MOJOK.CO – Pemerintah bersiap mengizinkan konser dan resepsi nikah besar. Stigma negatif pun bermunculan. Apa sebabnya?
Setelah lebih dari dua bulan harus lockdown mandiri di kampung, saya akhirnya memberanikan diri bikin pertemuan secara offline sekalian nangkring di warung kopi.
Kondisi yang cukup ramai dan suasana ceria di warung itu sedikit menghapus kecemasan saya, terutama karena sebulan lalu di daerah saya, di Sleman, lonjakan kasus covid seperti kisah horor. Rumah sakit penuh, tabung oksigen langka, cerita tetangga di desa satu demi satu gelar layatan muncul tiap pekan.
Akan tetapi, baru menempelkan pantat di kursi warung kopi, teman di hadapan saya langsung misuh.
“Bajigur, ada Satpol PP,” katanya lalu buru-buru mengenakan masker, meski ia sebenarnya sedang merokok.
Saya menengok ke belakang. Benar. Ada petugas Satpol PP belasan orang di tempat parkir dan mulai memasuki area warung kopi. Suasana warung langsung hening. Saya sudah pasrah bakal diusir untuk pulang.
Salah satu petugas lalu mendatangi meja kami setelah mematikan saklar lampu—mengusir dengan cara halus.
“Mas-mas yang di sini, tolong kerja samanya ya. Ini masih PPKM level tiga. Jadi ada pembatasan berkegiatan sampai jam 9 ya,” kata si petugas ke kami.
Saya dan dua teman saya cuma hening sambil cengengesan.
“Siap, Pak,” kata saya ketimbang tak ada feedback.
Begitu Satpol PP memberi arahan ke pengusaha warung kopi, mereka lalu pergi sambil berpesan agar membiarkan lampu tetap dimatikan sampai semua pengunjung pulang.
“Wah, Satpol PP-nya kok main mati-matiin lampu usaha orang,” katanya agak sebal sambil berkemas-kemas mau balik.
“Ta-tapi kasihan juga lho itu Satpol PP. Mereka kan pasti ditugasin atasan. Begitu sampai lapangan orang yang ditegur model ngeyelan kayak gini ya repot juga,” kata teman saya yang lain. Juga bersiap-siap pulang.
“Ya emang, serba-salah jadi Satpol PP kalau situasinya sekarang. Ada tekanan dari Pemda, ada protes dari masyarakat. Kejepit mereka,” kata saya.
“Kasihan kok sama Satpol PP, ya kasihan sama pengusaha kecil lah. Satpol PP kena tekanan begitu kan emang bagian dari kerjaannya dia. Kalaupun kerja nggak sesuai target, mereka juga tetep digaji negara kok. Lah kalau pengusaha kecil? Kalau nggak sesuai target? Hayaaa remok,” kata teman saya yang kini sudah berdiri dan siap untuk cabut.
Kami bertiga akhirnya pergi tanpa banyak bicara. Suasananya jadi canggung sekali rasanya, apalagi kalau pulang dari warung kopi seperti habis kena invasi laron yang bikin kondisi jadi gelap gulita.
Dalam perjalanan pulang, di atas motor, saya memikirkan lagi bagaimana dilematisnya menjadi seseorang yang dipasrahi untuk memangku kebijakan di situasi kayak begini. Baru Satpol PP saja, beban kejepitnya udah ada, apalagi level yang di atas-atasnya ya?
Inilah kemudian yang membuat saya sempat heran dengan keberanian Pemerintah ketika berencana mengizinkan aktivitas besar seperti konser musik dan resepsi nikah besar. Wacana ini muncul dari Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) dan Menkominfo Johnny G. Plate.
Dari versi Pemerintah, konser musik dan resepsi nikah besar berani diizinkan ke depan karena kasus covid cenderung menurun, sarana protokol kesehatan juga sudah nongol di mana-mana, dan vaksinasi juga sudah meningkat begitu pesat.
