MOJOK.CO – Saya pikir perasaan yang timbul ini tidak spesifik berlaku pada diri saya sendiri. Sedikit banyak saya jadi bersyukur toko furnitur asal Swedia ini cuma buka satu cabang di Indonesia.
Tahun lalu saya ke Jakarta menemui seorang teman yang tinggal di Tangerang atau dekat-dekat situlah (maklum, orang daerah macam saya suka bingung sama nama daerah dan arah-arah di Jakarta). Setelah haha hihi di rumahnya, tuan rumah mengajak saya jalan-jalan ke tempat pelesir yang tak pernah saya duga: toko furnitur bernama IKEA.
Saya tahu nama IKEA di masa kuliah karena pernah disebut di diktat kuliah saya (saya kuliah jurusan Pendidikan Bahasa Prancis), diktat yang kata teman jurusan Sastra Inggris mirip buku pelajaran anak SD karena full colour. Kayaknya di materi belajar tata bahasa, ada role play dialog yang sebut-sebut IKEA (selain IKEA, nama asing yang saya kenal dari diktat itu adalah piña colada, koktail kesukaan sobat mabuk).
Rupanya IKEA telah menjadi destinasi wisata baru di Jabodetabek. Juga jadi surganya orang Tangerang. Ambience-nya sebagai tempat wisata makin terasa kalau kamu ke sana dari Jakarta Timur, Jakarta Selatan, Depok, Bekasi, atau malah dari Bogor sekalian. Butuh niat dan tekat yang besar untuk meyakinkan diri datang ke Alam Sutera.
Ambience lain yang menunjukkan ini adalah tempat wisata adalah kesukaan orang-orang untuk berfoto di gudangnya yang industrial look banget. Stephanie Poetri bahkan sampai masukkan video dia main-main di IKEA dalam video klip lagu “I love You 3000”.
Kehadiran IKEA menjadi referensi baru tempat pelesir selain mal yang memang sudah populer banget di Jakarta. Entahlah apa habis ini kursi goyang dan boneka 100 ribuan di IKEA juga akan menjadi alternatif baru oleh-oleh khas Jakarta, menemani duit yang sudah lebih dahulu didaulat sebagai suvenir asli Ibu Kota.
Singkat kata saya nebeng mobil teman menuju ke IKEA. Besar sekali dan show room-nya jelas juara. Seketika, pengalaman hidup saya di Jogja yang baru akhir-akhir ini berkenalan dengan ACE maupun Informa langsung kebanting. Menyenangkan memang jalan-jalan di sini. Rute labirin yang lumayan jauh tidak membuat kaki capek karena pemandangan kamar modern, dapur kinclong, ruang tamu skandinavian, dan seterusnya bikin saya berangan-angan.
Angan-angan ini kemudian menjadi perasaan yang sangat tidak nyaman.
Karena show room IKEA bikin saya jadi kepengin punya rumah sendiri.
Sudah sebelas tahun saya tinggal ngekos. Dulu saat kuliah, ada lah bayangan ingin lulus, kerja, dan segara punya rumah sendiri biar kemerdekaan sebagai lajang bisa terfasilitasi dengan baik (ini buat yang ngerti aja, hehe). Tapi kenyataan di lapangan penghidupan membuat saya tiba-tiba tertarik dengan ide revolusioner teman saya: Kita, generasi muda, jangan punya rumah! Kita ngontrak saja! Hasrat punya rumah membuat industri perumahan mengalami bubble! Kenapa kita menyiksa diri dengan cicilan puluhan tahun kalau mengontrak atau ngekos sudah bikin kita bahagia!
Kehidupan ngekos sudah cukup bikin saya bahagia. Toh kebutuhan saya setelah pulang kerja cuma rebahan di kasur sambil main hape dan laptop atau baca buku. Kasur, colokan, sambungan internet, dan kamar mandi dalam sudah memenuhi standar hidup layak seorang lajang.
Ngekos akan merepotkan kalau seorang lajang doyan belanja. Pindahan adalah siksaan, sampai-sampai saya kapok karena pernah harus menyewa satu mobil pikap guna mengangkut buku-buku saya dari Yogya ke rumah orang tua di Purwokerto menjelang saya akan pindah ke Jakarta.
Tapi coba lihat secara berkebalikan. Ngekos atau ngontrak, ruangan yang sempit dan bayangan kerepotan ketika pindahan, membikin hasrat belanja bisa diredam kadang-kadang. Pas ketemu lemari bagus, duit atau kartu kredit sih ada, tapi ruangannya yang nggak ada. Ya udah nggak jadi beli. Bagus sekali kan kondisi seperti itu untuk kesehatan tabungan kita?
Berkunjung ke IKEA membuat ide-ide tadi terguncang. Saya mulai prihatin sama diri sendiri, sampai kapan mau hidup di tempat sewaan. Desain kamar anak beserta boks bayi yang lucu di IKEA seakan mengiangkan kembali pertanyaan tante, om, ibu, ayah, tetangga, teman, bos, soal kapan saya akan menikah padahal usia sudah jalan 29.
Lalu rentetan beban pikiran itu muncul kembali di kepala, di tengah ingar bingar toko furnitur terang, bersih, dan dingin itu: ada serangkaian PR untuk beli rumah agar bisa menikah, punya bayi yang dapat dipamerkan di Instagram, memelihara kucing, anjing, dan tanaman, dan seterusnya. Lalu sederetan bilangan angka tercetak di kepala saya. Ratusan juta sampai miliaran rupiah.
Perut saya langsung mulas. Sialan, batin saya, tahu gini tadi nggak usah ikut. Mendingan balik ke kos dan melakukan hal-hal yang sukai seperti biasa. Beli kaus kaki gambar kucing 50 ribuan di Instagram, misalnya. Lebih terjangkau, lebih menyenangkan. Jangan, jangan saya biarkan IKEA merusak kebahagiaan saya hidup sendirian. Jangaaan.