Bu Risma Diledek karena Kita Kekenyangan Gimmick Politik

Bu Risma Diledek Karena Kita Kekenyangan Gimmick Politik

Bu Risma Diledek Karena Kita Kekenyangan Gimmick Politik

MOJOK.COAsumsi saya, ledekan kepada kerja Bu Risma berasal dari orang-orang yang terlalu capek dengan gimmick politik. Membuat mereka memukul rata setiap kerja.

Orang Jawa mengenal istilah kewaregen. Sebuah situasi di mana kita makan terlalu banyak sampai kekenyangan. Sampai tidak bisa bergerak. Sampai hilang selera ketika melihat menu yang sama datang lagi. Padahal, sebelumnya, menu itu enak betul. Bikin mulutmu yang bisa berhenti nggiling, mbadog, madyang, sampai sakit perut.

Menu yang datang lagi itu nggak punya salah. Namun, karena kamu terlalu rakus, jadi kehilangan selera dan merasa semua menu yang terhidang nggak ada enaknya blas. Bisa nggak analogi itu dipakai untuk menggambarkan cara pandang rang-orang yang sering meledek Ibu Tri Rismaharini atau yang akrab disapa Bu Risma itu karena terlalu banyak mbadog gimmick politik?

Ya kalau nggak bisa, dianggap bisa aja, lah. Biar cepet. Anggap saja memang banyak rang-orang kayak kamu yang terlalu rakus menelan semua branding dan janji politik. Rakus, sampai perut sakit dan kepala pusing. Lalu, pada akhirnya, ketika ada politikus yang sekadar ingin mengabdi dengan caranya sendiri kamu anggap pencitraan.

Wali Kota Surabaya itu sering betul jadi viral berkat video marah-marah atau lagi seru sendiri turun ke jalan secara langsung. Kalau yang viral itu video marah-marah, Bu Risma dianggap galak. Dianggap punya temperamen tinggi seperti stigma yang melekat kepada orang Surabaya. Dianggap galak dan tidak mudah didekati.

Kalau yang viral adalah video kerja langsung ke jalan, dianggap pencitraan. Dianggap nggak becus kerja. Kok sampai harus repot turun ke jalan sendiri. Kalau kerjanya bener, Bu Risma nggak perlu sampai perlu kerja rodi di pinggir jalan.

Satu hal yang selalu saya tangkap adalah potongan video dengan durasi pendek itu tidak pernah bisa menceritakan kondisi yang sesungguhnya. Potongan itu tidak akan bisa menceritakan siapa sesungguhnya Bu Risma.

Gini ya. Saya bukan orang Surabaya. Saya orang Jogja. Saya juga bukan pendukung Bu Risma secara politis. Saya cuma merasa perlu menyalurkan kecrohan ini kepada kamu semua yang sudah capek dengan dunia politik. Saya paham, kok. Ledekan kepada Bu Risma itu, sebagian besar, berasal dari orang yang lelah dengan gimmick politik. Atau, asumsi kedua, berasal dari netizen bukan orang Surabaya yang selalu curiga akan segala sesuatu.

Beberapa hari yang lalu, viral sebuah video yang mempertontonkan Bu Risma sedang ikut turun ke jalan mencoba mengurai kemacetan di Jalan Darmo. Menurut penuturan orang Surabaya asli, Jalan Darmo di jam pulang kantor memang macet banget. Pun saya sering terjebak kemacetan di situ secara istri saya bekerja di Surabaya.

Wah, video itu banjir komentar. Terutama mereka yang meledek Bu Risma. Nggak becus kerja. Pencitraan. Suram.

Saya pernah ngobrol dengan seorang kenalan. Katanya, Bu Risma ya memang begitu. Galak? Saya pun penasaran.

“Galak ya galak. Tapi Bu Risma ya gitu,” jawaban yang tidak menjawab pertanyaan.

Dia menjelaskan dengan sebuah perumpamaan. Bu Risma itu jadi Wali Kota Surabaya seperti hubungan ibu dan anak. Anaknya ini bandel minta ampun. Suka main air.

Si Ibu memang galak. Dia menyuruh si anak untuk segera mandi biar nggak kotor lagi. Karena si anak memang bandel, Bu Risma turun tangan langsung. Nggak pakai kebanyakan nyangkem. Sat set kayak toko online menjelang Harbolnas. Hari Dobol Nasional.

Si anak bandel ditarik tangannya. Bukan tarikan yang bikin sakit. Tapi tarikan yang mengajak. Bu Risma lalu memandikan si anak. Mengeringkan badannya dengan handuk yang masih bersih. Setelah itu, badan si anak ditaburi bedak. Lalu, dioleskan minyak kayu putih di dada dan leher supaya si anak tidak masuk angin.

Setelah bersih dan wangi, si anak disuapi. Setelah kenyang, Bu Risma menemani si anak tidur siang. Melepas lelah setelah sekolah dan bermain air.

Bu Risma melakukan rentetan kegiatan merepotkan khas ibu-ibu yang terkadang sulit dipahami beberapa bapak-bapak itu. Ia melakukannya sendiri. Dia tidak ingin si anak justru dekat dengan asisten rumah tangga atau pengasuh anak.

Bu Risma yang saya kenal bukan orang yang berbasa-basi. Tidak boros membuang napas untuk berjanji.

Misalnya mau jalan kaki dari Jakarta ke Jogja tapi nggak jadi. Atau ada orang yang dulu bilang pengawas KPK nggak bakal dari penegak hukum aktif. Ehh, yang diangkat ternyata hakim aktif. Orang itu mengelak dengan bilang wartawan yang salah dengar. Dipikirnya zaman sekarang nggak ada alat rekam dan jejak digital.

Saya tidak pandai menjelaskan gimmick politik. Jadi, saya hanya bisa berasumsi kamu cuma kekenyangan menelan gimmick itu. Bu Risma bukan pejabat yang sempurna. Kekurangan jelas ada. Bikin tidak puas, saya rasa sering. Sama saja seperti pejabat publik lainnya.

Namun, sebaiknya kita memang perlu berhati-hati dengan gimmick politik. Orang kuat menekan yang lemah tidak hanya menggunakan popor senjata. Mereka juga menekan kita dengan alas sepatu bertuliskan janji manis politik. Tinggal pilih saja kita mau secara iklas diinjak menggunakan sepatu jenis apa.

Soal Bu Risma, saya memasrahkan penjelasan lebih lanjut kepada kesaksian orang Jawa Timur langsung. Silakan:

Tambahan:

Kesaksian dari orang yang kerja di Pemkot:

Kok ya banyak benernya:

BACA JUGA Nggak Percuma Kita Takut Bu Risma Marah, Kedisipilinannya Soal Taman Diganjar Honoris Causa atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.

Exit mobile version