4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!

4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!

4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!

Kalau 7-10 tahun yang lalu ngomongin tempat makan rakyat jelata di Jogja, pastilah orang akan menyebut warmindo dan angkringan. Tapi kalau sekarang, misal saya ditanya, saya kira kok rasa-rasanya harus mencoret warmindo dari daftar tersebut. Angkringan pun akan saya cabut dari daftar.

Bukan apa-apa, kalau ngomongin harga, dua tempat tersebut sudah tak semurah dulu. Apalagi kalau kita ngomongin price to value, wah, makin tidak pas.

Sejak tren hidup sehat dan IF makin masif di masa kini, kebutuhan protein jadi satu hal yang diperhatikan betul. Maka dari itu, misal saya ditanya tempat makan apa yang pas untuk rakyat jelata yang cari kenyang, saya akan menyarankan carilah penyetan yang nasinya bisa ambil sendiri. Karbo bisa sampe tumpah-tumpah, kebutuhan protein juga bisa lebih banyak didapat ketimbang di warmindo.

Misal, harga 10 ribu di warmindo, paling kalian dapat nasi telur. Mepet-mepet 10 ribu lah, saya rasa sulit juga menemukan warmindo yang masih mematok nastel di harga 6-8 ribu seperti beberapa tahun lalu. Tapi di penyetan, kalian bisa dapat telur/kepala ayam plus tempe. Jelas, secara kandungan protein, lebih menang penyetan.

Tapi tak hanya perkara protein sebenarnya. Makan di warmindo juga menurut saya punya masalah, karena beberapa hal yang akan sebutkan di sini.

Gacha perkara sambel

Saya orang yang jarang diare. Mungkin selama 10-12 tahun terakhir, saya hanya diare sekitar 5 kali. Tapi mayoritas saya diare gara-gara makan sambel di warmindo yang ternyata basi.

Nggak hanya sekali-dua kali saya makan di warmindo dan menemukan sambelnya berbau nggak enak. Yang bisa saya lakukan cuman menyingkirkan bagian yang sudah terkena sambel biar nggak zonk lagi. Tapi beberapa kali, saya abai perkara QC dan langsung nyampurin ke makanan. Bisa ditebak selanjutnya saya harus kehilangan cairan tubuh sebanyak itu.

Akhirnya, saya nggak pernah mau makan sambel di warmindo, kecuali sudah kenal betul dengan penjualnya. Saya kadang tanpa punya rasa malu tanya kapan sambel ini dibuat. Ya mending diusir atau dimaki ketimbang saya diare. Toh, belum tentu mereka tanggung jawab kan?

Baca halaman selanjutnya

Rebus mi kurang mateng, dan lauk kurang segar

Kadang masak mi rebus kurang mateng

Saya nggak suka mi rebus yang teksturnya masih agak keras. Tapi, bukan berarti nggak akan saya makan. Tetap saya makan, selama masih bisa ditolerir. Hanya saja, beberapa kali saya menemui mi rebusnya beneran masih sekeras itu, seakan-akan tidak direbus, tapi cuman direndem air panas.

Kalau kondisi tubuh masih prima, okelah, kita nggak akan kena masalah mi kurang mateng tersebut. Masalahnya, kalau pas badan ngedrop, kita makan mi rebus niatnya biar seger, malah jadinya remuk karena perut gagal mencerna mi tersebut. Jadinya apa? Ya sakit lah, masak dapat keadilan hukum tanpa pandang bulu.

Lauk warmindo kurang segar, dan nggak tahu dimasak kapan

Kalian tahu nggak lauk warmindo itu dimasak kapan? Nggak tahu? Sama.

Saya bukannya picky, tapi beneran, sakit di perantauan itu mengerikan. Kita sendiri. Yang punya pacar sih bisa agak mendingan, ada yang ngerawat, tapi jelas tak maksimal karena kita juga nggak enak kalau merepotkan sampe sebegitunya. Kalau nggak punya pacar, ya sudah, sakit sendiri, dalam sepi, menjadi-jadi.

Hah, mampus kau dikoyak sepi!

Ini yang bikin saya hampir selalu pesan makanan yang dimasak saat itu di warmindo macam magelangan, nasgor, mi rebus, omelet, atau nastel. Nasi ayam, sarden, ampela ati, selalu saya jauhi. Bukan apa-apa, saya nggak mau suuzan juga sama bakule. Mending saya hindari.

Saya juga punya pengalaman buruk terkait makanan tak segar ini. Saya pernah pesen nasi sarden yang ternyata ada belatungnya begitu dibuka. Mau protes, kok lagi rame banget. Ujung-ujungnya saya pake cara Jawa: pura-pura minta dibungkus, dan pulang, habis itu muntah banyak banget.

Penjual warmindo yang ketus

Ini nggak ditemui di banyak warmindo. Saya nemunya cuman berapa doang gitu, tapi jujur, ini adalah salah satu dosa yang menurut saya harus ditulis.

Beberapa penjual warmindo, entah kenapa, galak dan ketus sama customernya. Ya saya nggak tahu kenapa dia gitu, tapi gini lho, Jogja itu sempit. Satu rumor buruk, entah benar atau tidak, bisa menyebar kayak api di musim kemarau. Kalau sikapnya buruk itu disebarkan lewat omongan, bisa hancur kan bisnisnya.

Saya pernah nemu penjual yang terang-terangan bilang nggak suka sama pelanggannya, di depan keramaian, pake teriak-teriak. Nggak tahu masalah mereka apa sih, but, can you do it in private?

Itu 4 masalah di warmindo yang bikin saya merasa kalau tempat ini nggak perlu dipuji sebegitunya. Tentu saja ini bukan tulisan untuk meruntuhkan bisnis warmindo. Toh, nggak semua orang suka makan di situ, pun bisnisnya tetap bertahan. 

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Warmindo Generasi Tertua di Jogja yang 42 Tahun Menolak Jualan Lauk Kayak Warteg, Setia dengan Burjo dan Indomie dan catatan menarik lainnya di rubrik POJOKAN

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.

Exit mobile version