Dalam perspektif pemulihan ekonomi, hal ini barangkali jadi salah satu bentuk—meski berisiko—kebijakan yang paling bisa Pemerintah lakukan dalam waktu dekat. Dan saya yakin, Pemerintah sadar bahwa bakal muncul sentimen negatif atas kebijakan ini.
Ini wajar, karena protes masyarakat soal susahnya mencari penghasilan di masa karantina berbanding lurus dengan protes masyarakat soal cara Pemerintah menangani pandemi. Protes dua arah itu berjalin berkelindan yang lumayan pusing kalau saya bayangkan.
Itulah yang bikin teman saya tadi, meski diingatkan dengan baik oleh Satpol PP agar pulang, tetap merasa senewen. Baginya kebijakan itu tidak tepat. Satpol PP terkesan tidak peduli dengan pengusaha kecil seperti pemilik warung kopi atau warung penyetan pinggir jalan.
Namanya aturan ya aturan. Harus ditegakkan, tapi kan juga harus dicarikan solusinya. Kira-kira begitu logika teman saya itu.
Saya bisa memahami rasa senewen teman saya itu karena citra Satpol PP di daerah saya (dan mungkin di daerah lain) kurang begitu baik. Citra mereka sebagai penutup usaha rakyat kecil dan tukang gusur masih begitu melekat.
Citra-citra semacam inilah yang kemudian mengaburkan sisi kebenaran dari tugas mereka di lapangan. Bahwa meski yang mereka melakukan hal benar, tetap saja ada rasa penolakan kecil dari masyarakat untuk menentangnya.
Hal yang sama juga terjadi dengan Pemerintah ketika mengizinkan konser dan resepsi nikah besar.
Meski “salah” dari perspektif risiko penularan dan berpotensi memunculkan klaster baru, namun kebijakan ini jadi “benar” kalau menimbang bahwa negara tetap perlu melakukan pemulihan ekonomi secara perlahan. Terutama bagi pemulihan industri yang berkaitan dengan konser musik atau EO Wedding.
Masalahnya, melihat gelagat yang ada di sekitar saya, sentimen negatif bakalan lebih banyak datang ke Pemerintah soal kebijakan ini. Sentimen yang muncul karena citra Pemerintah sendiri yang belakangan kerap wagu dalam memutuskan beberapa kebijakan.
Tak perlu menyoroti soal kebijakan penanganan pandemi, tingkat kepercayaan masyarakat ke Pemerintah memang lagi di posisi rawan degradasi di hampir segala aspek. Mulai dari urusan hukum seperti kasus Jaksa Pinangki, TWK di KPK, Luhur vs Haris Azhar, sampai urusan sosial seperti mural Jokowi yang dihapus atau polemik dana bansos.
Semua hal ini memang tak berkaitan langsung dengan pandemi, tapi gara-gara hal-hal di atas, Pemerintah jadi mulai “agak berjarak” dengan masyarakatnya sendiri. Pada akhirnya, ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang benar soal pemulihan ekonomi atau penanganan pandemi… banyak orang yang langsung skeptis dan tidak mau percaya.
Oleh sebab itu, ketika akhirnya menyadari hal demikian saya jadi merasa khawatir dan sedih. Soalnya, kalau tingkat kepercayaan publik ke Pemerintah lama-kelamaan turun, saya khawatir suatu hari nanti ketika Pemerintah membuat kebijakan yang benar, logis, dan ada landasan hukumnya… masyarakat sudah kadung tidak lagi percaya.
Semua kebijakan akan dianggap salah, tidak tepat, dan dikorek-korek celahnya. Termasuk juga soal izin penyelenggaraan konser dan resepsi nikah besar ini.
Meski begitu, sebenarnya bukan itu yang bikin saya benar-benar sedih. Hal yang bikin sedih adalah ketika saya di atas motor itu saya sadar, bahwa saya sebenarnya sudah pesan kopi dan bayar, tapi kopinya belum sempet saya icip sama sekali
BACA JUGA Membayangkan Dunia Tanpa Konser dan tulisan Ahmad Khadafi lainnya.