MOJOK.CO- Ifah, seorang muslimah feminis, lelah dengan pernyataan yang seringkali menyudutkan dan menyalahkan perempuan. Apalagi, ketika orang-orang mulai ceramah bawa-bawa dosa, bahkan perempuan dianggap sebagai sumber dosa utama laki-laki. Oleh karena itu, ia mencoba mengurai gerakan feminisme yang sejatinya senapas dengan konsep ketauhidan di agama Islam.
Gerakan perempuan muslimah berperspektif feminisme dan keadilan gender sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Namun hingga saat ini, stigma sebagai gerakan yang menentang ajaran agama, dan melenceng dari identitas perempuan muslimah masih terus bermunculan di mana-mana. Justru semakin meluas mealui media sosial, bacaan online, artikel, dan berita yang provokatif dan misoginis.
Misalnya sebuah artikel yang berjudul Muslimah Tidak Perlu Jadi Feminis menyodorkan pembaca dengan pernyataan bahwa muslimah tidak perlu menjadi feminis untuk meraih kemuliaan. Artikel itu bilang Islam telah menempatkan perempuan pada posisi yang mulia jauh sebelum feminisme ada. Tak lupa, bertebaran kalimat-kalimat stereotipe seperti gerakan feminis membuat perempuan muslimah jauh dari kodratnya: menutup aurat, taat dan melayani suami pada artikel tersebut.
Kok bisa, gerakan feminisme dianggap lebay?
Feminisme dianggap sebagai gerakan yang berlebihan, karena Islam membuat perempuan tidak menanggung beban seberat laki-laki. Dalam hal ini, misalnya perempuan tidak wajib bekerja, dan tidak menjadi pemimpin keluarga, sehingga tidak perlu menuntut kesetaraan.
Barangkali kamu sering menjumpai artikel serupa dengan sudut pandang laki-laki, patriarki, dan misoginis. Padahal, Islam tidak pernah menempatkan perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki.
Memang benar bahwa Islam sangat memuliakan perempuan. Namun, bukan berarti membuat kita lupa bahwa masih banyak perempuan muslimah yang mengalami kasus kekerasan seksual. Selain itu, masih ada ragam bentuk pengekangan, domestikasi, penundukan perempuan, objektifikasi, dan pembatasan peran muslimah di berbagai ruang, bahkan di ruang bersama Tuhan sekalipun.
Dalam masyarakat patriarki, pandangan inferioritas terhadap perempuan menjadi poin pertama yang melahirkan stereotipe dan ketidakadilan bagi perempuan. Aspek tubuh, seks, dan biologis perempuan—yang diasosiasikan sebagai kenikmatan bagi laki-laki—dijadikan sebagai alat untuk merepresi perempuan, agar patuh, dikendalikan, dan dapat diatur. Tujuan lainnya, agar tidak membawa masalah bagi laki-laki yang melihatnya.
Nasib Hawa yang selalu disalahkan
Sebagai perempuan berjilbab, yang mengimani nilai-nilai Islam bersama pengetahuan gender dan feminisme, saya pernah disudutkan tentang bagaimana keputusan saya ini termasuk sikap menentang ajaran Islam. Beberapa kali juga saya mendengar sebuah pernyataan bahwa sumber masalah di dunia ini adalah perempuan; sumber dosa utama laki-laki adalah perempuan.
Lalu, jika kita tanya landasan pernyataan itu apa, sebuah peristiwa besar tentang diturunkannya Nabi Adam dari surga ke dunia yang konon karena Hawa, akan ditekankan sebagai kebenaran. Hawa, seorang perempuan; sumber masalah Adam yang seorang laki-laki. Dan yang paling bermasalah adalah fakta bahwa cerita ini berumur panjang, terwujudkan dari mulut ke mulut, hingga melalui ragam teks.
Penafsiran teks agama kerap diwarnai oleh ideologi dominan yang berlaku di masyarakat – dalam hal ini ideologi patriarki – dan umumnya dipegang oleh laki-laki sebagai ahli tafsir. Sehingga, menimbulkan penafsiran yang bias dan diskriminatif. Padahal, wacana keagamaan yang seperti ini justru bertentangan dengan cita-cita keadilan dan nilai-nilai Islam.
Kesadaran tentang betapa banyak tafsir heteronormatif dan berdasar pada kacamata laki-laki inilah yang menggerakkan banyak perempuan muslimah untuk turut mengambil ruang keadilan.
