MOJOK.CO – Sebagian orang mungkin tidak punya gambaran, mengapa gerakan perempuan krusial di muka bumi ini. Hak pilih dalam pemilu, khususnya untuk suara perempuan, pada mulanya tidak jatuh dari langit. Perjalanan terjal dan berdarah harus dilalui perempuan hanya untuk bisa nyoblos. Film Suffragette (2015) menggambarkan betapa berharganya hak pilih, mungkin kamu bisa pertimbangkan ulang buat nggak mager dan golput tahun depan.
Protes besar terjadi depan Gedung Parlemen Inggris. Poster-poster bertebaran, “Woman Demand the Vote This Session” dan “Vote for Woman” jadi dua tulisan yang mewakili tujuan protes ini.
Seperti biasa, polisi pun hadir di tengah-tengah demonstrasi. Namun, ada satu adegan yang bikin saya spontan bertepuk tangan, sesaat sebelum akhirnya terhenyak: seorang perempuan muda, perawakan sedikit kurus, dengan gagah berani menembus barikade polisi. Ia bermaksud merangsek masuk ke gedung parlemen.
Namun, seperti yang bisa ditebak, ia ditarik, dipukul, ditangkap. Teman-temannya hanya menatap. Beberapa yang coba menariknya malah ikut tertangkap.
Adegan itu, saya rasa, begitu mewah.
Saya sudah menonton Battle in Seattle (2007), dua masterpiece Korea Taxi Driver (2017) dan 1987: When The Day Comes (2017), hingga yang paling brutal Athena (2022). Tapi semua adegan di empat film itu punya kesamaan: lelaki di depan, tampil “lebih berani”, sementara perempuan hanya pelengkap romantisme keberanian para laki-laki itu.
Pengalaman berbeda saya temui saat melihat adegan protes dalam film Suffragette (2015), yang menggambarkan bagaimana perempuan jatuh bangun ditendang dan dipukul polisi. Perempuan, yang selama ini hadir di ruang periferal, tampil sebagai yang paling berani meski ia selalu ditindas.
Kalau kata kolomnis Magdalene Jasmine Floretta, “Perempuan-perempuan ini rela berdarah-darah cuma untuk hak pilih”. Dan, benar saja, narasi ini memang menjadi premis utama film Suffragette.
Sebuah perjuangan hak pilih perempuan
Suffragette merupakan sebuah film drama-sejarah yang dirilis pada 2015 lalu. Film ini disutradarai oleh Sarah Gavron dan dibintangi oleh Carey Mulligan, Helena Bonham Carter, dan Meryl Streep.
Sedikit cerita, kalau kita merujuk terminologinya, kata “suffragette” adalah gabungan dari dua kata Bahasa Inggris. Kata suffrage berarti “hak suara”, dan -ette (di belakang kata) menunjukkan gender perempuan. Jadi, simple-nya, suffragette secara harfiah berarti “perempuan yang berjuang untuk hak suara mereka”.
Sesuai makna katanya, film ini sendiri mengisahkan tentang perjuangan kaum perempuan pada awal abad ke-20 untuk mendapatkan hak pilih di Inggris. Pada saat itu, hanya laki-laki yang memiliki hak untuk memilih dalam pemilu, dan kaum perempuan dianggap tidak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik.
Pada saat itu, banyak perempuan di “negara maju” memang tak punya hak pilih aktif (memilih). Meski di beberapa negara seperti Belanda, misalnya, ada hak pilih pasif (dipilih).
Nah, film Suffragette ini, mengikuti kisah Maud Watts (Carey Mulligan), seorang buruh pabrik di London yang tidak memiliki pendidikan formal—dan tak pernah terjun ke aktivisme politik apapun sebelumnya. Namun, kehidupannya berubah ketika ia terlibat dalam suffragette, sebuah gerakan perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dalam menjalankan protesnya, suffragette menghadapi banyak tantangan. Termasuk para aktivis yang dipenjara, dipukuli, dan ditahan oleh polisi. Maud sendiri, harus menanggung konsekuensi dari aksinya, termasuk dipecat dari pekerjaannya dan kehilangan hak asuh atas anaknya.
Puncak dari film ini adalah ketika Emily Davison meninggal setelah melakukan aksi protes di Derby Day, di mana ia berlari ke arah kuda raja—bermaksud memasang poster “Votes for Woman”—dan kemudian tertabrak oleh kuda tersebut.
Kematian Emily Davison akhirnya mengguncang gerakan suffragette dan menjadi momen penting dalam sejarah perjuangan hak politik perempuan.
Progresif tapi masih punya celah
Saya sangat menikmati film ini, bahkan menjadi salah satu rekomendasi jika ditanya “10 film wajib tonton” tentang gerakan sosial. Sepanjang dua jam kurang lima belas menit, secara emosional, film ini sukses bikin saya pengin ikut demo saat itu juga.
Akan tetapi, harus diakui bahwa Suffragette masih punya beberapa celah. Salah satunya adalah masih minimnya representasi keberagaman ras yang dimunculkan. Menurut saya, ini cukup mengganggu.
Kelemahan itu terlihat dari bagaimana sang sutradara tidak memberikan ruang yang besar pada perempuan kulit hitam pada film. Sepanjang film, perempuan kulit putih—terutama para kelas menengah—justru hadir sebagai protagonis.
