Mendatangi Perguruan Wing Chun di Yogyakarta

[MOJOK.CO] “Berlatih Wing Chun adalah usaha untuk berlutut kepada kedamaian, kontrol diri, dan sifat welas asih.”

Tak ada entakan. Tak ada teriakan-teriakan awalan jurus. Tak ada hantaman-hantaman bergelora. Itu yang (((Mojok Institute))) rasakan ketika tiba di ruang latihan Tradisional Ip Man Wing Chun Yogyakarta. Yang terasa adalah aura santai. Penuh senyum. Sesekali tertawa. Suara-suara kalem dari instruktur menguasai ruangan sekitar 20 x 30 meter itu.

Malam itu ada sekitar 12 orang yang tengah berlatih. Dari yang paling muda, masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar, hingga yang paling tua, berusia sekitar 30 tahun. Tak ada sekat pemisah di antara mereka. Latihan berjalan cair, bisa saling berganti-gantian tanpa harus menunggu komando dari sifu (guru) yang mengajar.

Cair adalah satu kata yang menempel pada bela diri ini. “Wing Chun pada dasarnya bukan ilmu untuk menyerang, melainkan bertahan sembari menyerang. Penekanannya ada pada respons situasi, menyesuaikan dengan apa yang tengah terjadi di dunia nyata. Jadi, gerakan-gerakannya sangat cair, dan satu gerakan misalnya, bisa menjadi banyak jurus untuk merepons situasi,” ungkap Rudi Hakim, salah seorang instruktur.

Selain cair, bela diri Tiongkok ini juga menekankan kepada kelembutan. Orang yang berlatih harus berada pada kondisi santai, tidak grusa-grusu, dan yang paling penting, berusaha mengontrol emosi. “Semuanya seperti kembali ke nol,” jelas Rudi Hakim lagi.

Penekanan kepada kelembutan ini memang tak bisa dimungkiri lahir dari sejarah Wing Chun sendiri. Konon, sesuai penuturan dari Ip Man, sang grand master, bela diri ini dilahirkan dari buah pemikiran seorang pendeta wanita bernama Ng Mui. Pendeta tersebut lantas menurunkan bela diri ini kepada seorang wanita bernama Yim Wing Chun.

Wanita inilah yang kemudian memopulerkan Wing Chun, sesuai namanya sendiri. Cerita lain menyebutkan bahwa bela diri ini lahir di atas sebuah kapal. Kuda-kudanya yang khas, seperti menyatukan dua paha sebelah dalam, membuat sang pendekar bisa berdiri di atas kapal yang oleng oleh ombak dengan lebih nyaman.

Berlatih Wing Chun sendiri gampang-gampang susah. Jika orang awam melihat, latihannya terlihat sangat sederhana, bahkan kata Rudi Hakim: menjemukan, meskipun sebenarnya cukup kompleks dan rumit. Namun, seperti tiki-taka ala Barcelona, sesuatu yang terlihat sederhana dibangun dari proses perencanaan yang rumit.

Ketika latihan, selain menyempurnakan bentuk-bentuk (form) jurus dan gerakan, juga dipraktikkan close combat (pertarungan jarak pendek) yang disebut Chi Sao. Pertarungan jarak pendek ini dilakukan di dalam kotak berukuran 2 x 2 meter. Beberapa gerakan lain yang dilatih adalah Chum Kiu (gerakan tangan) dan Mok Yan Jong (berlatih menggunakan wooden dummy atau kayu latihan).

Mok Yan Jong biasanya baru diajarkan kepada praktisi tingkat lanjut. Berlatih menggunakan wooden dummy atau boneka kayu membutuhkan keterampilan pernapasan dan “pukulan tanpa kekuatan”.

Tujuannya bukan untuk menyerang, namun “menggerakkan” boneka kayu tersebut. Oleh sebab itu, tangan si praktisi tidak akan terasa sakit meski beradu dengan kayu jati yang pasti aduhai kerasnya, terbukti dari nyaringnya suara kayu yang beradu dengan tulang tangan.

