Saya percaya, setiap orang punya kecenderungan untuk meromantisir masa lalu. Apalagi jika untuk memperkuat kisah sukses. Masa lalu haruslah ditatap dengan sedikit nestapa dan penuh keprihatinan. Dengan begitu kisah sukses makin terasa kuat karena diperbandingkan dengan hal yang tak terlalu mengenakkan di masa lalu.
Itu kecenderungan yang sangat manusiawi. Bapak saya pernah bercerita bagaimana di masa kecilnya, dia sangat menderita. Tak banyak makanan di rumahnya. Dia mesti bekerja agar bisa makan makanan yang lumayan enak. Tapi jika dikroscek dengan era di mana dia menghabiskan masa kecil atau remajanya yang konon penuh penderitaan itu, hal yang sama juga terjadi pada kebanyakan orang. Bahkan lebih banyak lagi yang lebih “menderita”. Mungkin bagi dia, hanya ada sedikit bahan makanan di rumahnya, tapi bagi kebanyakan orang di masa itu, bisa jadi hampir tak ada bahan makanan di rumah mereka.
Saya pun sering melakukan seperti yang dilakukan Bapak. Akhir-akhir ini, saya sering mengajak makan istri dan anak saya, menu yang saya impikan ketika sedang kuliah di Yogya dulu. Saya memperkenalkan kepada mereka berdua, sederet tempat kuliner yang tidak setiap saat bisa saya nikmati sekalipun sangat saya sukai, waktu itu. Harus ada keterangan “waktu itu” karena sesungguhnya selera manusia berubah, bahkan kadang berubahnya tanpa kita sadari. Untuk hal ini, penjelasannya menyusul.
Ada rumah makan Padang “Untuang”, itu yang menempati urutan pertama. Selain karena dulu warungnya tidak begitu jauh dari kos pertama saya di Yogya, di Yogya pulalah kali pertama saya mencicip makanan Padang. Di Rembang era itu, tentu saja tidak ada warung nasi Padang. Dengan keterbatasan uang jadup alias jatah hidup yang dikirim orangtua saat itu, saya hanya bisa makan di warung makan Padang “Untuang” sekali dalam seminggu. Rata-rata saya memilih makan di hari Jumat, setelah selesai salat Jumat. Saya paling menyukai gulai kepala tongkol. Kepala ikannya besar. Puas. Tapi harganya di atas rata-rata. Kalau uang makin menipis, menu pilihan saya geser ke nila goreng atau telor dadar. Yang penting masih dengan lezatnya kuah warung Padang “Untuang”.
Ada sederet kuliner lain tentu saja, seperti soto Klebengan, warung Suka-suka yang sangat terkenal dengan ayam bakarnya saat itu, dan ayam goreng Ninit yang kelak saya tahu ternyata aslinya dari Magelang. Untuk menikmati menu-menu di atas, saya mesti menunggu ada teman yang ulang tahun.
Sambil melahap menu itu, tentu saya berkisah tentang masa lalu saya waktu awal kuliah di Yogya dengan agak dramatis. Seolah paling menderita. Padahal kalau mau jujur, saya ini tidak terlalu menderita amat. Biasa saja. Memang ada banyak mahasiswa yang mendapatkan kiriman uang lebih banyak dibanding saya, tapi ada juga yang lebih sedikit. Banyak teman saya yang masih harus memasak makanan sendiri. Saya juga memasak makanan sendiri, tapi masak mi instan. Sedangkan beberapa teman saya memang benar-benar memasak. Menanak nasi, bikin sambal, menggoreng tempe.