Gerakan perempuan muslimah sudah ada sejak dulu
Di Indonesia, kelahiran organisasi seperti Aisyiyah pada tahun 1917 berfokus pada isu pendidikan perempuan dan keadilan dalam ruang agama. Organisasi sayap Muhammadiyah ini menjadi titik awal kehadiran gerakan perempuan muslimah selanjutnya.
Salah satu wujud gerakan dari Aisyiyah bermula dari pembangunan masjid untuk perempuan di Yogyakarta pada 1922. Tujuannya, agar perempuan bisa menjadi subjek dalam menjalankan kegiatan keagamaan yang selama ini menjadi otoritas laki-laki.
Lalu, Kongres Perempuan Indonesia pada 1928 memperkuat lahirnya organisasi perempuan berbasis keagamaan lainnya. Sebut saja, Persatuan Islam Istri tahun 1936 dan Muslimat NU tahun 1946.
Saat feminis dan aktivis lintas agama berkonsolidasi
Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa pada tahun 1998 menjadi awal dari kekuatan bersama gerakan feminisme, dan gerakan lintas keagamaan. Konflik kekerasan dan bentuk pemerintahan otoriter Orde Baru mengakarkan pandangan inferioritas terhadap perempuan. Ini menjadi titik bersatunya perlawanan dari feminis muslimah dan feminis sekuler pada masa itu.
Gerakan ini kemudian semakin mekar sejak masa kepemimpinan GusDur. Pasca-Reformasi, kepemimpinan Gus Dur melahirkan aspek pengarustamaan gender sebagai acuan pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang adil dan setara.
Selain itu, kehadiran Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama di Cirebon pada 2017 juga krusial. KUPI menjadi titik balik penyatuan feminisme dan Islam. Menurut Bu Nyai Nur Rofiah, pengakuan peran dan keikutsertaan perempuan dalam menyikapi kebijakan adalah cara untuk melihat Islam secara hakiki, dan menggerakkan kesetaraan gender.
Semangat merekonstruksi tafsir
Pergerakan feminis muslimah yang berkelindan pada isu seputar keluarga, otoritas tubuh, dan peran perempuan di ruang publik, menjadi upaya agar perempuan tidak lagi berada dalam posisi subordinat dan inferior. Baik dalam teks maupun tafsir-tafsir keagamaan.
Bagi feminis muslimah, kritik terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan harus dilakukan dengan membaca kembali lalu merekonstruksi tafsir yang selama ini selalu dibaca menggunakan lensa patriarkal. Sebab, Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam tidak pernah mengajarkan kepada manusia untuk menindas kelompok minoritas, perempuan, dan identitas gender di luar dari cis-hetero.
K.H Husein Muhammad menjelaskan bahwa dengan melakukan reinterpretasi atas teks keagamaan, akan melahirkan keadilan dan meruntuhkan konstruksi sosial yang diskriminatif terhadap perempuan.
Feminis muslimah lahir dengan pembacaan secara kontekstual dan faktual terhadap agama. Pembacaan ini melibatkan pengalaman tubuh dan realitas perkembangan sosial-ekonomi-politik masa kini. Cara tersebut menunjukkan kalau perempuan boleh mengaktualisasikan dirinya. Tidak hanya sebatas urusan domestik, atau mengurus suami dan anak. Bagi perempuan muslimah, menjadi feminis progresif adalah upaya menghidupkan kritik dan pemikiran alternatif yang berkeadilan.
Tauhid adalah kunci
K.H Husein Muhammad juga menegaskan bahwa benang merah dari perjuangan feminis muslimah tidak lepas dari pengetahuan tentang ketauhidan. Tauhid menjadi basis utama feminisme. Pemaknaannya adalah bahwa Tuhan satu-satunya pemilik otoritas kehidupan manusia.
Prinsip Tauhid ini menjadi pijakan terhadap pembebasan manusia dari segala ketidakadilan atas segala penilaian manusia. Bahwa dalam Islam, keadilan tidak terbatas pada aspek tubuh. Tapi juga terhadap nilai dan kualitas menjadi manusia, yakni saat tubuh (laki-laki, perempuan, dan identitas gender apapun) memeroleh peran, dan tempat yang tepat dan setara.
Perjuangan organisasi serupa Aisyiyah atau Muslimat tidak pernah menggunakan istilah feminisme sebagai basis gerakan. Tapi, nilai-nilai yang terkandung dalam organisasi perempuan muslimah juga sejalan dengan cita-cita feminisme. Yakni, keadilan dan kesetaraan dalam setiap ruang dan waktu.
Penulis: Ifah Magfirah
Editor: Amanatia Junda