Nggak Usah Agresif Jadi Penjual, Biar Nggak Bikin Males Beli

MOJOK.COKalau ketemu sama penjual yang agresif, bukannya malah tertarik dengan barang dagangannya. Saya justru jadi males beli atau sekadar untuk tanya-tanya.

Setiap toko atau produk, pasti punya caranya masing-masing untuk membuat barang dagangannya laku. Tentu nggak apa-apa, wong itu jadi wewenang mereka, kan? Tetapi, maaf nih, sebetulnya, saya sering merasa kurang nyaman kalau ketemu dengan pramuniaga atau penjual yang sungguh agresif betul. Saya tahu, niat mereka memang untuk mencari perhatian kita, supaya kita ngeh dengan produk yang mereka jual. Sayangnya, sikap mereka ini justru bikin saya jadi males beli bahkan sekadar bertanya-tanya soal produknya.

Misalnya nih, ketika saya lagi ke supermarket dan berniat membeli tisu. Saat sedang menikmati kehikmatan dalam memilih tisu tersebut, ujug-ujug datanglah mbak-mbak sales yang menawarkan promo tisu dari perusahaan tempat ia bekerja.

“Mbak, nggak yang merek ini aja? Ini lagi promo, beli dua gratis dua. Lebih hemat loh, Mbak.” Dan seterusnya, dan seterusnya. Ngerocos bahkan tanpa memberi kesempatan saya untuk menyelenya. Saya betul-betul baru bisa memberikan kalimat penolakan, saat kalimat template nan panjang tersebut berakhir.

Ya, saya memahami kalau itu adalah bentuk usahanya, supaya saya ngeh dengan produknya yang lagi promo itu. Ta… tapi… sungguh cara tersebut cukup menganggu sebuah kekhusyukan memilih produk yang terbaik dengan harga yang paling ekonomis. Tak pahamkah mereka-mereka ini dengan kenikmatan tersebut? Lantas, memilih mengusiknya dengan mempromosikan sebuah produk, yang jelas-jelas, saya juga melihatnya, Maemunah??!?!

Begitu pula dengan para sales kosmetik. Begini ya, Mbak-mbak, sebagai sesama perempuan, tentu sampeyan ini juga paham. Kalau mengamati warna-warna lipstik itu cukup menyenangkan bagi mata. Apalagi kalau berkesempatan untuk menjajal testernya. Tapi, kalau dalam kenyamanan tersebut, tiba-tiba diusik dengan kalimat-kalimat, “Betul, Mbak. Itu warnanya memang lagi hype banget. Banyak yang cari dan sering sold out. Nanti sekalian beli sama yang sepaket dengan blush on dan eye shadow-nya, Mbak. Harganya lebih hemat dan ada bonus pouch-nya, loh.”

Iya, Mbak. Iyaaaa. Saya tahu. Saya bisa bacaaaa. Itu tulisannya udah cukup gede dan sudah cukup jelas. Tolong, Mbak. Tolong… berikan saya sebuah ketenangan untuk memilih sendiri produk yang pengin saya beli. Tolong, Mbak, pahami kenikmatan ini, jangan terus-menerus menginterupsi. Saya jadi semakin males beli, loh~

Oke, interupsi mereka memang cukup menyebalkan. Namun, masih tidak seberapa dibandingkan pramuniaga sebuah toko, yang jelas-jelas meletakkan produk-produknya di etalase dan memberikan kesempatan bagi calon pembelinya untuk memilihnya sendiri. Tetapi, mereka justru merusak suasana dengan mengikuti terus ke mana pun saya pergi.

Ehm, begini, loh, apakah tampilan saya ini tampak seperti maling yang bakal diam-diam nyolong barang dagangannya? Ataukah rupa saya ini kelihatan banget kayak orang yang grusa-grusu dan sering ngerusak barang? Memang betul, beberapa kali saya tidak hati-hati dan merusak barang saya sendiri. Tapi, mohon maaf, nih. Saya juga nggak goblok-goblok amat dan masih punya yang namanya etika serta akal sehat untuk memahami aturan umum, “Merusak berarti membeli”, kok.

Jadi, kenapa harus diikuti? Terus, itu kamera CCTV-nya fungsinya buat apa? Hmmm? Percayalah, sikap yang seolah penginnya selalu ada untuk membantu ini, nggak terlalu membantu juga. Yang ada, malah bikin saya males beli.

Ada lagi toko-toko yang sangat berusaha menarik perhatian dengan menempatkan pramuniaganya di depan toko. Lantas, setiap ada orang lewat akan ditawari, “Mau cari apa, Kakak? Baju? Celana? Jaket? Jilbabnya baru datang dan warnanya masih lengkap, nih. Silahkan, dilihat-lihat dulu~”

Bagi orang semacam saya nih, ketika ditawarin seperti itu, justru bikin saya nggak terlalu tertarik untuk masuk ke tokonya dan melihat-melihat barang dagangannya. Tentu saja, juga bikin males beli. Pasalnya, manuver mereka selanjutnya sudah dapat ditebak. Yakni, akan mengikuti pergerakan kita ke mana pun kita pergi. Menjadikan proses memilih, tidak terasa nyaman sekali. Akan semakin tidak nyaman, kalau sebetulnya kita memang awalnya cuma pengin lihat-lihat dan nggak terlalu berniat beli. Semacam, “Ya, kalau ada bagus dan murah, bolehlah.” Tapi ya, gitu. Kalau ada, loh, ya.

Apalagi, kalau ada toko hape yang berusaha menarik perhatian setiap orang yang lewat dengan gila-gilaan. Misalnya, sampai bikin karyawannya joget-joget di pinggir jalan. Selain itu, ada yang mendapat tugas untuk bagi-bagi brosur ke pengendara yang lewat—yang sering diprotes karena bisa bikin macet. Kalau saya sih—saya loh, ya—bakal ragu-ragu banget buat masuk ke dalam tokonya. Atau mungkin sekadar parkir kendaraan di depan toko. Hmmm, gimana, ya? Takut aja, kalau saya nggak bawa tentengan pas keluar toko, terus dikasih tampang sinis sama orang-orang yang sudah susah payah joget-joget di depan.

Jadi, wahai para atasan, tolonglah dipahami. Strategi penjualan yang hard selling seperti ini, menyisahkan ketidaknyamanan bagi kami-kami yang menjadikan belanja sebagai sebuah kenikmatan tersendiri.

Eh, atau memang ini sengaja dibikin nggak nyaman, biar jadi kepaksa beli, ya?

Exit mobile version