Sejarah Kemesraan PDIP-PPP: Pernah Bikin Mega Bintang yang Melawan Orba

Aliansi Mega Bintang bukanlah mitos. Tahun 1997 gerakan ini muncul dan mengguncang pemerintahan Suharto.

mega bintang mojok.co

Ilustrasi Megawati Soekarnoputri (Mojok.co)

MOJOK.COKemesraan PDIP dan PPP tak hanya terjadi tahun jelang Pemilu 2024 saja. Dalam sejarahnya, kedua parpol ini punya hubungan yang romantis. Mereka pernah menyatukan kekuatan bernama “Mega Bintang” dalam melawan otoritarianisme Orde Baru.

Baru-baru ini Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan PDI Perjuangan (PDIP) resmi melakukan kerja sama politik atau koalisi untuk mengusung Ganjar Pranowo sebagai capres di Pemilu 2024 mendatang.

Kerja sama politik itu secara simbolik ditandai dengan penyerahan hasil Rapimnas PPP beberapa waktu lalu, yang berisi dukungan terhadap Ganjar.

Momen itu terjadi  saat PPP dan PDIP melakukan pertemuan tertutup selama kurang lebih dua jam pada Minggu (30/4/2023) lalu.

Sekretaris Umum Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Nasyirul Fallah Amru menyinggung soal koalisi dua partai ini. Kata dia, kedekatan PDIP dan PPP punya sejarah panjang dalam linimasa perpolitikan di Indonesia.

Bahkan, kata pria yang akrab dipanggil Gus Fallah ini, dua pimpinan PDIP-PPP pernah bersinergi dalam mengusung Megawati dan Hamzah Haz sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pada 2001-2004. Sebelumnya, pada 1997 kemesraan PPP dan PDIP juga terjalin melalui gerakan akar rumput bernama “Mega Bintang”.

“Pada Pemilu 1997, di tingkat akar rumput PDI Pro Megawati dan PPP pernah terjalin sinergi dalam wujud gerakan Mega Bintang, untuk melawan otoritarianisme Orde Baru,” ungkap Gus Falah, Senin (1/5/2023), mengutip dari Antara.

Lantas, apa itu Mega Bintang dan bagaimana rekam jejaknya dalam melawan Orba?

Semua bermula dari pecahnya PDI

Aliansi Mega Bintang, sebagaimana Gus Fallah banggakan, bukanlah sebuah mitos. Ia bukan isapan jempol, bukan juga mimpi di siang bolong; karena di tahun 1997 gerakan ini pernah muncul dan mengguncang pemerintahan Suharto.

Gerakan ini bermula di Solo pada 1997, meski nafasnya sudah mulai menghembus setahun sebelumnya. Pada 1996 Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mengalami perpecahan buntut dari Kongres Medan.

Kongres yang memenangkan Soerjadi sebagai ketua umum PDI yang baru itu, kabaranya merupakan agenda pemerintah untuk menggembosi Megawati. PDI, yang sejak awal 1990-an mulai vokal jadi oposan Orba, sedikit demi sedikit dipreteli. Salah satu caranya dengan melengserkan Megawati, dan memilih orang kepercayaan Orba sebagai ketua umum PDI yang baru.

Kendati Megawati akhirnya lengser dari jabatannya, massa militan akar rumput tetap memberikan dukungan padanya. Sejarawan Peter Kasenda dalam buku Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) menulis bahwa pada akhirnya usaha Suharto untuk menggembosi Megawati terasa sia-sia karena loyalisnya di akar rumput masih sangat besar.

“Meskipun pemerintah sibuk mengakui DPP PDI versi Soerjadi, perlawanan massa pro-Megawati Soekarnoputri terus berlangsung dengan dukungan 30 ormas,” tulis Kasenda.

Puncaknya adalah Peristiwa Kudeta 27 Juli (Kudatuli), bentrok yang melibatkan massa pro-Mega dan pro-Soerjadi. Setelah tragedi tersebut, Megawati dieliminasi dari dunia politik: PDI versi Soerjadi sah diakui pemerintah, yang bikin Megawati tak bisa ikut Pemilu 1997.

Meskipun tersingkir, Mega tak patah arang. Ia terus melawan Suharto dengan cara menyerukan kepada loyalisnya untuk boikot pemilu—Megawati menyatakan golput. Tak sampai di situ, ia secara terbuka juga meminta kepada pendukungnya untuk mengalihkan suara mereka ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang jadi cikal bakal Gerakan Mega Bintang.

Mega golput, terbitlah perlawanan

Sehari sebelum masa kampanye Pemilu 1997 berakhir, tepatnya pada tanggal 22 Mei, Megawati menyatakan sikap politiknya. Seperti dicatat Historia dalam artikelnya berjudul “Bayang-bayang Mega Bintang”, Megawati berdiri di hadapan para pendukungnya dengan pakaian serba putih.

