Berhentilah Mengumbar Depresimu di Media Sosial

kesehatan mental dan stigma odgj mojok.co

Ilustrasi kesehatan mental. (Mojok.co)

MOJOK.COSaya juga nggak tahu apakah saya lagi depresi atau nggak. Yang pasti, seperti kata teman saya ini: “You are not alone, never feel alone.”

“1F you c4n r34d th1s, th3n c0n6r4tu74t10n y0u h4v3 d3pr35510n.”

Enggak, kok, enggak. Kamu nggak lagi depresi jika bisa membaca kalimat yang acak di atas. Ya, mungkin belum terdiagnosa aja, sih.

Perlu kamu ketahui, otak manusia memang punya kemampuan membaca kalimat acak seperti di atas. Fenomena kayak gitu namanya Typoglycaemia atau kemampuan otak untuk membaca kalimat acak selama huruf pertama dan terakhir berada pada tempatnya. Makanya, kemampuan itu nggak selalu berhubungan sama kondisi mental tertentu, misalnya stes atau depresi.

Oleh sebab itu, jangan gegabah menyimpulkan, ya. Lantaran bisa baca kalimat acak, langsung merasa stres atau depresi. Please, sebaiknya mulai sekarang, kurang-kurangi kebiasaan mengumbar masalah mental health ke media sosial. Feedback yang kamu dapetin bakal nggak enak banget.

Beberapa minggu yang lalu, ada seorang selebtwit, lewat media sosial, bilang kalau dirinya sedang mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang kenal dia, langsung panik. Orang yang sekadar follow di Twitter langsung memberikan perhatian, afeksi. Memberi semangat kepada mas selebtwit untuk terus melanjutkan hidup. Ada pula yang menyarankan mas-mas selebtwit ini untuk menemui tenaga profesional.

Beberapa hari kemudian, si mas selebtwit muncul lagi di Twitter. Alhamdulillah, beliau nggak jadi bunuh diri. Apa yang terjadi? Si mas selebtwit ini diketawain banyak orang. Dianggap nggak punya nyali, sampai dituduh cuma sebatas ngonten aja di Twitter. Setelah kejadian itu, apa pun yang beliau ucapkan di Twitter, disambut oleh cibiran. Yang pada derajat tertentu, punya efek sangat berbahaya, terutama bagi mereka yang memang lagi depresi betulan atau punya masalah sama kesehatan mental.

Inginnya dapat afeksi, yang terjadi malah serangan-serangan yang berdampak negatif untuk kesehatan mental. Yang paling bener, memang, langsung ketemu tenaga profesional, bisa psikiater atau psikolog. Pada derajat tertentu, jangan gegabah melakukan diagnosa mandiri. Apalagi, hasil diagnosa mandiri yang jauh dari akurat, malah buat ngonten.

Audian Laili, redakur Mojok, pernah menjelaskan masalah diagnosa mandiri. Kira-kira, Mbak Audian bilang begini, saya kutipkan aja biar jelas:

“Kita ambil contoh, kita sedang membaca sebuah infografis tentang depresi. Di situ disebutkan tentang ciri-ciri dari seseorang yang mengalami depresi. Di antaranya, tidak punya minat untuk beraktivitas, mengalami gangguan tidur, gangguan makan, dan lain lain. Nah, ketika kita membaca informasi tersebut, lantas kita merefleksikannya pada diri kita sendiri. Sambil mengecek, apakah ada dari ciri-ciri yang disebutkan juga kita alami?”

“Oh ternyata ada. Ada yang muncul dengan intensitas rendah. Ada pula yang muncul dengan intensitas yang cukup tinggi.”

“Wah, iya nih. Aku sering banget ngerasa nggak punya kekuatan dan semangat untuk menjalani hari. Sepertinya aku ada potensi mengalami depresi, deh!”