Ketika saya sudah mulai punya uang sendiri dari hasil menulis, rasanya saya bisa makan setiap hari di warung-warung makan tersebut, tapi ternyata selera saya berubah. Dalam hal itu, mungkin saya tidak sendirian. Anda mungkin mengalami juga. Ketika uang dan pengalaman menebal, selera berubah. Saya pernah membaca sebuah esai yang bagus sekali tentang hal seperti ini, dan kalau saya tidak luput, tulisan itu dibuat oleh Andy F. Noya. Kalau tidak salah, dia menulis bagaimana enaknya salah satu kuliner di dekat kampusnya, namun ketika dia sudah punya uang, makanan itu tidak lagi enak. Dia menutup dengan pertanyaan klasik: apakah dirinya yang berubah, atau makanan itu yang sudah berubah. Dia menduga, juga saya, mungkin juga Anda, bahwa kitalah yang berubah.
Dulu rasanya nyaman sekali jika menjamu teman dengan gorengan dan kopi bubuk terenak yang bisa saya beli dari luar kota, dengan ditemani sebungkus rokok. Rasanya, kami bisa menguliti semua persoalan dunia. Tapi untuk mendapatkan kenyamanan yang sama, sekarang ini mesti kami datang ke sebuah kafe, memesan minuman yang “berkualitas”, cemilan yang enak, dan ngobrol dengan asyik. Kira-kira gambaran mudahnya seperti itu. Atau misalnya, saya dulu suka sekali dengan depot bakso di kampung saya, yang rasanya waktu itu saya berpikir jika saya punya uang banyak, hal pertama yang saya lakukan adalah makan bakso itu setiap malam. Begitu saya punya cukup uang untuk makan bakso terus, ternyata saya memilih tidak. Bakso itu sudah tidak seenak yang saya bayangkan dulu. Saya yakin, resep baksonya masih sama, selera saya saja yang berubah.
Begitulah, di depan anak dan istri saya, sambil menikmati menu-menu “masa lalu” saya, saya mendramatisir kenangan saya di depan anak dan istri saya. Saya bersyukur, sesekali mereka tertarik mendengarkan, sesekali tidak.
Tapi setidaknya, sekalipun itu hal yang remeh dan mungkin menyebalkan, makanan jadi punya dimensi lain. Kita tahu bahwa makanan bisa sangat fungsional dan pragmatis. Kita lapar, butuh makanan, tak punya banyak pilihan. Makan. Kenyang. Selesai. Makanan juga terkadang punya fungsi sosial. Hajatan, gotong-royong, bagaimana memproduksi bahan makanan, dan hal semacam itu, bisa kita kelompokkan menjadi tema “makanan dan jejaring sosialnya”. Makanan juga bisa berfungsi spiritual. Ketika kita menanam makanan itu sendiri, memetiknya, lalu mengolahnya. Atau di saat kita begitu kelaparan kemudian ada orang yang menawari kita makan, mendadak kita bisa terhubung begitu dekat dengan pertolongan Tuhan.
Hanya saja yang sekarang ini marak disajikan di televisi maupun saluran YouTube misalnya, makanan sebagai makanan itu sendiri. Atau dari sisi teknis estetis pengolahan makanan. Makanan dilihat dari sekadar menarik untuk dimakan, dicandra rasanya, dilihat bentuknya, dinikmati, selesai. Ia, makanan, berakhir pada: enak dilihat, enak dinikmati. Titik.
Jadi ketika saya agak melebih-lebihkan masa lalu saya, atau pura-pura tertarik dengan kisah penderitaan bapak saya agar bisa makan, setidaknya ada sesuatu yang mencoba dilekatkan pada makanan. Entah itu pertautan psikologis atau pertautannya dengan kenangan. Sebab kalau makanan melulu dilihat dari bentuknya, bahannya, cara penyajian, lalu lezat tidaknya, saya termasuk orang yang berpendirian bahwa itu semua hanya sementara. Temporer. Enak sekarang belum tentu enak untuk besok. Dan menjauh dari kemampuan manusia untuk memberi makna pada benda-benda, meniupkan kisah pada sesuatu yang tampak biasa, dan itulah manusia. Makhluk yang punya cerita, dan mencoba memberi makna.
BACA JUGA Mudik, Makan, Memori: Euforia Kuliner dan Paradoks-Paradoksnya dan esai-esai Puthut EA lainnya.