Bapak Saya Menolak Serangan Fajar dan Saya Bangga Setengah Mampus

Bapak Saya Menolak Serangan Fajar, dan Saya Bangga Setengah Mampus - Mojok.co

Sudah beberapa edisi coblosan, saya tidak pulang ke rumah. Coblosan pemilihan Bupati tahun kemarin, misalnya, saya tidak mencoblos. Selain karena memang saya bingung dengan pilihan yang harus saya pilih (Pilkada Bupati Magelang tahun lalu mempertemukan Zainal Arifin dengan Zainal Arifin, yang akhirnya dimenangkan oleh Zainal Arifin), saya juga malas.

Kemudian pada pemilihan kepala desa beberapa waktu yang lewat, saya juga absen. Kali ini bukan karena malas (sebab saya memang jadi salah satu pendukung calon kepala desa), melainkan karena bangun kesiangan.

Nah, di Pemilu tahun ini, saya akhirnya pulang dan ikut mencoblos. Sungguh sebuah keputusan yang tak sia-sia, sebab saya akhirnya mendapatkan satu cerita yang kelak akan membuat saya begitu bangga.

Asalah bapak saya, yang menjadi sumber kebanggaan tersebut.

Dalam urusan politik, Bapak saya adalah sosok yang murah sekali suaranya. Dalam pemilu edisi-edisi sebelumnya, bapak saya hampir selalu mencoblos caleg yang memberikannya serangan fajar.

Saya ingat betul, di Pileg 2014, bapak memilih salah satu caleg dari salah satu partai karena paginya mendapatkan serangan fajar 80 ribu. Pada pemilihan kepala daerah juga begitu, bapak saya mencoblos mereka yang tim suksesnya memberikan tali kasih buat bapak.

Namun di pemilu edisi kali ini, dia menjadi sosok yang berbeda.

“Tadi nyoblos apa, Pak?” Tanya saya sesaat setelah ia keluar dari TPS.

“Yo koyo liyane,” jawabnya singkat.

“Koyo liyane, apa?”

“Jokowi.”

“Kalau caleg-calegnya?”

Dia tak menjawab. Malah cuma tersenyum. Dia kemudian langsung memacu motornya ke TPS kampung sebelah, TPS tempat dia bertugas sebagai hansip.

Senyum bapak itu ternyata merupakan sebuah tanda. Di rumah, saya diceritani sama adik dan emak, katanya, tadi malam, bapak menolak uang serangan fajar (eh, lebih tepatnya, serangan petang, wong malam hari) dari salah satu caleg. Bapak sudah punya pilihan dan ia tidak goyah serta ragu atas pilihannya tersebut.

“Pak’e ki saiki nggaya, dikei duit ora gelem…” kata adik saya.

Saya yang mendengar cerita tersebut tentu saja langsung prengas-prenges.

Lelaki bernama Trimo Mulgiyanto ini ternyata bukan hanya mengamankan TPS, tapi juga mengamankan suara, harga diri, dan martabatnya.

Hari itu, saya tak peduli, siapa politisi yang bakal menang, sebab saya sudah punya pemenang sendiri. Tanpa survei. Tanpa penghitungan suara.

Exit mobile version