MOJOK.CO- Film horor Indonesia dipenuhi oleh banyak hantu perempuan. Dari kuntilanak, sundel bolong, atau yang bergaya lokal: bisa menari dan nembang Jawa. Dominasi hantu perempuan di layar lebar Indonesia bukan tanpa sebab. Ada beban sejarah yang harus mereka tanggung.
Mawarni, seorang Ibu yang baru saja meninggal beberapa hari lalu, datang menjemput Ian, si anak bungsu. Berbekal lonceng, “klinting, klinting, klinting!” sang mayat hidup berjalan pelan menyusuri lorong dan menuruni anak tangga.
Sementara Ian berjalan mengikuti sosok hantu Ibu, buah hati Mawarni yang lain, Rini, Toni, dan Bondi, lari ketakutan dan mencari tempat persembunyian.
“Ayo, Kak, sini!” ujar Ian, seolah mengajak kakak-kakaknya itu untuk ikut bersamanya. Saya hanya menarik napas pelan, sebelum jeritan penonton di bioskop menggema kemudian.
Hiiiii….!
Mawarni sendiri, diketahui adalah seorang ibu yang jadi tumbal ritual pemujaan setan untuk memiliki keturunan. Ia bersama sang suami memutuskan untuk melakukan ritual tertentu demi memiliki anak, sebagaimana diidam-idamkan sang mertua.
Malam itu, beberapa hari setelah kematiannya, dengan wajah pucat-seram dan berbusana putih panjang khas setan-setan mainstream, ia bangkit dari kubur untuk menjemput si bungsu, yang juga mewarisi “watak setan” akibat ritus yang dilakukannya.
Adegan berikutnya setelah penjemputan itu adalah teror lanjutan. Bapak dan anak-anaknya harus terbirit-birit dari kejaran mayat hidup sang Ibu.
Maternal horor
Saat keluar bioskop, teror ibu dan loncengnya di film Pengabdi Setan (2017) itu masih menghantui pikiran saya bahkan sampai keesokan hari.
Namun, ketimbang berlarut-larut dalam ketakutan itu, saya justru lebih penasaran dengan jawaban atas berbagai pertanyaan yang kini menghantui saya: mengapa seorang istri harus mengikuti serangkaian norma seperti punya anak, mengasuh anak, dan mengurus suami, agar dicap ibu ideal?
Bahkan, Mawarni sampai rela untuk bersekutu dengan setan, untuk meraih bentuk ideal tersebut.
Inilah yang ingin disampaikan Annissa Winda Larasati dan Justito Prasetyo, pasangan suami-istri yang menulis buku Memaksa Ibu Jadi Hantu (2022). Buku ini menampilkan dengan sangat gamblang bahwa dalam semesta film horor Indonesia, seorang istri ataupun ibu—dengan segala pengalaman kebertubuhannya—menjadi sumber teror.
Ibu, digambarkan memiliki bentuk idealnya: punya anak, mengasuhnya, dan melayani suami. Ketika ia keluar dari norma tersebut, alias tidak menjalankan perannya dengan baik, ia akan mengalami monsterisasi: diposisikan sebagai bad mother, hingga bakal jadi setan yang menakutkan.
Annisa dan Justito menunjukkan, dalam dua film besutan Joko Anwar, Pengabdi Setan (2017) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019), misalnya, monsterisasi ibu ini tampil begitu telanjang. Inilah yang mereka definisikan sebagai “maternal horor”.
Pada dasarnya, maternal horror mengacu pada jenis film horor yang mengeksplorasi ketakutan dan kecemasan yang dialami oleh seorang ibu terhadap pengalaman kebertubuhannya. Film-film maternal horor seringkali menyoroti kompleksitas dan tekanan yang dialami oleh seorang perempuan dalam menjalani perannya sebagai ibu.
Demonisasi Gerwani dalam reproduksi Orba
Dalam semesta film horor di Indonesia, tendensi untuk memosisikan fungsi maternal (keibuan) dan reproduksi, seperti Pengabdi Setan, bukanlah hal baru. Film-film jadul seperti Si Manis Jembatan Ancol (1979) hingga Sundel Bolong (1981) juga punya formula yang sama dengan mendemonisasi sosok perempuan.
Namun, sebelum itu, wacana memonsterkan sosok perempuan sebenarnya sudah lebih dulu dilakukan Rezim Orde Baru dengan mendemonisasi tokoh-tokoh Gerwani.
Surat Kabar Angkatan Darat (AD), Angkatan Bersendjata, bahkan pernah menerbitkan artikel berjudul “Kuntilanak di Siang Bolong” yang disematkan kepada organisasi perempuan itu. Artikel ini terbit sebelas hari setelah peristiwa yang menewaskan enam jenderal pada 30 September 1965.
Gerwani, diklaim terlibat dalam penculikan para jenderal dalam Peristiwa ’65 itu. Melalui artikel itu pula, AD telah membangun monsterisasi. Gerwani digambarkan oleh propaganda militer sebagai sekumpulan perempuan banal yang telah kerasukan setan jahat, bejat secara seksual, menggunakan kecantikan mereka untuk melemahkan sang pria demi menyerang dan membunuh, tidak memiliki agama, dan sebagainya.
