MOJOK.CO – Selebgram @revinavt membongkar habis-habisan sosok doktor psikologi Dedy Susanto yang katanya abal-abal. Hingga pada akhirnya isu pelecehan sesksual pada pasien juga menyeruak.
Saya mengenal sosok Dedy Susanto dari media sosial. Beberapa kali statemen yang dia unggah memang menarik perhatian. Di luar itu saya sama sekali nggak tahu kalau ternyata Dedy juga membuka praktik terapi yang tarifnya mencapai Rp1,5 juta per sesi (1-2jam).
Belakangan, selebgram @revinavt terlibat ribut-ribut dengan doktor psikologi ini. Kecurigaan awal Revina muncul setelah beberapa kalimat justifikasi Dedy Susanto terhadap LGBT dan bipolar sama sekali tidak terdengar seperti psikolog. Revina kemudian mulai ngecek apakah nama doktor ini terdaftar sebagai tenaga medis di SIK HIMPSI (Sistem Informasi Keanggotaan Himpunan Psikologi Indonesia) dan nama Dedy tidak ditemukan.
ah … emang udah curiga dariawal karena beberapa kali aku mikir dia cukup judgemental buat ukuran “psikolog” yang dia akuin
well, aku screenshot beberapa instagram story kak revina
part 1 https://t.co/gjEKigKHK1 pic.twitter.com/JhatHlmRFl
— Riv (@trivnity) February 13, 2020
Saya kemudian penasaran dan ngecek sendiri melalui SIK HIMPSI, dan benar saja nama Dedy tidak tercantum. Kalian yang ingin ngecek juga bisa klik tautan ini. Ketikkan namanya di kolom maka, sureprise! Tidak ada.
Menanggapi vokalnya Revina di akun Instagramnya, Dedy menyangkal. Bahwa Dedy sama sekali tidak pernah mengaku sebagai dokter atau pun psikolog, dia adalah doktor psikologi. FYI, dokter dan doktor itu beda jauh memang. Dokter adalah yang benar-benar punya izin praktik klinis, sementara doktor adalah gelar yang kalian dapatkan setelah lulus S-3.
Sungguh ini membingungkan, karena kebohongan terbaik adalah dengan mengutarakan kejujuran.
Terlepas dari kontroversi riwayat pendidikan Dedy yang juga sudah ditelusuri Revina (eh beneran katanya doi bikin disertasi cuma 2 bulan?), Dedy juga mengaku bahwa profesinya selama ini adalah hipnoterapis yang menyembuhkan mental dengan berbagai metode terapi.
Untuk mendalami tentang profesi psikolog, saya mewawancara seorang tenaga pengajar yang namanya jelas sudah terdaftar di HIMPSI, Gisella Arnis Grafiyana, S.Psi., MA. Kalian boleh cari namanya kalau tidak percaya.
Katanya, orang yang tidak memiliki izin praktik psikologi sebenarnya nggak boleh sembarang membuka praktik konsultasi, termasuk terapis. Bahkan embel-embel terapis juga kerap disalahgunakan buat membuka praktik bertarif fantastis. Gisella juga membedakan profesi psikiater dan psikolog dengan terapis.
FYI, psikolog adalah seorang tenaga medis kesehatan mental yang sekolah S-1 dan S-2 jurusan Psikologi. Namanya harus sudah terdaftar di HIMPSI dan dapat izin praktik konsultasi. Sementara psikiater adalah seorang tenaga medis kesehatan mental yang sekolah S-1 Kedokteran dan S-2 Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa. Tentu sudah harus punya izin praktik juga.
Sedangkan terapis, standarisasi resminya secara nasional masih belum jelas. Indikator pengukuran kredibilitasnya nggak ada. Seolah sarjana Pertanian pun bisa jadi terapis (tanpa sertifikasi).
Terapi tanaman [aww mlu bnget].
