MOJOK.CO – Arena pertarungan Jokowi vs Prabowo justru bukan saat Pilpres, melainkan saat pemilihan Wakil Rakyat dalam masa Pileg. Masa panen pengidam kursi Senayan. Itu.
Lambat laun terjadinya perpindahan “pemain politik” dari kubu oposisi ke petahana menunjukkan satu hal: bahwa mereka (yang pindah) merasa bahwa jagoan sebelumnya cukup sulit menjamin karier politiknya ke depan. Dari Ali Mochtar Ngabalin sampai yang terbaru La Nyalla Mattalitti menunjukkan hal itu.
Karier politik yang kelihatan lebih terjamin membuat mereka berbondong-bondong mencari “suaka”. Beberapa transfer para politisi ini menunjukkan bahwa suara Jokowi untuk Pemilihan Presiden 2014 nanti berpotensi sulit dibendung.
Jika memang begitu, pertanyaannya kemudian; jika memang suara Jokowi sulit dibendung, lalu kenapa masih banyak politisi yang berharap banyak pada Prabowo Subianto?
Jawabannya tentu saja beragam. Dari yang masih yakin bahwa Prabowo bisa saja menyalip elektabilitas Jokowi pada masa-masa injury time, sama seperti yang terjadi dengan Anies Baswedan saat Pilkada DKI Jakarta 2017. Atau yang kedua; mendukung Prabowo akan menguntungkan untuk Pemilihan Legislatif sebelum Pilpres.
Secara hitung-hitungan sederhana, beberapa politisi seperti Fadli Zon, Ferdinand Hutahean, atau bahkan—mungkin—Hanum Rais, memilih bermain pada kelompok lebih kecil dengan potensi suara yang besar. Kekuatan Reuni 212 tidak bisa dipungkiri merupakan potensi suara yang cukup besar. Koalisi kubu oposisi memang tidak segemuk koalisi petahana, hal ini membuat pembagian “kue”-nya akan cukup besar untuk tiap-tiap politisi.
Berbeda jika merapat ke petahana. Meski secara potensi suara lebih besar, tapi kelompok ini pun terdiri dari banyak latar belakang partai dengan kepentingannya masing-masing. Pembagian suara akan terpecah-pecah sehingga membuat para politisi yang ingin melenggang ke Senayan perlu bekerja cukup keras. Saling sikut di sesama koalisi akan sengit. Musuh dalam selimutnya kebanyakan.
Ibarat ikut oposisi kamu bermain sebagai ikan besar di kolam kecil, sedangkan jika ikut petahana kamu berada dalam kolam besar meski cuma sebagai ikan kecil.
Hal itulah yang sebenarnya perlu disadari oleh para pemilih Jokowi saat Pilpres 2019 ke depan. Berada di posisi mewakili banyak kepentingan bakalan membuat Jokowi semakin tersandera di masa depan. Coba saja situ bayangkan, 4 tahun ke belakang saja Jokowi harus tersandera oleh kepentingan partai-partai yang mendukungnya.
Dari “dipaksa” untuk memilih Budi Gunawan untuk posisi Kapolri—meski akhirnya diselamatkan oleh drama KPK, sehingga bisa bermanuver memilih Tito Karnavian, harus rela berada dalam satu lingkaran dengan Lord Setya Novanto, sampai nggak berani negur Puan Maharani sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia yang bahkan kita saja nggak tahu sudah ngapain saja beliau selama ini.
Meski begitu kondisi Prabowo tidak juga lebih baik. Dengan banal para pendukungnya mengkultuskan sosok Prabowo sebagai “Wakil Pemimpin Islam” atau paling tidak dianggap lebih “mendukung ulama” ketimbang Jokowi.
Padahal, belum ada track record yang benar-benar bisa mewakili kalau Prabowo adalah representasi pemimpin umat muslim di Indonesia. Patokan pendukungnya pun cuma satu: paling tidak Prabowo nggak pernah “mengkriminalisasi ulama”. Ya iya dong, nggak pernah jadi pejabat publik kok, ya mana bisa punya jejak bermasalah dengan ulama.
Terlepas dari hal itu, bisa jadi antara Jokowi dan Prabowo tidak ingin bermusuhan satu sama lain. Pada kenyataannya ada banyak momen hangat kebersamaan keduanya. Dari akrab naik kuda bareng, minum teh bersama di istana yang romantis, sampai dengan pelukan bareng bersama atlet silat saat Asian Games beberapa waktu silam.
