Astaga, MK Menjamin Hak Konstitusi Dengan Menolak Kriminalisasi Zina dan LGBT!

LGBT_ZINA_MK_Mojok

LGBT_ZINA_MK_Mojok

[MOJOK.CO] “LGBT dibiarkan! MK menolak memenjarakan pelaku zina atas nama konstitusi!”

Setahun lalu saya menemukan berita tentang Aliansi Cinta Keluarga (AILA) yang mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi agar persetubuhan di luar pernikahan atau zina dimasukan dalam KUHP sebagai tindakan pidana. AILA berargumen bahwa “Ini adalah bagian kita untuk menjaga nilai-nilai moral.”

Sebagai muslim yang memiliki moral dan kualitas iman lebih baik dari yang lain saya mendukung sikap ini. Apalagi setelah membaca artikel Hidayatullah berjudul “Gaya Hidup yang Diedukasi Doktrin Feminisme jadi Pendorong Lahirnya Perilaku LGBT” hidup saya tercerahkan.

Artikel bisa membuat saya tanpa ragu yakin bahwa orang-orang yang ngaku Feminis dan LGBT ini harus dilawan, kalo nggak dilawan nanti bisa-bisa Indonesia hancur. Bayangkan, sekarang yang dibela hak untuk melindungi ruang privat dari negara. Nanti apa? Minta negara menjamin akses kesehatan murah? Emang dipikir negara ada buat melayani masyarakatnya apa ya?

Saya tahu Mojok sebagai media cebong dan pendukung Ahok pasti akan suka yang liberal-liberal. Tapi gini deh, sebelum komentar apapun, coba dengar komentar dari Ibu Rita Soebagyo, Ketua ALIA yang demikian bijaksana.

“Seorang istri yang menjanda akan sangat terbuka menjadi feminis untuk memenuhi kebutuhan biologisnya. Dari sinilah ide mengenai kesetaraan gender, lesbianisme dan sebagainya semakin dirasa benar mewakili perempuan padahal tidak,” kata bu Rita.

Super sekali bukan? LGBT dan perzinahan di Indonesia ini sudah kepalang berbahaya. Coba karena zina Indonesia diterpa berbagai bencana, hutang luar negeri naik, rasio Gini turun, Oasis bubar, dan banyak lagi yang lainnya. Saya kira kita perlu merapatkan barisan untuk melawan sekulerisme, liberalisme, anarkisme, dan isme-isme yang lain.

Ibu Rita ini tentu tidak sendiri. Ada banyak intelektual di belakangnya yang mendukung rencana kriminalisasi LGBT dan pelaku zina. Seperti Hamid Chalid, pakar hukum tata negara dari UI. Beliau bercerita di Stasiun UI ada sepasang lelaki yang berciuman, sungguh biadab dan berahlak rendah. Padahal yang benar itu sex chat di ruang privat pake hape!

Pak Hamid saat itu berharap MK menorehkan tinta sejarah untuk membenahi masyarakat kita. Hal ini ditanggapi positif oleh majelis hakim. Hakim konstitusi Patrialis Akbar mengajukan pertanyaan tajam atas apa yang disampaikan Hamid. “UU sangat liberal, ya karena ini kan made in penjajah. Walau bukan semua tapi yang ini, iya,” kata Patrialis hakim pilihan umat yang moral dan ahlaknya terjaga.

Hamid juga bicara bahwa tidak harus patuh pada HAM dari barat. Menurutnya “Kita harus paham Barat mencabut dirinya dari paham berketuhanan, sementara kita sendiri punya dasar yang lebih baik, beragama,” katanya. Air mata haru menetes dari pipi saya, ternyata benar bahwa orang di barat tak punya Agama dan KKK adalah konspirasi belaka.

HAM itu tidak penting. Coba apa pentingnya HAM di Indonesia? Digunakan untuk melindungi pelaku zina dan LGBT. HAM itu hanya penting di Barat, Eropa dan Amerika, negara di mana umat muslim dipersekusi dan jadi minoritas. HAM di Jerman misalnya digunakan untuk membela imigran dan pengungsi Timur Tengah yang mengalami kekerasan. Kalo Di Indonesia Muslim kan mayoritas, jadi nggak perlu HAM Hamburger apalah itu.

