Dua dedengkot dunia perbukuan Yogya yaitu Mas Buldanul Khuri dan Mas Hairus Salim, mengajak saya ngopi sore di sebuah tempat. Begitu Mas Buldan menunjukkan foto-foto tempat ngopi, saya langsung mengiyakan. Sepertinya, tempat itu bukan sembarang tempat ngopi. Suasananya berbeda. Makin menarik ketika Mas Buldan memberi informasi, “Bisa ngopi sambil mancing di pinggir sungai. Kopinya enak, makanannya mantap. Pemiliknya, pencinta alam.”
Pada sore yang dijanjikan, saya berangkat bersama Aditia Purnomo, Direktur Penerbitan Buku Mojok yang baru. Di grup para penggiat buku Yogya, Mas Salim sempat menyinggung soal informasi tentang kemungkinan naiknya harga kertas HVS sebesar 40%. Ditambah kemungkinan lain, harga tinta cetak juga bakal naik. Dalam situasi dunia perbukuan yang mulai lesu karena pandemi dan ekonomi, jika benar kenaikan itu terjadi, tentu bakal memukul industri penerbitan yang sudah ngos-ngosan.
Saya hampir kebelasuk menuju ke kedai kopi tempat kami janjian bertemu. Tapi begitu saya mulai masuk ke sebuah jalanan menurun yang nisbi terjal, langsung mata saya terbelalak. Ada tempat seindah ini di pinggiran Kota Yogya? Gila…
Mas Buldan dan Mas Salim sudah asyik bercengkerama di deretan meja di pinggir sungai. Wajah mereka tampak bahagia. Segar. Sesegar tempat itu. Nama kedai kopinya: Kaliku. Nama itu diambil karena kali atau sungai bening dengan banyak ikan berseliweran itu adalah Kali Kuning. Saya langsung diperkenalkan oleh si pemilik kedai, namanya Pak Nasir.
Tokoh Mapala sepuh
Pak Nasir asyik diajak ngobrol. Logat Sumatranya kental. Ternyata memang dia lahir di Banda Aceh, lalu menghabiskan masa kecil di Jambi, kemudian kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) di Fakultas Hukum, angkatan tahun 1984.
Sejak muda dia sudah aktif di kegiatan mahasiswa pencinta alam (Mapala). Dia menekuni panjat tebing, dan sempat menjadi salah satu instruktur panjat tebing yang sangat dikenal di Yogya. Sejak mahasiswa pula, dia sudah aktif di LSM Dian Desa, sebuah LSM yang berkutat di persoalan teknologi tepat guna bagi masyarakat.
Pengalaman orang bernama Muhammad Nasir Effendi di dunia LSM sangat panjang. Dia termasuk orang yang pertama kali bisa masuk ke Aceh waktu terjadi gempa bumi dan tsunami yang melanda provinsi tersebut pada tahun 2004. Bersama para relawan pencinta alam dan SAR, serta pasukan marinir, Pak Nasir sudah sampai di Banda Aceh, 5 hari setelah tsunami menyapu sebagian wilayah tersebut dengan menelan korban jiwa sebanyak lebih dari 200.000 orang. Itu salah satu peristiwa bencana alam terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
Bersama mereka, Pak Nasir ikut mengangkut dan mengubur mayat-mayat yang berada di sana. Karena lahir di sana, ikatannya atas Aceh sangat kuat, dan itu yang kemudian membuat dia tetap bekerja di wilayah bencana tersebut sampai 5 tahun.
Usai menunaikan tugas di Aceh, Pak Nasir bekerja di bidang pengembangan masyarakat (community development) di dua perusahaan besar. Tahun lalu, ketika usianya 55 tahun, akhirnya memilih pensiun. “Sudah cukup. Anak-anak saya sudah besar. Kini saatnya saya menikmati hari tua…” ucapnya di sela-sela obrolan kami sambil ditingkahi suara gemericik sungai, tiupan angin, dan bunyi serangga. Sungguh sebuah tempat yang sangat syahdu.
Dari tamu yang sopan menjadi kepala keamanan
Tahun 1997, Pak Nasir dan keluarganya bermukim di dusun Sempu, Wedomartani, Sleman. Sebagai pendatang, tentu saja dia bersikap sopan. Tapi suatu hari, sekelompok remaja mabuk-mabukan, dan membuat onar di depan rumahnya. Ketika ditegur beberapa kali, para remaja itu bukannya pergi, malah bertingkah makin menjadi. Akhirnya Pak Nasir yang saat itu masih cukup muda usia, segera mencabut goloknya. Rombongan remaja itu buyar.
Keesokan harinya, para remaja itu datang dan meminta maaf. Semenjak kejadian itu, Pak Nasir dipercaya sebagai kepala keamanan. Dari situlah dia mulai akrab dengan warga kampung. Karena bekerja di LSM, maka dia mulai melakukan berbagai inisiatif, misalnya membuat program WC untuk warga, karena saat itu masih banyak warga kampung yang berak di sungai. Bukan hanya itu, untuk memberi alternatif kepada para penambang pasir, Pak Nasir membuat program kompos dan tempat memancing.