Nah, meskipun “lembut” karena diciptakan oleh wanita, bela diri ini bisa dibilang ilmu yang berbahaya. Wing Chun adalah bela diri yang membantu pendekarnya mengatasi perbedaan fisik. Ditambah latihan pernapasan yang benar, seorang pendekar Wing Chun bisa memaksimalkan seluruh berat tubuhnya ketika menghantam lawan.

Gambarannya, pada seorang wanita dengan bobot 50 kilogram, pukulannya juga akan terasa seberat 50 kilogram ketika mendarat di tubuh lawan. Jadi bayangkan saja apabila seorang pendekar Wing Chun berbobot 100 kilogram. Apalagi beladiri ini menekankan pentingnya center line atau satu garis yang membelah tubuh menjadi dua bagian yang menunjukkan titik-titik vital.

Setiap serangan Wing Chun menekankan kepada center line ini. Mulai dari ubun-ubun, dahi, titik di antara mata (dan mata itu sendiri), parit di bawah hidung, tenggorokan (leher), ulu hati, bagian bawah perut, dan alat vital. Pukulan pendekar Wing Chun terlatih dengan bobot 100 kilogram menghantam alat vital. Bisa dibayangkan. Seraaam.

Sadar bahwa bela diri ini punya potensi berbahaya, para master Wing Chun melambari ilmu bela dirinya dengan pelajaran-pelajaran penting tentang kedamaian. Terutama diberikan kepada para murid yang menjadi pewaris.

Untuk soal penting ini, master Wing Chun dan praktisi bela diri Tiongkok pada umumnya tidak menekankan kepada kedalaman ilmu atau bakat seseorang untuk kemudian ia dijadikan murid. Yang menjadi perhatian dan penilaian adalah sikap welas asih dan bertanggung jawab.

Para master di Tiongkok dan Hongkong menyebut Wing Chun sebagi “ilmu yang berharga”. Rudi Hakim mengamini pernyataan Mojok Institute bahwa bela diri ini tampaknya lebih berharga ketimbang warisan sejumlah besar uang.

Mereka yang menerima kehormatan mewarisi ilmu ini otomatis dianggap sebagai keluarga. Karena alasan ini pula, suasana latihan Tradisional Ip Man Wing Chun Yogyakarta menjadi sangat hangat. Mereka yang berlatih bersama betul-betul memahami makna keluarga.

Wing Chun menghancurkan sekat-sekat pemisah seperti agama, suku, ras, kepercayaan, usia, jenis kelamin, minat, dan lain-lain. Wing Chun mengikat para praktisi menjadi satu keluarga besar yang saling menjaga.

Pesan damai ini pula yang membuat perwakilan Wing Chun pusat diundang oleh PBB untuk menyebarkan pesan perdamaian lewat bela diri pada tahun 2017. Mereka terutama diterjunkan di wilayah-wilayah konflik.

Tradisional Ip Man Wing Chun Yogyakarta sendiri sudah menjadi bagian dari Wing Chun pusat di Hongkong yang bernama Ving Tsun Athletic Association (VTAA). Untuk bergabung, Anda tinggal datang saja ke tempat latihan di Jamace (Jago Martial Art Center), beralamat di Jalan Laksda Adi Sutjipto km 8, di lantai dua toko besi Jago. Jika sudah menjadi anggota, tiap bulan akan dikenakan biaya sebesar 150 ribu.

Tradisional Ip Man Wing Chun Yogyakarta juga masih punya empat cabang tempat latihan di Yogyakarta, yaitu di Kelas Klitren, Kelas Karangwaru, DM Fitness & Gym, dan kelas Pendowo. Bagi yang berminat, informasi lebih jelas bisa disimak di sini.

Pada akhirnya, berlatih Wing Chun adalah usaha untuk berlutut kepada kedamaian, kontrol diri, dan welas asih. Bela diri yang terlihat lembut ketika berlatih justru menyimpan kekuatan besar ketika disajikan di dunia nyata.

Exit mobile version