Pertanyaan di atas sempat dilontarkan oleh seorang mantan aktivis ‘98. Pertanyaan semacam ini sebetulnya sudah menyeruak sebulan ini, ketika suara-suara golput makin membesar. Saya tertarik untuk membahasnya.
Pertanyaan itu tidak langsung bisa dijawab tanpa mencoba mencari tahu: apa watak atau karakter golput di tahun 2019? Sama atau berbeda mereka dengan golput di era sebelumnya—dalam konteks pasca-Reformasi?
Secara teoritis, setiap petahana punya keuntungan dan kekurangan dalam ranah dukungan politik.
Keuntungannya banyak, saya contohkan satu saja: menguasai semua peranti kekuasaan untuk bisa mengendalikan dukungan politik.
Dan kekurangannya: pasti akan ada barisan kecewa. Setiap petahana yang bertanding lagi, selalu menyisakan dua musuh baru. Pertama, mereka yang tidak terakomodasi secara ekonomi. Kedua, mereka yang tidak terakomodasi secara politik.
Mereka yang tidak terakomodasi secara ekonomi, biasanya terkait soal bisnis. Apakah bisnis mereka makin sulit, tidak dapat cantolan ke kekuasaan, tersingkir oleh pebisnis lain yang diakomodasi oleh kekuasaan, dll.
Sedangkan mereka yang tidak diakomodasi secara politik, adalah kelompok yang “menitipkan” agenda-agenda politik mereka kepada petahana di pemilu sebelumnya. Agenda lazimnya terkait soal: HAM, korupsi, lingkungan, budaya, dll.
Dari dua kelompok besar itu, yang paling berbahaya bagi petahana adalah kelompok kedua. Karena sebagian besar mereka bukan hanya melek politik melainkan juga punya kapasitas politik (wawasan, otoritas, intervensi sosial, dll), bahkan memiliki peranti politik (organisasi, komunitas, pergaulan sosial, dll).
Golput yang akhir-akhir ini diperbincangkan banyak orang utamanya di media sosial, adalah golongan kedua. Dan golongan ini mendapatkan tambahan energi baru yang tak kalah kuatnya. Siapakah mereka?
Sebelum masuk ke sana, kita perlu mencermati fenomena ganjil di pemilu kali ini. Dari empat pilpres langsung, 3 sudah digelar dan 1 baru akan dilaksanakan, hanya di pemilu ini yang makin mendekat hari H justru undecided voters justru makin bertambah.
Secara teoritis, di pemilu mana pun, makin mendekati pelaksanaan hajatan, undecided voters mestinya makin mengecil. Hal itu seiring dengan makin yakin dan menguatnya preferensi politik hasil dari durasi kampanye. Tapi kali ini tidak.
Lalu kira-kira apa sebabnya?
Sebabnya tentu banyak yang tahu, karena hal ini sudah banyak dinyatakan oleh para pengamat politik: isu dalam pilpres kali ini tidak produktif, dan cenderung menghina kewarasan serta akal sehat.
Kelompok ini yang makin membesar, punya potensi besar pula untuk makin bergabung dalam golput. Sebab begitu sampai batas waktu dan psikologis tertentu, para undecided voters ini memutuskan memilih untuk tidak memilih.
Tambahan yang lain adalah dari pihak pendukung petahana yang sudah memutuskan mendukung lagi petahana, namun kecewa dengan berbagai manuver petahana. Termutakhir yang mudah dijadikan contoh adalah kebijakan Jokowi membebaskan Abu Bakar Baasyir.
Ini bukan soal kebijakan benar atau salah. Tapi bahwa kebijakan ini ternyata mendulang risiko 1-2 persen pendukung petahana memutuskan untuk golput.
Jadi, kekuatan golput makin membesar dan kuat karena tiga kelompok itu: agenda politik mereka tidak diakomodasi oleh petahana selama memerintah; kecewa dengan dinamika pilpres yang tidak produktif; dan kecewa dengan manuver petahana.
Beberapa lembaga sedang mensurvei berapa peningkatan golput. Saya sendiri memperkirakan dari angka golput yang rerata 25-30 persen, mengalami lompatan 5 persen per akhir Januari ini. Dan bisa jadi sampai April makin bertambah. Apalagi jika mereka dilawan.
Sebab karakter golput ini sebetulnya, awalnya, tidak aktif. Tapi kalau mereka dipersalahkan, didesak, dipojokkan, maka semua instrumen politik mereka akan dipasang, dan memukul balik para penyerangnya. Itulah yang tidak dipahami para relawan dan politikus.
Sekarang saatnya menjawab, kenapa hanya kubu petahana saja yang memojokkan dan menyerang golput?
Jelas, irisan terbesar mereka mestinya ada pada klaster petahana. Makanya para relawan dan politikusnya memojokkan mereka. Sebab yang tergembosi adalah kubu petahana.
Kubu sebelah lebih rileks memandang hal ini, bisa jadi karena mereka tahu bahwa kue golput ini dipotong di petahana, atau mereka punya pandangan pragmatis: tidak kuat menahan gempuran golput jika diserang.
Artinya, ada dua musuh yang harus mereka hadapi. Barisan pendukung petahana dan golput. Tentu ini berat bagi kubu sebelah.
Saya akan menambah bobot politik dari persoalan golput ini. Benarkah aksi golput tidak ada gunanya?
Itu pandangan yang keliru besar. Saya mau mengingatkan ilmu dasar politik: politik bukan melulu persoalan elektoral. Dalam konteks elektoral, tentu golput bisa sangat merugikan petahana, terlebih jika pendukungnya gagal memahami karakter golput dan terus menyerang serta memojokkan mereka.
Politik itu dimensinya luas. Ada banyak isu yang terus bisa dikawal, siapa pun yang memenangi pemilu. Karena pengalaman elektoral menyatakan bahwa tidak mungkin memasrahkan agenda-agenda strategis kepada siapapun selain diri dan organisasi serta masyarakat yang terlibat di masing-masing isu.
Artinya, justru dalam proses ini akan memunculkan dinamika politik baru yang menarik dan dinamis. Politik yang bukan hanya soal coblos-mencoblos. Politik yang ingin memastikan agenda politik berbagai kelompok bisa dikawal dan didesakkan kepada siapapun yang kelak memenangi pilpres.