MOJOK.CO – Video pemeloncoan Ferdian Paleka oleh “senior-seniornya” di penjara menuai reaksi beragam. Ternyata banyak lho orang naif yang menganggap jika kamu sebal dengan prank Ferdian, kamu harus setuju dengan pelonco yang diterimanya di penjara.
Ferdian Paleka ditangkap polisi pada Jumat, 8 Mei 2020. Sehari kemudian beredar video dia dikerjai di penjara oleh rekan sesama tahanan. Seperti tongkat Musa membelah Laut Merah, video tersebut membelah netizen menjadi dua pihak. Pertama, pihak yang mengecam perpeloncoan tersebut. Kedua, orang yang mampus-mampusin Ferdian sembari berkata “hukum” telah ditegakkan.
Peristiwa tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, Indonesia tidak akan pernah kehabisan orang baik yang membela hak-hak manusia. Kedua, Indonesia juga tidak akan kehabisan orang-orang yang sok sangar dan bodoh pada saat yang bersamaan. Inilah yang jadi masalah, ada orang-orang yang berpikir menyiksa orang adalah tindakan menegakkan hukum.
Panggil saya SJW, sok humanis, atau ganteng, bebas. Tapi saya akan menganggap orang yang menormalisasi perpeloncoan di penjara sebagai orang bodoh. Orang-orang seperti itulah yang akan membiarkan tetangganya mati karena KDRT karena menganggap “Ah, prahara rumah tangga, biasa itu.”
Argumen orang-orang yang setuju Ferdian disiksa berputar pada “hukum rimba”. Penjara adalah ekosistem yang berbeda, yang berlaku adalah hukum rimba, bukan HAM, begitu alasannya. Sudah pantas itu Ferdian dipermalukan, hidup saja sudah syukur dia itu.
Garis bawahi ini, penjara adalah ekosistem yang berbeda, yang berlaku adalah hukum rimba, bukan HAM.
Geli rasanya mendengar orang tidak pantas mendapat hak asasi selama di penjara dan membawa-bawa hukum rimba. Solusi untuk memastikan seseorang tidak akan berbuat hal tidak pantas adalah dengan memperlakukannya dengan tidak pantas, they said.
Padahal kalau mereka mau berpikir sedikit saja, penjara itu sudah mengerikan meski tanpa disiksa sekali pun. Kebebasanmu tercabut, dipaksa menikmati penyesalan dalam ruangan tak layak, begitu bebas mereka akan dikenang sebagai noda-noda yang mengotori lingkungan.
Orang paling berani pun akan berpikir dua kali masuk penjara. Hidupmu selesai ketika status narapidana tersemat kepadamu. Istri atau suamimu akan bersedih dan ketakutan, anak-anakmu akan menanggung malu, ayah ibumu menenggak kenyataan pahit bahwa mereka akan dianggap gagal mendidik anak. Tanpa siksaan, penjara sudah begitu mengerikan.
Orang-orang itu mungkin memakai kacamata kuda hingga tidak berpikir seperti ini, bukankah kita bisa membela dua hal pada saat bersamaan? Kita bisa membela hak-hak transpuan, pada saat yang sama, kita juga bisa membela Ferdian atas perlakuan yang dia dapatkan?
Kita bisa banget membela hak-hak transpuan dengan meminta Ferdian Paleka mendapat ganjaran sesuai hukum yang berlaku dan pada saat yang bersamaan meminta agar perpeloncoan tidak lagi terjadi. Ini bukan standar ganda, karena ini dua hal yang berbeda.
Prank Ferdian Paleka kepada transpuan adalah hasil dari diskriminasi terhadap orang-orang yang dianggap berbeda tidak pernah ditindak oleh negara. Di negara yang punya semboyan “Berbeda-beda tapi tetap satu jua” ini kamu mendapat ketidakadilan hanya karena berbeda. Ironi inilah yang harus diselesaikan.
Perlakuan kepada Ferdian Paleka di penjara adalah hasil dari kekerasan yang dilanggengkan. Jadilah kuat agar bisa melindas yang lemah, bukankah begitu yang selalu diajarkan kepada kita? Sebagai contoh, coba ingat masa SMA kalian, pasti ada kakak kelas yang dianggap “gentho” dan memegang kendali penuh terhadap siswa. Jangan terlalu polos, guru-guru tahu praktik tersebut, but hey, murid jadi teratur kan? Meski harga yang harus dibayar adalah sangu-sangu tipis siswa yang harus disetor kepada gentho-gentho itu.
Silakan bela perlakuan remuk yang diterima Ferdian Paleka sebagai hal yang pantas ia terima. Tapi jangan pernah berharap rantai kekerasan akan putus jika yang dilanggengkan adalah tinju dan tendangan. Dan jangan pernah berharap kehidupan yang lebih baik jika cara menyelesaikan masalah yang disepakati adalah dengan membakarnya hidup-hidup.
Seburuk-buruknya penegakan hukum, kita tidak perlu menanggalkan nilai-nilai moral yang kita dapat selama menjadi manusia untuk membenarkan hukum rimba. Apalagi mengagungkan hukum rimba di jaman di mana manusia sudah mengenal nilai, norma, dan hukum. Kecuali memang kamu bahagia bertingkah seperti monyet yang kebetulan hidup di tengah lautan beton, silakan saja.
Tapi tiba-tiba saya penasaran, para pro-penyiksa Ferdian Paleka ini apakah tetap konsisten untuk meminta pelaku yang membakar Mira diadili dengan cara yang sama di penjara?
BACA JUGA Buang Jauh-jauh Harapan Kita Semua Akan Diberi Tes Massal dan artikel Rizky Prasetya lainnya.