Padahal, jika kita menyimak beberapa foto Black Friday 1910 di Inggris, beberapa perempuan kulit hitam juga terlibat. Beberapa di antaranya bahkan berada di barisan depan.
Di mana peran perempuan kulit hitam?
Sejarawan dan feminis Gwen Seabourne dalam tulisannya di jurnal Feminist Legal Studies (2016), juga menegaskan, bahwa film Suffragette hampir tak memperlihatkan peran perempuan kulit hitam dalam gerakan hak suara perempuan di Inggris itu.
Padahal, kata dia, dalam sejarahnya Inggris memiliki perempuan kulit hitam yang ikut berjuang dalam gerakan hak suara perempuan, seperti, misalnya, Sophia Duleep Singh dan Sarah Parker Remond. Tapi dalam film ini, mereka tak dimunculkan.
Ia juga menyebut, dalam gerakan suffragette itu sendiri, terdapat semangat antidiskriminasi terhadap perempuan-perempuan kulit hitam, di samping menyuarakan hak pilih. Bahkan, perjuangan hak suara sebenarnya juga jadi narasi besar aktivis kulit hitam saat itu untuk menghapus politik rasialisme.
“Ketidakhadiran perempuan kulit hitam dalam film ini merupakan suatu bentuk dari erasure [pemutusan hubungan] atas peran dan kontribusi mereka dalam gerakan feminis di Inggris,” tulis Seabourne, dalam tulisan berjudul “Deeds, Words and Drama” tersebut, dikutip Jumat (10/3/2023).
Lebih lanjut, menurut Seabourne, film hanya berfokus pada pengalaman seorang karakter perempuan kulit putih, terutama Maud Watts. Namun, peran perempuan kulit hitam dan minoritas lainnya tidak diberikan ruang yang cukup dalam film ini.
“Adegan yang menampilkan perempuan kulit hitam dalam film hanya muncul sebagai figur yang tidak penting. Ini merupakan contoh dari ‘invisibilitas’ yang sering dialami oleh perempuan kulit hitam dalam sejarah feminisme,” ia melanjutkan.
“Yang terpenting film ini hampir tidak menyentuh tema ras dan tidak menggambarkan bagaimana rasisme dapat memengaruhi gerakan hak suara perempuan,” paparnya.
Kurang akurat narasikan sejarah
Seabourne melanjutkan, selain gagal dalam memunculkan peran perempuan kulit hitam dalam sejarah perjuangan hak pilih, film ini dinilai tidak cukup akurat dalam menarasikan sejarah.
Bagi saya, ada sedikit pemakluman terkait hal ini, mengingat beberapa film bertema sejarah seringkali “dibumbui” agar lebih dramatis.
Salah satunya, film pemenang Oscar—salah satu film drama favorit saya—Shakespeare In Love (1998), yang membungkus romansa antara sang pujangga dengan perempuan bernama Viola De Lesseps, dan menikahinya. Padahal, kisah ini berakhir tragis, dan sutradara John Madden sengaja menulis ulang (mengubah) kisah ini agar lebih “romantis”.
Film-film lain pun sama, ditaburi bumbu-bumbu penyedap, didramatisir, agar lebih menjual. Seperti Braveheart (1995), Apocalypto (2006), dan Marie Antoinette (2006) yang meski cukup akurat, tapi beberapa hal sudah dilebih-lebihkan dan akhirnya menyimpang dari kisah aslinya.
Saya tidak berani mengatakan Suffragette tidak akurat. Banyak pujian juga diberikan atas film, terkait ketelitiannya dalam menggambarkan kejadian di Inggris seabad yang lalu itu. Namun, yang cukup meresahkan, Suffragette terlalu terfokus pada kisah Maud Watts—yang sejatinya tokoh fiksi—alih-alih mengeksplorasi tokoh-tokoh nyata.
Terlalu fokus pada kisah tokoh fiksi
Perlu digarisbawahi, meski kelas pekerja, Maud merupakan tokoh kulit putih. Artinya, selain makin mempertebal pengabaian atas peran perempuan kulit hitam dalam gerakan ini, penokohan tersebut juga dapat menimbulkan pemahaman yang salah atas sejarah gerakan suffragette itu sendiri.
Kalau kata kolomnis Sydney Morning Herald, Philippa Hawker, karena terlalu fokus di kisah individu tokoh fiksi Maud Watts, film ini dinilai gagal menampilkan solidaritas dan kerja kolektif dalam suffragette. Padahal, gerakan ini dikemudikan oleh semangat kolektivitas.
“Dalam keseluruhan, ia terlalu fokus pada narasi individual dan sederhana dalam menampilkan gerakan suffragette pada masa itu, serta kurang mencerminkan kompleksitas gerakan tersebut,” tulis Hawker.
Terlepas dari kekurangan tersebut, film ini tetep bisa dinikmati dan layak mendapat penghormatan. Meski dua aspek itu perlu dikritik, tapi saya sama sekali tidak terganggu karena secara keseluruhan. Seperti yang saya bilang tadi, Suffragette merupakan karya yang menggugah dan emosional.
Pada akhirnya, film ini juga memperlihatkan bagaimana gerakan perempuan dalam menuntut haknya, baik secara kompromi maupun radikal, tertulis terang dalam sejarah. Setelah gerakan ini mencapai puncak ikhtiarnya, enam tahun berselang pada 1918, para perempuan Inggris mendapatkan apa yang mereka tuntut.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda