Melihat 5 Babak Penurunan Suara Golkar dalam Pemilu, 2024 Bakal Anjlok Lagi?

penurunan suara partai golkar mojok.co

Ilustrasi penurunan suara Partai Golkar (Ega Fanshuri/Mojok.co)

MOJOK.COGolkar merupakan partai lawas, melegenda, dan punya basis massa yang besar. Sayangnya, kini mereka telah kehilangan daya gedornya.

Bisa dibilang, sejak Reformasi 1998, Golkar menjadi partai yang sama sekali berbeda daripada saat masih di era Orde Baru. Sejak reformasi pula, atau setidaknya dalam lima edisi pemilu berlangsung, tren elektoral partai berlambang pohon beringin ini juga terus mengalami penurunan.

Meskipun Golkar dapat bertahan di 2-3 besar partai politik nasional, perolehan suara dan kursinya di DPR cenderung anjlok.

Misalnya, dalam pemilu terakhir, yakni pada 2019 lalu, Partai Golkar hanya meraih 12,3 persen suara yang kemudian dikonversi menjadi 85 kursi di DPR RI. Padahal, jika dibandingkan prestasi Golkar pada pemilu awal reformasi, yakni Pemilu 1999, Golkar masih bertengger di 22,4 persen suara dengan merebut 120 kursi DPR RI.

Perolehan suara “paling mending” Golkar pasca-reformasi justru dibuktikan dengan raihan suara dan kursi di Pemilu 2004. Saat itu, mereka kembali menjadi pemenang pemilu dengan meraih 21,6 persen suara dan 127 kursi.

Sayangnya, tren negatif justru terus berlanjut hingga saat ini. Konflik internal, krisis kepemimpinan, hingga hilangnya identitas partai, harus diakui bikin Golkar hilang pamor di kalangan pemilihnya.

Lantas, seperti apa tren penurunan suara ini dialami oleh Golkar? Berikut ini Mojok telah merangkumnya dalam lima babak.

#1 Pemilu 1999, kekalahan pertama Golkar

Pemilu 1999 menjadi tonggak baru bagi Partai Golkar, untuk pertama kalinya, mereka menjalani politik elektoral pertama setelah Orde Baru. Momen ini sekaligus mengenalkan ketum pertama dari kalangan nonmiliter, Akbar Tandjung.

Sayang, pemilu kali ini sekaligus menjadi yang pertama kali Golkar tidak memenangkannya. Pada Pemilu 1999, Golkar meraih 23 juta suara dan “hanya” berhak atas 120 kursi DPR RI. Artinya, mereka kehilangan total 205 kursi dari pemilu sebelumnya di 1997.

Mereka pun kalah dari PDIP yang meraup 35 juta suara (33,7 persen) atau yangs setara dengan 153 kursi di parlemen.

#2 Pemilu 2004, menang tapi tetap di ‘trek’ negatif

Partai Golkar dipastikan memenangkan Pemilu 2004 setelah berhasil meraih 21,58 persen suara. Mereka pun berhak atas 128 kursi di parlemen.

Partai yang saat itu dinahkodai Akbar Tandjung ini unggul atas PDIP yang meraih 18,53 persen (109) kursi di posisi. Namun, yang menjadi kejutan saat itu adalah partai baru yang digawangi mantan Menteri Pertahanan Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat, yang meraih 7,45 persen (57 kursi) dan menempati peringkat 5.

Meski menag di pemilu legislatif, sebenarnya Golkar tetap berada di trek negatif. Pasalnya, secara presentase kursi mereka turun dibanding pemilu sebelumnya. Hadirnya kekuatan baru, seperti Partai Demokrat dengan SBY-nya, juga dianggap bakal jadi tantangan bagi Golkar untuk mengembalikan hegemoninya.

Benar saja, dalam Pilpres, calon presiden Golkar yakni Wiranto (berpasangan dengan Salahuddin Wahid) hanya mampu meraih 22,15 persen dan gagal melaju ke putaran kedua. Mereka kalah dari pasangan Megawati-Hasyim dan SBY-JK.

Halaman selanjutnya…

#3 Pemilu 2009, suara anjlok drastis

#3 Pemilu 2009, suara anjlok drastis

Apa yang dikhawatirkan pada Pemilu 2004 akhirnya terjadi lima tahun berselang. Kalahnya capres Golkar di putaran pertama serta naiknya pamor Partai Demokrat karena terpilihnya SBY sebagai presiden, bikin suara partai beringin itu anjlok di Pemilu 2009.

Pada pemilu legislatif, mereka harus rela kehilangan 22 kursi dari pemilu sebelumnya. Pada 2009, Golkar hanya mampu meraih 14,45 persen (106 kursi), kalah dari Partai Demokrat yang keluar sebagai pemenang dengan raihan 20,85 persen suara (148 kursi).

Penelitian Hanta Yuda berjudul “Faktor Penyebab Penurunan Perolehan Suara Partai Golkar di Pemilu 2009” menyebut, ada empat faktor umum yang bikin Golkar gatot di pemilu kali ini.

Pertama, karena ada kegagalan dalam mengelola faksional internal. Kedua, problem kaderisasi dan penyimpangan dalam rekrutmen anggota. Ketiga, kepemimpinan yang kurang kuat. Dan keempat, yang paling terlihat, adalah hilangnya identitas atau ideologi partai.

#4 Pemilu 2014, kursi makin terkikis, friksi pun makin sering

Pemilu 2014 jadi saksi betapa merosotnya pamor Golkar dan rapuhnya situasi internal partai. Pada pemilu edisi ini, Golkar kembali kehilangan kursi mereka di parlemen.

Partai yang saat itu diketuai Aburizal Bakrie hanya mampu meraih 14,79 persen suara atau setara 91 kursi. Turun 15 kursi dari pemilu sebelumnya.

Namun, yang bikin heboh lagi adalah terjadinya dualisme partai. Setelah pemilu, sang ketum Aburizal Bakrie ingin membawa Golkar berada di luar pemerintahan alias oposisi. Sayangnya dari kubu berbeda, yang dimotori Agung Laksono, berharap Golkar berada di dalam pemerintahan dengan mendukung presiden terpilih, Joko Widodo.

Karena sama-sama keras dan punya power, kedua kubu pun menggelar munas dan menghasilkan dualisme kepengurusan. Setelah dualisme terjadi lebih kurang dua tahun, musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) akhirnya berhasil menyelesaikan dualisme ini.

Hasil munaslub yang digelar 2016 ini menetapkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Sayangnya, setahun berselang, ia dicopot dari jabatannya karena tersandung kasus korupsi e-KTP.

#5 Pemilu 2019, pengikisan tingkat akhir

Kondisi amburadul yang dialami Golkar sepanjang 2014-2019, bikin mereka sedikit oleng dalam menatap Pemilu 2019.

Pada gelaran ini pun, suara mereka kembali terkikis. Golkar meraih 12,31 persen suara atau setara 85 kursi—turun enam kursi dari pemilu sebelumnya.

Imbas lain pun, perolehan suara Golkar ini masih belum “lulus” presidential threshold 20 persen, yang jadi prasyarat untuk mengajukan kadernya sebagai capres. Padahal, Munas Golkar 2019 memutuskan bahwa ketum Golkar setidaknya harus menjadi capres/cawapres di Pemilu 2024 mendatang.

Sayangnya, Airlangga yang menjabat sebagai ketum, tak cukup kompeten untuk mem-branding dirinya sebagai capres maupun menaikan elektabilitas partai secara umum.

Airlangga sendiri, kini mendapat olok-olok “Capres 4.0”, karena elektabilitasnya mentok di angka 4 persen. Sementara Golkar, sejak 2019 hingga 2023 terus alami penurunan elektabilitas. Mulai dari 8,9 persen (Oktober 2019) menjadi 7,3 persen (Mei 2023).

Hal ini diperparah dengan pemberitaan baru-baru ini, di mana sang ketum sedang didera dugaan korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah, hingga desakan bikin poros baru pilpres dan isu “kudeta” atas dirinya.

Jadi, bakal seperti apa kiprah Golkar di Pemilu 2024 nanti? Menarik untuk ditunggu.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Golkar Sering Banget ‘Kudeta’ Ketum, Kira-kira Apa ya Penyebabnya?

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

 

Exit mobile version