud. Tidak hanya soal kampanye anti-korupsi, tapi juga berpotensi ikut serta membantu proses penyelidikan atau penyidikan.
Misalnya, salah satu hal yang kerap kali dijadikan alasan terduga koruptor adalah sakit. Nah, pada bagian ini, KPK tak perlu memakai jasa tenaga kesehatan atau dokter, cukup dengan memanggil Setya Novanto. Minta blio yang menilai, kira-kira ini penyakitnya rekayasa atau betulan.
Sebagai sosok paling niat dan nekat ketika memakai alasan yang sama (dulu), Setya Novanto pantas kiranya meledek koruptor lain yang berpura-pura sakit ketika akan disidang, “Halah, amatir!”
Tentu sambil bisikin ke para tersangka, bahwa ngapain repot-repot merekayasa kasus kalau di penjara bisa ena-ena karena dapat fasilitas mewah. Dengan informasi-informasi seperti itu, saya yakin bakal banyak tersangka korupsi yang rela masuk penjara ketimbang bayar pengacara mahal-mahal.
Djoko Tjandra
Kandidat terbaru untuk posisi penyuluh anti-korupsi atau sekalian kandidat Pimpinan KPK berikutnya jelas, Djoko Tjandra. Sebagai koruptor kelas kakap, Djoko Tjandra bisa dibilang seperti mafia dalam urusan suap-menyuap penegak hukum.
Terhitung ada dua Jenderal Polri dan satu pegawai Kejaksaan yang terbukti menerima suap dari Djoko Tjandra. Kongkalikong yang membuat Djoko Tjandra bisa melenggang kabur ke luar negeri, sebelum akhirnya harus diciduk ketika balik lagi ke Indonesia dengan tiga kasus besar: korupsi Bank Bali, penyuapan ke penegak hukum, dan pemalsuan dokumen.
Keajaiban Djoko Tjandra bahkan tidak berhenti di sana. Dengan tiga kasus besar itu, Djoko Tjandra pun mendapat vonis hukuman yang relatif sangat ringan, yakni 4,5 tahun. Sampai akhirnya Djoko Tjandra minta banding dan hukumannya diperingan lagi jadi 3,5 tahun.
Kemampuan Djoko Tjandra dalam mempermainkan hukum di Indonesia ini perlu kiranya diapresiasi ke tempat tertinggi. Hal ini membuktikan bahwa Djoko sangat paham di titik mana saja penegak hukum di Indonesia sangat lemah untuk disuap.
Kolaborasi ini tentu saja bakal jadi duet maut, karena problem utama pemberantasan korupsi di negeri ini sebenarnya bukan terletak pada pejabat-pejabatnya, melainkan lebih ke aspek penegak hukumnya. Setidaknya, premis ini sudah dibuktikan dengan kelakuan Djoko Tjandra selama ini.
Cuma sayangnya, kalau KPK mau memakai jasa Djoko Tjandra, sepertinya mereka harus siap berebut dengan Kejaksaan yang kayak ngebet banget kasusnya ada di lembaga mereka. Maklum kasus Djoko ini belakangan terkesan kayak nggak tersentuh KPK, selain urusan supervisi di awal-awal doang.
Ya gimana, blio ini itung-itung aset negara jeh. Aset yang menunjukkan betapa ambruknya penegakan hukum kita.
Juliari Batubara
Tak perlu kalimat berbusa-busa untuk meyakinkan KPK agar mau merekrut sosok satu ini sebagai penyuluh anti-korupsi atau kandidat Pimpinan KPK masa depan. Yang terbaru blio bahkan mampu menghindari risiko tuntutan hukuman mati, dengan hanya perlu menjalani vonis 12 tahun penjara.
Kelihaian ini tentu bisa menjadi alat yang baik bagi KPK untuk menghadapi terduga korupsi yang lagi buron. Untuk menangani kaburnya Harun Masiku contohnya, cukup minta tolong Juliari untuk nasihatin ke Harun kayak gini misalnya…
“Ngapain sih kabur-kabur segala? Disidang juga cuma gitu-gitu doang. Vonisnya juga paling segitu-segitu doang. Kalau di penjara juga masih enak. Kamu nggak lihat video tayangan sel mewah Pak Setnov? Nggak punya tipi apa? Tenang, nanti di penjara ada kok.”
BACA JUGA Mendukung Langkah KPK Menggandeng Napi Koruptor dalam Program Penyuluhan Antikorupsi dan rubrik POJOKAN lainnya.