“Saya mengajak warga banteng untuk berpegang pada hati nurani saat saudara menggunakan hak politik pada pemilu kali ini,” serunya, dengan suara lantang, sedikit bergetar, dan air mata yang siap tumpah menghiasi pidatonya.

“Apa gunanya kemenangan ini jika kejujuran, ketulusan, rasa aman, ketenangan dan cahaya harapan rakyat tidak bersinar seperti benderang matahari pagi di atas cakrawala negeri ini,” ujar Mega.

Maksud dari ungkapan Megawati tersebut, adalah ia istiqomah untuk golput—gerakan yang selalu jadi momok pemerintah Orba. Ia mengatakan tidak akan hadir ke TPS pada 29 Mei 1997, dan mengajak kepada para pendukungnya untuk tidak memberikan suara mereka pada PDI versi Soerjadi.

Namun, yang mungkin jarang ketahui, dua minggu sebelumnya atau pada 7 Mei 1997, Mega bertemu dengan Ketua DPC PPP Solo Mudrick Sangidoe. Banyak rumor beredar, dalam pertemuan yang terjadi hanya sehari sebelum jatah masa kampanye PPP ini, Mega meminta agar massanya mengalihkan suara kepada PPP.

Salah satu alasan mengapa wilayah Solo dipilih karena pada saat itu Golkar tengah menggenjot gerakan “kuningisasi” di wilayah tersebut. Jawa Tengah memang menjadi fokus utama Golkar selama masa kampanye karena pada Pemilu 1992 suara mereka turun 12 persen—dan sebagian besar berpindah ke PDI—di wilayah ini.

Selain itu, sosok Mudrick juga dianggap sebagai figur yang berani melawan Orba. Mudrick bahkan pernah menggugat Gubernur Jawa Tengah Soewardi, yang merupakan orang Golkar, ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Atas keberaniannya ini, Mudrick banyak mendapat pujian.

Kendati secara formal aliansi ini tidak benar-benar ada, kenyataannya di akar rumput fenomena ini malah menggelora. Mega Bintang, juga sukses bikin Suharto jadi cemas. Kalau kata Ketua Umum PPP kala itu, Mega Bintang adalah “konsekuensi dari massa mengambang”; tak ada massa Golkar murni, PPP murni, ataupun PDI murni di kalangan anak muda.

Meletus di sejumlah wilayah

Memang, DPP PPP mengonfirmasi tak ada kerjasama resmi dari pertemuan tersebut. Aliansi formal, nyatanya juga tak pernah ada. Namun, banyak pendukung Megawati yang saat masa kampanye terang-terangan mendukung PPP.

Di Jakarta, misalnya, seperti kata Peter Kasenda, “di tengah massa PPP yang menghijaukan jalanan, terlihat juga kelompok-kelompok yang membentangkan poster-poster Megawati”. Bahkan, yel-yel yang menyerukan kata “Mega Bintang” riuh terdengar.

“Kata ‘Mega’ mengacu pada Megawati Soekarnoputri dan kata ‘Bintang’ mengacu pada lambang PPP. Kaum miskin Jakarta baik yang mengamalkan ajaran Islam atau tidak bersatu dalam kemarahan menolak Golkar dan Orde Baru,” tulis Kasenda.

Di Solo, fenomena serupa juga terlihat. Bahkan di Tegal, 7.000-an pendukung Megawati menyatakan diri bergabung dengan PPP. Sementara di Samarinda, ribuan warga banteng pro-Megawati membaur di antara kerumunan massa PPP.

Sayangnya, sepanjang kampanye Pemilu 1997 banyak terjadi kerusuhan. Peter Kasenda pun mengklaim ini jadi pemilu paling rusuh sepanjang sejarah Orba. Bentrok antara simpatisan Golkar dan PPP tak terhindarkan, terbesar terjadi di Jakarta, Pekalongan, dan Banjarmasin; dan sejumlah simpatisan Mega Bintang yang rezim Orba culik.

Walakin, meski Mega Bintang tak sukses-sukses amat dalam mengalahkan Orba, setidaknya gerakan ini berhasil dalam membangunkan semangat perlawanan atas rezim Suharto tersebut. Pada Pemilu 1997, Golkar tetap menang telak dengan 74,51 persen suara (325 kursi), yang bikin Suharto kembali jadi presiden.

Sementara PPP berada di urutan kedua dengan 22,43 persen (89 kursi). Adapun suara PDI versi Soerjadi anjlok; mereka hanya mampu meraup 3,06 persen (11 kursi)—turun 45 kursi dari Pemilu 1992. Meski Suharto kembali ke tampuk kekuasaan, setahun berselang adalah sejarah. Massa yang marah, berhasil memaksa diktator yang sudah 32 memimpin untuk turun.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Menerka Gerak Sandiaga Uno: Gabung PPP, Lalu Jadi Cawapres Ganjar? dan tulisan menarik lainnya di KANAL PEMILU

Exit mobile version