Saracen menyeret kembali Kanda Eggi Sudjanadi panggung politik umat. Padahal, ia baru beberapa belas hari turun terpaksa dari panggung penipuan umat bernama First Travel. Kanda Eggi stop melakukan aksi bela-membela karena sebuah bisikan suci bahwa suami istri gila itu bagian dari, pinjam istilah filsuf Francis Bacon, “iblis berzirah malaikat”.
Kanda Eggi bukan pembela duo iblis yang menipu puluhan ribu umat selama bertahun-tahun itu. Kanda Eggy tetap pembela umat yang gigih hingga ia sendiri berangkat haji saat namanya kembali moncer bersama isu monster Saracen di lini masa media sosial.
Saracen adalah petaka akhir zaman. Lebih ganas dari tanah petani di Kulonprogo yang dibego penguasa infrastruktur, lebih seru ketimbang RI yang akhirnya berencana pindah ibu kota ke Meikarta setelah IMB rampung, dan lebih urhen dibanding umat Sunda Wiwitan yang dibuldoser kapitalisma yang menggandeng agama.
Kanda Eggi juga menolak dihubungkan dengan Saracen, si monster yang sampai dikomentari Presiden RI Joko Widodo sebagai sesuatu yang harus dituntaskan sampai ke akar-akarnya (ia memilih mengomentari Saracen ketimbang mengucapkan assalamualaikum kepada belasan pencari keadilan yang sudah 500 minggu saban Kamis berdiri di depan istana tempat Pak Pres tidur).
Tampak dari raut Kanda Eggi ada kerisauan ketika mengatakan ia tak ada hubungan apa-apa dengan portal berita itu. Sebab ia tahu, setelah bergandeng tangan menumbangkan Ahok dari ibu kota, ada sebuah arus balik untuk mengambil dan melumpuhkan para pemimpin gerakan satu-satu dengan beragam dalih.
Kanda Eggi kini berhadapan dengan dalih ini: Saracen. Kanda Eggi sedang berhadapan dengan soal serius. Sebuah palagan digital.
Sebagai salah seorang pembangkang Orde Baru garda depan, Kanda Eggi tentu paham ini bukan semata soal Joko Widodo yang sedang konsolidasi untuk 2019, tapi pertempuran sengit di Abad Keraguan.
Saracen, Kanda Eggi, Amien Rais, dan para pembela (politik) agama ini berada dalam situasi pertarungan sengit yang melanda semua medan. Mulai dari sains hingga politik.
Mestinya kita tak perlu kaget. Cerita sampul National Geographic Maret 2015 mengurai dengan penuh keyakinan bagaimana pertumbuhan Abad Ketakpercayaan ini.
Di gelanggang sains sudah berlangsung sangat sengit. Meluasnya keyakinan bumi datar seperti membangunkan kembali keyakinan abad ke-19 yang diwakili peta tua Orlando Ferguson produksi 1893 di Dakota Selatan, Amerika Serikat.
Termasuk yang kasat mata adalah makin bergelombangnya saf penolak vaksin yang sudah moncer sejak satu dekade silam, walau tentu tak seluas penolakan atas kesimpulan sains soal manusia punya leluhur bernama monyet yang dikibarkan Charles Darwin.
Abad keraguan ini sangat serius. Para ilmuwan kembali berkonsolidasi, merapatkan pertahanan setelah mereka merebut dan mempertahankan takhta yang sudah mereka raih sejak Galileo Galilei mengobrak-abrik otoritas agama pada abad ke-17. Mereka butuh siasat baru selain dukungan meme lucu-lucuan dan memanggil pemanggul antisains dengan sebutan bani bumi datar.
Abad Keraguan ini, tulis kontributor National Geographic Joel Achenbach, berkibar ketika orang mendengarkan kembali suara naif yang berdiam dalam intuisi manusia. Bahkan bagi seseorang yang sudah melek sains pun, keyakinan naif itu tak benar-benar terhapus. Ia hidup untuk meragukan apa yang dalam buku besar saintis disebut “saus rahasia”, atau dalam restoran Krusty Krab di Bikini Bottom disebut “resep rahasia”.
Kembali ke Kanda Eggi.
Sains itu status quo yang memegang lisensi “saus rahasia”. Dan itu semua berada di ketek negara dan pemodal. Lihatlah, semua lembaga yang memegang panji-panji penjaga rasionalitas, akal sehat, dan hukum alam hampir dipastikan segaris dengan pandangan pemerintah. Industri macam semen, misalnya, selalu butuh tenaga sains dan restu pemerintah untuk legitimasi operasi industrinya. Ketakpercayaan kepada pemerintah dan sains itu akhir-akhir ini bekerja.
Saya melihat posisi Kanda Eggi ada dalam skema saling gebuk antara intuisi skeptisisme dan rasionalitas sains status quo.
Sebagai penegak keyakinan naif, Kanda Eggi mesti maju berjihad mempertahankan kemenangan. Ia tak seperti Sheldon J. Plankton yang memburu habis-habisan resep rahasia yang dikepit rapat-rapat si pemodal pelit Mr. Krabs. Kanda Eggi melampaui ambisi Plankton yang melulu seputar persaingan dagang. Kanda Eggi ingin membuktikan bahwa dalam “resep rahasia” itu pasti ada palu dan aritnya: bahwa “saus rahasia” itu adalah vaksin penidur yang menjauhkan umat dari perjuangan panjang yang hingga saat ini ia anggap tak pernah menang, di angan-angan sekalipun.
Saracen dan Kanda Eggi pada akhirnya adalah keniscayaan sebuah era. Kanda Eggi adalah buah khuldi dari internet. Sebagaimana doktrin sains dan jurnalistik, skeptisisme adalah tangga awal demi memetik kebenaran. Kanda Eggi sudah melakukannya secara prohresip. Ia skeptis pada semua informasi yang diberikan media-media mainstream yang bertahun-tahun melakukan filter informasi.
Umat yang mulai pulih kepercayaannya kepada naluri/intuisi perlu saluran gelembung filter baru. Ratusan web, mulai dari PKSPiyungan, Dakwatuna, Saracen, hingga Posmetro, Seword, dan Beritateratas adalah konkretisasi gelembung-gelembung itu.
Tapi, mereka ini kan si laknat penyebar hoax? Allahuakbar! Kalau soal penyebaran hoax, negara dengan dukungan modal melimpah dan instrumen birokrasinya adalah penyebar hoax terbesar—situs web abal-abal kayak Saracennews dan sejenisnya itu tidak ada apa-apanya.
Karena ini dalam suasana konfrontasi informasi, Kanda Eggi tentu insaf bagaimana tiba-tiba semuanya menyalahkan si buah khuldi. Padahal masih ada tiga pihak lain di Abad Keraguan ini: si ular, si Adam, dan si Hawa.
Maka, untuk menjernihkan soal inilah Kanda Eggi langsung ke Mekkah. Kata musuh-musuhnya sih eksil. Tapi, kata pengacara Kanda Eggi: haji, sekaligus menjernihkan posisi khuldi dan ular versus dengan Adam Andika Surachman dan Hawa Anniesa Hasibuan di Jabal Rahmah yang dimuliakan itu.