“Eits, tunggu dulu. Tunggu dulu. Tidak semudah itu, Kisanak. Bagaimana bisa kamu langsung yakin kalau tidak ada semangat dalam menjalani hari, itu dikarenakan kamu sedang mengalami depresi. Bisa jadi, ya memang pada dasarnya kamu itu, MALES NGAPA-NGAPAIN!!!1!!11!”

Dari diagnosa mandiri itu, secara gegabah, kamu curhat ke media sosial. Ya seperti mas-mas selebtwit tadi. Efeknya adalah, hampir setiap orang yang ingin speak up tentang kegelisahan yang lagi dirasakan, biasanya menjurus ke kesehatan mental, dianggap fake. Bahkan banyak orang yang sudah sampai pada titik muak dan ingin berkata kasar.

Sebuah saran buat kamu yang merasa depresi

Sebelum menulis artikel ini, saya menghabiskan 30 menit untuk mengobrol dengan salah satu teman saya. Dia pernah punya masalah dengan kesehatan mental karena berbagai sebab yang tentu tidak boleh saya ceritakan. Sekarang, dia bisa bertahan melalui kegelisahan setelah menemui dan berbicara dengan tenaga profesional.

Teman saya punya sebuah pesan bagi kamu yang suka ngonten, berbagi rasa depresi kepada netizen. Pesannya sangat sederhana:

“Saya harap kamu semua punya orang dekat yang bisa menjadi tempat bercerita. Orang tua, mungkin. Atau teman yang bisa kamu percaya biar kamu bisa coping with your stress. Terlepas dari asli atau fake kondisi kesehatan mentalmu, punya orang lain untuk bercerita banyak hal itu penting banget. Ketika kamu merasa punya perasaan nggak enak, besok lagi, bisa langsung cerita ke orang terdekat, jangan ke medsos dulu.”

“Kenapa begitu?” Tanya saya kepada dia.

“Soalnya, kalau orang itu memang mau bunuh diri, yang mana pasti udah depresi banget, biasanya nggak bakal sempat ke medsos. Ada beberapa orang yang fokusnya ke depresi aja, nggak kepikiran lain-lain,” jawab dia.

“Jadi, karena itu juga, banyak orang yang malah marah-marah kalau ada yang curhat ke medsos lagi depresi?”

“Bisa jadi, karena aku juga punya keprihatinan yang sama. Kalau lihat kejadian kayak gitu, rasa-rasanya pengin langsung reach out aja. Lewat DM tapi, bukan di ranah publik, ya, karena kalau memang depresi betulan, ya kudu ditemenin. Dulu, aku bisa coping with my stress juga karena ada orang yang reach out ke aku, yaitu orang tua dan teman dekat. Mereka nyaranin aku ke tenaga profesional.”

“Jadi, sebetulnya nggak ribet ya buat mengatasi masalah kayak gitu?”

“Kelihatannya, sih, nggak ribet. Ketemu psikiater atau psikolog lalu minum obat yang disarankan. Tapi, kan, tiap-tiap orang belum tentu punya penerimaan yang sama. Apalagi, kalau udah beda usia, beda zaman, beda cara berpikir. Pertama-tama, harus ada yang menemani dulu aja.”

“Ada yang mau disampaikan ke mereka?”

“Kembali lagi, sih, kalau memang depresi, lebih baik jangan ke medsos karena feedback yang bakal kamu dapet bahaya buat kesehatan mental. Nanti malah dianggap cuma mau ngonten aja. Jadi banyak yang risih dan nggak suka.”

Begitu, ya, pembaca. Saya memang bukan ahli di masalah kesehatan mental. Saya juga nggak tahu apakah saya lagi depresi atau nggak. Yang pasti, seperti kata teman saya ini: “You are not alone, never feel alone.”

Semuanya bisa diperjuangkan dengan sebuah niat untuk bercerita….

BACA JUGA Nggak Usah Ngaku Mengalami Gangguan Psikologis Kalau Cuma Bersumber dari Infografis atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version