Hal ini juga bisa dilihat dari ungkapan-ungkapan Jokowi dan Prabowo ketika menyerang lawan politiknya masing-masing. Tak pernah terlintas sedikit pun dari keduanya menyebut nama.
Prabowo tak pernah menyebut Jokowi—bahkan sekadar nyebut Presiden saja tidak. Yang ada ya selalu sebatas kata; Pemerintah. Di sisi lain, Jokowi pun tak pernah menyebut Prabowo. Paling banter juga cuma menyebut politisi sontoloyo.
Bisa ditebak, keduanya tidak saling serang pribadi, melainkan benar-benar menyerang kelompok penyokong lawan masing-masing. Prabowo sebetulnya cuma geram dengan Megawati bersama PDIP-nya yang telah “mengkhianati”-nya saat manuver Pilkada DKI Jakarta 2012 ke Pilpres 2014, Jokowi geram dengan tingkah polah para politisi Gerindra, koalisi, dan pendukungnya yang memainkan isu PKI sampai isu agama.
Masalahnya, sebagai pemilih—terutama pendukung die hard keduanya—hal ini tidak begitu terlihat jelas. Bagi cebi dan kempi, Jokowi dan Prabowo adalah dua lawan bebuyutan. Seperti halnya Indonesia vs Thailand dalam lapangan sepak bola. Bagi Indonesia, Thailand adalah rival, sedangkan Thailand sama sekali nggak pernah menganggap Indonesia sebagai lawan yang perlu dikhawatirkan.
Tentu kamu tahu lah, siapa yang Thailand dan siapa yang Indonesia dalam analogi tersebut.
Oleh karena itu, sedikit mengejutkan sebenarnya intrik dan pertarungan di akar rumput dari bertemunya dua kekuatan ini semakin menajam belakangan ini. Padahal sudah jelas bahwa perbenturan Jokowi dengan Prabowo benar-benar diciptakan oleh para politisi-politisi yang ingin nebeng secara elektabilitas dalam Pemilihan Legislatif.
Budiman Sudjatmiko tidak akan terganggu sama sekali kariernya di dunia politik jika pun—misal—Jokowi sampai kalah dalam Pilpres. Mantan aktivis Reformasi 1998 ini akan tetap sulit dibendung untuk duduk ke Senayan lagi.
Sebaliknya, Fadli Zon juga tidak akan semakin moncer jika Prabowo sampai menang nanti. Lha gimana? Prabowo kalah saja, dia tetap tak terhentikan untuk jadi Wakil Ketua DPR RI. Paling banter juga jadi Menteri kalau Prabowo menang—jabatan yang nggak mentereng-mentereng amat dari posisi jajaran pemimpin DPR RI.
Apa yang dilakukan keduanya dalam upaya menaikkan citra jagoannya masing-masing sebagai upaya membantu karier politik para keder-kader “junior”-nya saja. Bisa dari kader sesama partai di PDIP maupun Gerindra, atau politisi junior di koalisi yang merapat dengan mereka. Bisa dari PSI, PPP, PAN, atau Demokrat.
Oleh sebab itu pertarungan Pilpres sebenarnya bukan pertarungan Jokowi dengan Prabowo. Melainkan pertarungan antara Masinton Pasaribu, Rieke Dyah Pitaloka, Budiman, melawan Fadli Zon, Andre Rosiade, sampai Dahnil Azhar. Arena pertarungannya pun sebenarnya bukan saat memilih presiden nanti, melainkan ya saling sikut saat pemilihan wakil rakyat.
Lalu ketika di akar rumput kita semua terpolarisasi antara pro-Jokowi dengan pro-Prabowo, para politisi-politisi inilah yang akan panen dengan terciptanya keributan. Disulut terus untuk saling serang satu sama lain.
Hal yang kemudian memunculkan pertanyaan; kita ini ribut-ribut untuk dukung calon presiden, atau cuma untuk dukung Wakil Rakyat yang minta dimaklumi meski kinerja buruk itu?
Dukung Jokowi atau Prabowo kok ya sampai segitunya. Kayak kehidupanmu otomatis bakal langsung sukses saja kalau jagoanmu yang menang.