Dari Sinetron Kolosal Kita Belajar Bahwa Kita Tak Selalu Harus Menjadi yang Utama

pendekar

Malam kemarin, istri saya yang sedang ada urusan pekerjaan di luar kota mendadak mengirimi foto siaran Indosiar yang sedang ia tonton. Saya tak tau apa judul sinetronnya. Yang jelas, ada sosok yang oleh oleh istri saya dulu sangat ia idolakan.

Saya yang juga tumbuh bersama deretan sinetron-sinetron Indosiar utamanya dari produksi Gentabuana tentu saja penasaran. Siapa sosok aktor yang ia idolakan itu. Istri saya juga lupa, siapa nama aktor tersebut.

Tak berselang lama, berbekal usaha googling, akhirnya ia tahu, siapa nama sosok itu. Namanya Temmy Rahadi.

“Oalah, Temmy tho…” kata Saya. Saya langsung merasa geli saat tahu kalau istri saya dulu ngefans sama Temmy Rahadi. Maklum saja, kepada istri saya, saya pernah mengaku kalau dari sekian banyak aktris di deretan sinetron Gentabuana, satu yang begitu saya suka adalah Revi Mariska, sosok yang hampir dalam setiap episode sinetron selalu berpasangan dengan Temmy Rahadi.

“Wah, idola kita di masa lalu kok ternyata swing begini, benar-benar kita ini memang jodoh sejak dalam sinetron.”

“Lambemu…”

Perbincangan tentang aktor sinetron Indosiar ini kemudian memancing saya untuk meng-googling lebih banyak aktor-aktor sinetron Indosiar, utamanya sinetron kolosal yang memang dulu sering sekali saya tonton bersama keluarga. Sinetron-sinetron yang selalu membuat saya terobsesi menjadi seorang pendekar.

Ada banyak nama yang saya temukan. Usaha untuk mencari nama-nama itu kemudian membawa saya kepada satu kesimpulan, bahwa pada titik tertentu, saya ternyata sering sekali tidak menyukai tokoh utama, saya justru sering menyukai tokoh nomor kesekian.

Maksudnya begini. Kalian pasti pernah, menonton sinetron, dan kemudian kalian justru merasa jatuh cinta bukan pada tokoh utama, melainkan pada tokoh yang sifatnya bukan utama, misalnya temennya si tokoh utama, atau pamannya, atau pakdhenya, atau bahkan mbahnya si tokoh utama.

Ketika dulu sering nonton FTV di SCTV yang lagunya selalu saja Yovie Nuno yang “Aku memang manusia biasa, yang tak sempurna, dan Kadang salah” itu, saya sering sekali tidak naksir sama si cewek pemeran utama, saya justru kerap suka dan simpati sama temen si cewek. Alasannya sederhana, peran dia sebagai tokoh yang bukan peran utama justru membuat dirinya tampak lebih natural, tampak lebih tidak drama, dan sesekali, tampak lebih menarik.

Bagi saya, tokoh utama sering begitu menyebalkan sebab ia menyimpan ekspektasi yang terlalu tinggi. Ini saya rasakan ketika menonton sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Walau Si Doel yang diperankan oleh Rano Karno itu adalah tokoh utama, tapi saya sukar untuk menyukainya. Ia sosok lelaki yang peragu dan tidak tegas. Alih-alih Si Doel, saya justru ngefans sama Mandra atau Babe Sabeni. Sikap keduanya tampak lugas. Beda jauh dengan Si Doel.

Nah, fenomena itu ternyata juga saya alami tatkala menonton sinetron laga kolosal. Saya, tak bisa tidak, ternyata begitu ngefans sama Candy Satrio.

Entah kenapa, di mata saya, dia aktor yang cukup unik, sebab kalau main di film kolosal, biasanya selalu dapat peran menjadi jagoan protagonis nomor dua. Nah, inilah yang saya suka. 

Di Angling Dharma, misalnya, ia jadi Batik Madrim, ksatria pilih tanding yang kesaktiannya begitu mumpuni, tapi jelas masih kalah jika dibandingkan dengan prabu Angling Dharma. FYI aja nih, dulu salah satu syarat untuk bisa menikahi Dewi Setyawati (yang kelak menjadi istri Prabu Angling Dharma) adalah dengan mengalahkan Batik Madrim yang mana merupakan kakak kandung Dewi Setyawati.

Di Karmapala, Candy Satrio jadi Wibisana, raja Alengka (sepeninggal Rahwana), tokoh luhur dari kalangan raksesa, ia sakti mandraguna, tapi jelas pamornya kalah jauh bila dibandingkan dengan Sri Rama.

Begitu pula di serial Tutur Tinular, ia berperan sebagai Mpu Nambi, tokoh yang punya jiwa kepemimpinan yang kokoh, juga ilmu pemerintahan yang tak kalah baik dibandingkan Lembu Sora sekalipun. Tapi jabatannya hanyalah perdana menteri, sedangkan yang jadi raja tetaplah Prabu Wijaya.

Candy Satrio ini seakan menyadarkan saya, bahwa sebagai manusia, kita kadang memang tidak hebat-hebat amat. Obsesi menjadi yang terbaik adalah obsesi yang kadang menjebak. Kita harus belajar sadar, bahwa kadang ada posisi yang tidak bisa, dan memang tidak perlu untuk kita raih.

Dalam hidup ini, kita tak selalu butuh menjadi yang nomor satu, yang utama, yang terdahsyat, yang terhebat, dan yang ter- ter- lainnya.

Terkadang kita memang hanya butuh menjadi yang kedua, ketiga, atau yang keempat. Sebab menjadi yang utama, tak selalu yang terbaik bagi kita.

Ingat, dunia ini tidak melulu butuh juara yang berdiri di atas podium, kita juga butuh orang-orang yang menonton si juara dari bawah dan bertepuk tangan untuknya.

Exit mobile version