Hamid juga berkata bahwa Media massa dan kapitalis membuat seolah-olah kalau ini dibenarkan, ada keberpihakan pada agama tertentu. Padahal ini kan untuk menegakkan kebertuhanan kita sendiri. Sudah betul itu pak Hamid, emang ketuhanan di Indonesia perlu ditegakkan, cuma tuhan siapa? Tuhan penghayat atau tuhan ibrahimik?

Para penggugat ini mewakili ketakutan saya. Jangan-jangan nanti Indonesia semangkin liberal. Kalau MK tidak berbuat sesuatu, maka akan ada ‘pesta LGBT’ di depan gedung, seperti di Amerika. Coba lihat saja terakhir, saat umat penghayat boleh menuliskan keyakinannya, berapa miliar umat muslim di Indonesia yang pindah agama? Jangan sampai LGBT dibela nanti suami-suami menceraikan istrinya untuk menikah dengan simpanannya!

Sudah jelas belaka di Indonesia ini hukum agama yang paling benar. Hak Asasi Manusia tidak kompatibel dengan alam pikir orang Indonesia. Hak Asasi tidak boleh bertentangan dengan moral dan agama. Misalnya kalau ada orang kafir yang mencuri, kita harus potong tangannya, tapi kalau Ustaz Lutfi Hasan Ishaq dan Patrialis Akbar, itu konspirasi, jebakan untuk melemahkan umat!

Coba mana ada negara-negara di Eropa atau Amerika yang membela umat islam? Emang di Perancis ada yang  bersumpah akan memperjuangkan hak muslimah untuk memakai burqa dan jilbab? Memangnya di Inggris ada orang islam yang bisa jadi walikota? Emang di Jerman ada kanselir yang berusaha berkomitmen membuka negaranya untuk menampung pengungsi? Nggak ada sama sekali.

Ini mengapa tahun lalu saya dibuat sangat terpukau oleh pernyataan Asrorun Ni’am Soleh. Anggota Komisi Perlindungan Anak kini mengatakan bahwa delik perzinahan yang ada saat ini menganut paham liberal. Di mana hubungan seks adalah otonomi pribadi. Ini kan salah sekali. Negara harus masuk mengatur orang mau ngewe dengan siapa, kalo nggak nanti siapa yang akan menikahi anak-anak yang baru lulus SD?

Bukan apa-apa, saya dan Pak Ni’am pasti setuju bahwa undang-undang perkawinan yanga da saat ini adalah salah satu usaha negara campur tangan dalam hal privat. Masak negara melarang kita menikahi anak di bawah 16 tahun. Ini kan salah, harusnya usia 12 tahun sudah boleh nikah. Nikah itu kan salah satu sarana melawan zina, karena itu makin cepat makin baik.

AILA dalam halaman resmi Facebooknya menyebut bahwa negara jangan sampai termakan isu kampanye melawan kekerasan seksual. Wah ini benar sekali. Pokoknya kalau ada ustaz yang memperkosa anaknya, suami memperkosa anak tirinya, atau guru ngaji yang cabul, kita tidak boleh langsung hukum. Ada baiknya kita tabayun. Barangkali itu hanya khilaf.

Memang ada kekerasan seksual di Indonesia? AILA sudah benar itu. Kekerasan seksual itu kan kampanye feminis yang dibiayai oleh zionis untuk mengalihkan isu pemurtadan global. Saya kira kita mesti bersatu bersama AILA untuk menjaga akal sehat dan iman dari bahaya kampanye LGBT dan perzinahan.

Saya sepakat bahwa menjadi LGBT di Indonesia bukan hak. Untuk itu jika kriminalisasi terhadap pelaku zina dan LGBT ditolak, mari kita ajukan penurunan usia pernikahan. Jika usia minimal 16 tahun tapi masih banyak zina di Indonesia, mungkin bisa diturunkan jadi 8 tahun. Bukankah keren sekali jika anak kita SD dan sudah menikah, jauh dari zina dan maksiat!

 

Exit mobile version