Angkringan Jogja Pamornya Tak Akan Pernah Meredup, meski Harganya Tak Lagi Bersahabat

Angkringan Jogja Pamornya Tak Akan Pernah Meredup, meski Harganya Tak Lagi Bersahabat

Angkringan Jogja Pamornya Tak Akan Pernah Meredup, meski Harganya Tak Lagi Bersahabat (Satelitbm via Wikimedia Commons)

Meski pamor angkringan Jogja tak sebesar dulu di media sosial, tapi saya akan selalu menganggap bahwa kalau kamu main ke Jogja, tapi nggak ngangkring, baiknya nggak usah ngaku ke Jogja.

Tenang, saya tak memuja angkringan seperti pemilik akun romantisasi Jogja yang spam romantisme angkringan seakan-akan mereka terlahir untuk itu. Bahkan saya lupa kapan saya ke angkringan di Jogja. Saya bahkan sudah mencoret angkringan dari list tempat makan yang akan saya tuju.

Sederhana saja: angkringan tak lagi bersahabat untuk orang kere. Dan saya orang kere.

Kecuali Angkringan Pak Panut dan Angkringan Simbok Klebengan, saya sudah kehilangan gairah untuk makan di angkringan. Harga bahan baku yang meledak bikin angkringan tak lagi jadi tempat ramah untuk mahasiswa kere, dan romantisasi berlebihan malah bikin angkringan menuju ke arah yang lebih kapitalis.

Tapi sekalipun ia tak lagi ramah, tak lagi seindah yang ada di bayangan saya dulu, saya tetap menganggap angkringan Jogja adalah daya tarik dan tetap wajib dikunjungi bagi kalian orang yang berwisata di Jogja. Saya jelaskan di bawah.

Tetap jadi daya tarik

Kebanyakan wisatawan yang berkunjung ke Jogja mengunjungi Tugu. Dan di sekitar Tugu saja, ada banyak angkringan. Amat banyak malah, tinggal milih. Lalu, di dekat Stasiun Tugu juga ada banyak angkringan. Ini masih tidak menyebut angkringan mewah yang punya nama.

Terlebih angkringan memang punya tempat di hati para orang yang pernah mengenyam pendidikan atau merantau ke Jogja. Meski saya tak punya data valid, tapi saya lumayan yakin, bahwa banyak wisatawan Jogja itu dulunya orang yang sempat merantau atau mengenyam pendidikan di Kota Istimewa. Mereka balik, untuk mengenang hal-hal pahit dan indah yang mereka alami di Jogja.

Orang-orang tersebut, pasti pernah menghabiskan waktunya di angkringan. Sekadar untuk makan, untuk berbincang hingga larut malam, atau menepi karena cinta yang sudah ditolak sejak dalam pikiran.

Oleh karena itulah, saya yakin, sekalipun spam konten angkringan di media sosial sudah tak sekuat dulu, angkringan Jogja tetaplah jadi tujuan utama dan daya tarik.

Baca halaman selanjutnya

Kafe tak bisa meniru suasana angkringan

Kafe tak bisa meniru angkringan

Saya pikir, memisahkan Jogja dan angkringan itu sulit, sekalipun sekarang kawula muda lebih suka menghabiskan uangnya di kafe.

Begini. Apa yang dibawa ke kafe, itu dulunya ada di angkringan. Tapi meski sudah ada tempat baru, tak berarti tempat itu sepi dan baiknya mati. Tidak. Di Jogja, tidak semua kultur yang ditinggalkan itu mati. Ia akan dirawat oleh orang-orang gila yang akan membelanya seakan-akan itu agama.

Dan ingat, Jogja itu tak hanya milik orang-orang muda dan berduit saja. Kota Istimewa juga tempatnya orang-orang agak tua berdompet tipis, tapi ingin mendapat interaksi hangat tanpa memedulikan status. Angkringan, tetap jadi tempat yang tepat untuk hal ini.

Saya kira inilah yang menurut saya sulit direplikasi kafe dari angkringan: interaksi genuine yang begitu dekat antarmanusia di dalamnya. Bahwa kafe sudah banyak yang seperti itu, seperti Klinik Kopi, yang lebih intim dan interaktif. Tapi, tetap saja bagi saya, kok sulit menemukan yang seperti di angkringan.

Jadi ya, bagaimanapun, angkringan Jogja tetaplah jadi daya tarik. Jadi alasan utama pun tak berlebihan, meski akan banyak yang menolak. Tapi bagi saya, rasanya tak lengkap kalau kalian ke Jogja dan nggak ngangkring, koyo enek sing kurang.

Tapi jangan berpikir kalau bakal murah ya. Ya, gimana ya, soalnya….

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Jogja, Kota yang Keburukannya (Entah Kenapa) Selalu Dimaafkan dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version