“Gerwani bahkan dianggap memiliki tanda-tanda tubuh berupa ‘cap gerwani’ yang membuktikan bahwa mereka adalah penyihir,” tulis Nissa dan Tito dalam bukunya.
Melalui propaganda tersebut, Orba telah menebar teror dan menciptakan binaritas terkait “perempuan baik” dan “perempuan jahat”. Kalau kamu tidak gabung Gerwani, berarti kamu baik. Begitu juga sebaliknya, jika kamu Gerwani, maka kamu jahat.
Demikianlah, logika sederhana Orba.
Propaganda Orba, ini seakan juga ingin menunjukkan bahwa mereka punya konstruksi tersendiri mengenai perempuan yang ideal. Jika mereka tak sesuai konstruksi tersebut, ya, mau tak mau mereka adalah sosok setan itu tadi—sebagaimana Orba memandang Gerwani.
Pendisiplinan perempuan
Selain membangun narasi “perempuan-seperti-apa-yang-jadi-setan”, pada masa Orba pemerintah juga menelurkan berbagai kebijakan “ibuisme”. Kebijakan itu mereduksi dan mendisiplinkan peran perempuan dari ranah publik.
Misalnya saja, pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB). Pemerintah mengampanyekan program ini dengan menampilkan gambaran keluarga ideal: memiliki dua anak; laki-laki dan perempuan.
Mereka juga membangun narasi bahwa idealnya perempuan (ibu/istri) berperan mengasuh anak, melayani suami. Jika tidak, maka ia bukanlah ibu yang ideal.
Tak heran juga pada era yang sama, penggambaran mengenai sosok ibu yang ideal ini juga dikampanyekan melalui layar perak. Film-film yang mengangkat tema setan perempuan, kebanyakan adalah mereka yang kurang ideal dan melanggar norma.
Misalnya, film Sundel Bolong (1981), yang oleh Nissa dan Tito sebut, “Ibuisme Negara bekerja”. Sundel Bolong adalah setan yang ingin balas dendam karena ia telah diperkosa dan dibunuh oleh sekawanan laki-laki bejat.
Sayangnya, “narasi melawan” ini tidak sesuai dengan narasi perempuan ideal menurut Orba, sehingga ia harus disingkirkan. Akhirnya, Sundel Bolong ini kalah melawan pemuka agama (ustaz), protagonis klise yang jadi formula khas Orba.
“Sundel Bolong menjadi representasi Ibuisme Negara bekerja, di mana hantu perempuan memiliki jukstaposisi dengan posisi Gerwani yang melawan tatanan keharmonisan, dan karenanya harus disingkirkan,” tulisnya.
Masih harus berjuang, bahkan sampai akhir hayat
Selain itu, saya juga mengamati bahwa di samping wacana pendisiplinan perempuan, fenomena menarik lain yang muncul dalam semesta horor setan-perempuan di Indonesia adalah terbatasnya akses perempuan terhadap keadilan.
Misalnya, dalam Si Manis Jembatan Ancol, Kuntilanak, atau Sundel Bolong, diceritakan bahwa sosok hantu ini hadir akibat peristiwa serupa: diperkosa, tidak mendapatkan keadilan di dunia, meninggal, dan menuntut balas saat sudah jadi hantu.
Saya tidak tahu, lebih horor mana menyaksikan perempuan itu jadi hantu atau melihat kenyataan bahwa setiap harinya ada 3-5 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Menurut data Kementerian PPPA, ada 25.050 perempuan yang melapor telah dilecehkan selama tahun 2022. Lebih dari 30 persen di antaranya adalah pemerkosaan.
Banyak dari korban tersebut takut melapor, melapor tapi diabaikan polisi, alias sangat sulit mendapatkan akses keadilan. Jadi, bisa dibayangkan, sendainya para kuntilanak dan sundel bolong ini sudah mendapatkan keadilan di dunia nyata, mereka tak perlu repot-repot jadi hantu.
Selain itu, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, angka kematian pada ibu melahirkan di Indonesia pada tahun 2015 saja, mencapai 305 orang per 100 ribu kelahiran hidup. Ini di atas angka rata-rata kematian ibu di wilayah Asia-Pasifik (127 pada 2015).
Saya kembali membayangkan, sundel bolong atau kuntilanak tersebut mungkin bakal tetap jadi manusia seutuhnya, bukan hantu, seandainya mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.
Sayangnya, panggang jauh dari api. Jangankan keadilan dan pelayanan kesehatan memadai, pada akhirnya mereka mengakhiri riwayatnya sebagai setan yang menebar teror.
Dari sini, saya jadi overthinking, jangan-jangan Ibu dalam Pengabdi Setan bangkit dari kubur bukan untuk menjemput Ian. Bagaimana kalau ia ingin menuntut balas, kepada sistem, kepada kultur yang toksik, atau kepada suami (laki-laki) yang terlalu misogini?
Namun, sebagaimana Sundel Bolong, Kuntilanak, atau Si Manis, Ibu dalam Pengabdi Setan terpaksa harus berjuang bahkan sampai akhir hanyatnya. Karena, di dunia nyata keadilan tidak didapat.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda