3 Jenis Pesan Pembuka pada Chat WhatsApp yang Membuat Pengirimnya Layak Dicuekin

MOJOK.COAda banyak alasan untuk tidak menghiraukan pesan seseorang, dan tiga jenis pesan pembuka pada chat WhatsApp ini adalah alasan yang paling masuk akal. 

WhatsApp tak bisa tidak kini sudah menjadi alat komunikasi yang sangat penting bagi banyak orang. Ia sudah menjelma menjadi aplikasi pesan instan paling banyak digunakan di Indonesia. Dari pesan personal sampai grup kelurahan, semuanya sudah pakai WhatsApp.

Maka, tak berlebihan jika WhatsApp menjadi wahana bagi jutaan jenis pesan yang berseliweran yang sudah dikirimkan oleh orang-orang. Pesan untuk teman, keluarga, kekasih, atasan, Pak Jarot, Bang Prayit, Jokowi, Faldo Maldini, sampai Luhut Panjaitan.

Kita pasti sudah sangat terbiasa dengan aneka cara komunikasi dari orang-orang yang pernah berhubungan dengan kita melalui WhatsApp. Tentu saja ada banyak sekali gaya chat yang dipraktikkan oleh orang-orang melalui WhatsApp. Dan sedikit banyak kita mungkin sudah hafal.

Nah, dari sekian banyak itu, setidaknya ada tiga gaya komunikasi chat WhatsApp yang seharusnya dihindari oleh siapa pun juga, sebab selain menyebalkan dan menghadirkan perasaan kesal tersendiri, pesan jenis ini juga membuat si pengirim pesan layak untuk dicuekin.

Chat hanya dengan huruf “P” berkali-kali

Ya, “P” dalam hal ini sebenarnya menggantikan fungsi “ping” yang dulu memang menjadi salah satu fitur chat unggulan di Blackberry Messenger alias BBM. Tujuannya untuk memberitahu bahwa si pengirim sedang amat butuh berkomunikasi dengan penerima pesan, ping dikirim agar si penerima pesan menerima pemberitahuan dengan bunyi khas “ping” dan segera menengok hapenya.

ping

Namun, fitur ini tentu menyebalkan jika diterapkan di WhatsApp apalagi digantikan dengan sekadar pesan huruf “P”. Selain terkesan memaksa agar si penerima pesan harus sesegera mungkin memeriksa hapenya, pesan huruf “P” juga tidak relevan lagi.

Di universe WhatsApp, pesan huruf “P” tidak ada bedanya dengan pesan text lainnya. Bunyinya notifikasinya tetap sama. Maka, esensinya sebagai sebuah “ping” menjadi sia-sia.

Lagipula, jika memang perlu dan butuh komunikasi sesegera mungkin, kenapa nggak di-voice call sekalian aja, sih?

Mengawali chat hanya dengan panggilan nama.

Saya yakin kita pasti pernah menerima pesan dari seseorang yang isinya hanya suku kata terakhir nama panggilan kita. “Gus” atau “Thut” atau “Bud”.

Ya, hanya itu saja, Tidak ada kalimat lain yang menyertai nama panggilan itu. Just it. Itu thok.

Tentu saja itu pesan yang amat menjengkelkan, sebab untuk bisa terpilin menjadi rangkaian pesan komunikasi yang lebih lanjut, si penerima pesan harus membalasnya terlebih dahulu dengan “Ada apa?”, barulah setelah itu si pengirim pesan menuliskan maksud dan tujuannya kenapa ia mengirim pesan.

Ini tentu saja mubazir. Sebab pesan itu harusnya bisa ditulis langsung dengan maksudnya.

“Gus, jadi begini… bla bla bla…”

Padat, jelas, dan mudah dimengerti tanpa harus merepotkan si penerima pesan.

Langsung menanyakan posisi

Pesan WhatsApp ini sebenarnya tidak bermasalah jika dikirim oleh orang yang sudah sangat dekat dengan kita atau sangat sering berinteraksi dengan kita. Namun ada kalanya, pesan ini dikirimkan oleh orang-orang yang bahkan ketemu kita sebulan sekali saja belum tentu.

Dengan jenis hubungan yang keeratannya sangat minim itu, tentu saja pesan “Di mana?” atau “Posisi” tanpa didahului dengan salam pembuka atau basa-basi yang cukup akan membuat pesan itu menimbulkan kesan kediktatoran dan sok kuasa.

Lagian, nggak pernah ketemu kok tiba-tiba nanya-nanya posisi, emangnya situ siapa? Komandan saya? Kurang-kurangin, lah.

BACA JUGA Grup WhatsApp dan Bergesernya Visi Jan Koum dan tulisan AGUS MULYADI lainnya.

Exit mobile version