Semua dikelola oleh warga. Sayang, tempat pemancingan ikan yang saat itu sangat ramai, harus tutup total karena lahar dingin saat terjadi erupsi Merapi pada tahun 2010. Selain itu, Pak Nasir bersama warga Sempu juga membuat program penghijauan di daerah pinggir sungai Kali Kuning, yang sebelumnya cukup gersang karena sering dipakai untuk menambang pasir.
Begitu mulai pensiun, laki-laki yang gemar naik sepeda motor Harley Davidson pun kembali menetap di kampung. Sebelumnya, karena sering bertugas di luar daerah selama berpuluh tahun, kalau pulang ke rumahnya, dia hanya sempat menghabiskan waktu untuk keluarga. Pulang sebentar, bercengkerama bersama keluarga, lalu pergi bertugas lagi. Begitu terus.
Di saat mulai balik ke Sempu itulah, dia terpikir untuk membuat kedai kopi. Kebetulan pula, para sesepuh dan pemuda kampung menginginkan hal tersebut, mengingat mereka pernah sukses membuat kolam pemancingan ikan. Lalu berdirilah kedai kopi Kaliku. Tempatnya asyik, makanan dan minumannya enak, harganya terjangkau. Kebetulan memang Pak Nasir suka kopi, dan cukup piawai memasak.
Kedai kopi Kaliku dikonsep dengan memberdayakan warga kampung. Memang tempat ini baru dibuka Desember lalu, tentu belum begitu banyak tamu. Tapi melihat lokasi dan kualitas makanan serta minumannya, saya yakin, tak lama lagi tempat ini akan ramai.
“Para pemuda kampung yang akan saya prioritaskan bekerja di sini. Sebagian keuntungan pun akan saya berikan kepada kampung ini. Terus terang, di usia saya yang seperti sekarang ini, tentu mencari uang bukan lagi prioritas saya. Saya sudah merasa cukup dengan apa yang saya miliki.” Tutur laki-laki dengan jenggot lebat yang sebagian memutih itu dengan gayanya yang khas, penuh senyum dan pandai bercerita.
Kegiatan susur sungai
Karena lama aktif di kegiatan pencinta alam, nama Pak Nasir cukup dikenal oleh para pegiat Mapala dari generasi ke generasi. Salah satunya adalah Alan. Begitu mendengar Pak Nasir membuka Kaliku, dia dan teman-teman Mapalanya datang berkunjung. Mereka pun terpikat oleh tempat itu. Apalagi dengan konsep memberdayakan warga kampung.
Alan yang punya toko alat-alat outdoor, mengungkapkan bahwa tidak lama lagi mereka akan membuka kegiatan jelajah alam di Kaliku. “Ada paket naik kendaraan off-road, lalu makan di sungai. Jadi di bawah bendungan, akan kita beri meja makan untuk menyantap makanan. Lalu ada paket susur sungai.” ujar laki-laki yang ternyata pernah lama juga bekerja di sebuah rumah penerbitan itu.
Saya diperlihatkan foto-foto uji coba mereka saat susur sungai dan makan di bawah bendungan. Saya langsung membayangkan Kali dan istri saya untuk ikut paket itu. “Kapan nih dibuka paketnya?”
“Bulan April, Mas…”
“Wah, bolehlah…” sahut saya bersemangat. Di saat pandemi, Kali, anak laki-laki saya yang sebentar lagi berusia 9 tahun, butuh beberapa kegiatan yang menarik di udara terbuka. Saya membayangkan dia akan ciblon di sungai, sambil berusaha menangkap ikan.
“Nanti akan ada camping ground-nya juga, Mas…” kata laki-laki yang berasal dari Kudus, namun sudah menetap di Yogya itu.
Sambil ngobrol dan menikmati hidangan di Kaliku, Alan dan temannya memancing ikan. Beberapa kali dia berhasil mendapat ikan. Memang banyak ikannya di sungai ini, karena selain di bagian atas ada banyak kolam ikan yang jika kebanjiran maka ikan-ikannya akan tumpah ke sungai, juga ada program pelepasan ikan. Boleh menangkap ikan sebanyak mungkin di sini, asal dengan cara memancing.
Mas Buldan pulang duluan. Maklum, dia habis sakit dan sedang dalam tahap pemulihan kesehatan. Karena itu pula, dia sangat menikmati Kaliku. Duduk di pinggir sungai, menikmati segelas kopi susu hangat kesukaannya. Sambil menikmati pemandangan di sekitar. Mas Buldan memang suka segala yang erat dengan alam terbuka. Sehabis Magrib, Mas Salim pamit pulang juga. Dia juga mengapresiasi Kaliku. Bikin adem pikiran. Cocok untuk pemikir budaya seperti dia.
Sementara saya memutuskan untuk berlama-lama di sana. Ngobrol asyik dengan Pak Nasir, Alan, dan beberapa pegiat Mapala yang sedang berada di sana. Bagi saya, ngobrol dengan Pak Nasir dan kawan-kawan di sana, sangat menyenangkan. Apalagi Pak Nasir punya pengalaman yang kaya dalam hidupnya.
Pukul 21.00, saya pamitan. Selain karena sudah cukup malam, hujan mulai turun. Sepanjang perjalanan pulang, energi saya merasa diisi kembali. Tak sabar, saya ingin datang ke Kaliku lagi, bersama dengan anak dan istri.
BACA JUGA Seni Mengelola Kedai Kopi dan artikel SUSUL lainnya.