Isu pelecehan seksual yang menyeruak setelah ribut-ribut Revina VT vs Dedy Susanto Viral
Beberapa orang merespons Revina dengan pengalaman mereka berkonsultasi bersama Dedy. Terhitung lebih dari tiga pasien mengaku pernah diajak berhubungan badan dan diduga telah dilecehkan secara verbal maupun nonverbal. Modusnya adalah dengan konsultasi di kamar hotel.
Dikutip dari beberapa pengakuan pasien Dedy, mereka takut saat Dedy mulai meraba bagian tubuh tertentu. Dedy diduga beralasan bahwa apa yang dia lakukan adalah bagian dari hipnoterapi untuk penyembuhan. Btw, jangan percaya dokter mana pun kalau mulai grepe-grepe tanpa konsensual dan ngajak berhubungan badan, berarti mereka mesum!
Kecuali kalau dokter itu adalah suami kalian.
Jika dugaan pelecehan seksual ini terbukti, tuduhan kepada Dedy Susanto bukan sekadar etika profesi dan legal tidaknya dia membuka praktik konsultasi. Melainkan melebar pada tindak kriminal pelecehan seksual. Melalui Revina, Majelis Psikologi kabarnya telah dalam proses pengumpulan data dan mencari pasien yang sudah dirugikan secara asusila untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Kita akan tunggu.
Kenapa kasus ini makin gelap aja, sih?
Sederet tips jika kalian merasa harus konsultasi
Sudah barang umum kalau melakukan self-diagnosed pada diri sendiri itu tidak benar. Saya nggak bisa mengklaim diri saya bipolar atau depresi jika saya belum benar-benar menemui psikolog dan menjalani serangkaian tes.
Begitu juga jika saya tiba-tiba konsultasi pada seorang teman yang statusnya masih mahasiswa jurusan Psikologi dan dia mengatakan saya depresi, vonis ini sama sekali tidak valid. Sekalipun Dedy Susanto adalah lulusan S-3 jurusan psikologi, dia benar-benar tidak bisa melakukan diagnosa.
Cara untuk mengetahui apakah mental kita perlu diobati atau tidak adalah dengan melakukan konsultasi kepada psikolog dan psikiater yang asli. Bukan pada terapis tanpa legalitas. Psikiater akan menangani pasien yang sudah predisposisi gangguan jiwa dan butuh pengobatan klinis dengan melakukan tindakan psikologis (psikoterapi) atau dengan obat.
Sementara terapis yang dimaksud akan memotivasi kalian dengan metode macam-macam tanpa berhak melakukan diagnosa.
Langkah yang wajib ‘ain harus kalian lakukan saat memutuskan konsultasi ke psikolog adalah:
- Pastikan psikolog yang kalian kunjungi terdaftar di HIMPSI, jika namanya tidak ditemukan maka tinggalkan.
- Tanyakan nomor SIPP (Surat Izin Praktik Psikologi) untuk memastikan bahwa psikolog yang kalian temui mengantongi izin resmi dan bukan orang dengan profesi abal-abal.
- Memilih konsultasi di puskesmas atau rumah sakit tertentu akan memudahkan kalian karena setiap psikolog di lembaga kesehatan sudah tentu terverifikasi.
Lemahnya pengetahuan kita soal kesehatan mental menyebabkan kesalahpahaman tiada ujung tentang keprofesian psikolog, psikiater, dan terapis. Padahal isu kesehatan mental bukan perkara simpel layaknya demam yang bisa turun setelah minum pracetamol. Berhati-hatilah pada mental kita sendiri. Alih-alih ingin menyembuhkan kecemasan, kita justru bakal semakin depresi jika berkonsultasi dengan orang yang salah.
Ralat: Kalimat “psikiater tidak bisa melakukan diagnosa mental” pada artikel ini sudah diperbaiki menjadi “Psikiater akan menangani pasien yang sudah predisposisi gangguan jiwa dan butuh pengobatan klinis dengan melakukan tindakan psikologis (psikoterapi) atau dengan obat.” Atas kesalahan tersebut, redaksi Mojok mohon maaf.
BACA JUGA Mengkritik Orang yang Melanjutkan Kuliah Lagi Cuma buat Ngisi Waktu Luang atau artikel lainnya di POJOKAN.