Bagi banyak orang, berdebat dengan orang goblok itu mengesalkan. Kadang saya juga merasa begitu. Sebab otak mereka seringkali di bawah rata-rata, dan niat berdebatnya bukan untuk mencari kebenaran.
Tapi kadang saya juga menikmati. Seperti yang terjadi baru-baru ini ketika Mojok berususan soal hak cipta. Orang yang membuat masalah dengan Mojok saja sudah menyatakan bersalah. Tapi nyamuk-nyamuk tunakarya masih berdengung terus. Justru ketika berdengung, banyak orang yang makin terganggu. Terutama orang-orang yang punya niat baik.
Salah satu pendebat norak mesti bungkam ketika dengan serampangan menyebut nama sebuah blog ternama yang dibilang juga sering mengkloning situsweb lain. Si pemilik blog langsung hadir. Perdebatan berhenti. Si pencatut nama tak berani keluar. Padahal tampangnya kayak preman pasar.
Ada juga yang berdebat tanpa arah. Pokoknya menggebu-gebu. Makin menggebu, makin memperlihatkan ketololannya. Padahal di akun Facebooknya, terlihat seperti kolektor buku.
Seperti biasa, kekeliruannya adalah sesat pikir. Maklum, untuk urusan begini, vitamin otaknya tidak beres. Ini mirip seperti orang yang berpikir bahwa pemerkosaan terjadi karena kesalahan orang yang diperkosa. Atau adanya pencurian terjadi karena pintu rumah yang dicuri, tidak digembok dengan kuat. Padahal ya yang salah malingnya. Tapi diubah menjadi seolah-olah analisis yang ‘ngintelektual’ bahwa itu kesalahan korban.
Kalau menghadapi orang seperti itu, begitu dibantah pasti berbelok ke arah lain. Karena sejak awal, tidak ada niat yang beres di otaknya.
Dan perdebatan kemudian menjadi tidak mutu. Eh, bukan perdebatan sih, lha wong memang niatnya tidak berdebat.
Paling enteng kemudian dipakai guyonan. Beberapa teman saya kemudian menjapri. Seru sih…
“Bro, ternyata orangnya juga punya blog. Tapi ya blog copasan dalam bentuk lain.”
“Sudah ketaker…” jawab saya tenang. “Tur mesthi elek…”
Satu teman lagi bilang, “Kuwi bocah Rembang lho, Bro.”
Saya juga menanggapi enteng, “Lha mbok anggep nek cah Rembang ora ana sing goblok pa? Ya kuwi contone…”
Tapi ada juga yang lebih asyik. “Bung, rupane wae kaya kecu kok mbok tanggapi?”
Saya tertawa. “Mosok? Nek rumangsaku kok kaya pensiunan copet ya?”
Seorang penulis Mojok yang brilian juga mengontak saya. “Kayaknya orang itu kok mungkin punya dendam pribadi dengan Mojok ya, Mas?”
“Ya,” jawab saya, “Mungkin ngirim naskah berkali-kali enggak dimuat.”
Pesan berlanjut. Seorang bloger njapri saya. “Mas Bro, kayaknya orang itu punya problem eksistensialis. Mau bikin kayak Mojok tapi gak bisa.”
“Ya problemnya bisa eksistensialis berlapis. Merasa gagal dalam berkarya, merasa periuknya terganggu, atau memang ada kecenderungan hanya semata supaya suaranya terdengar. Kalau bahasa anak sekarang: caper.”
Tapi apapun itu, berdebat dengan orang goblok, apalagi yang menggebu, tak usah diambil pusing. Dibikin gampang saja. Lebih dari itu, harus bisa mendapatkan hiburan dari sana. Plus bonus. Misalnya, paling tidak, jadi tulisan ini.
“Cah bosok kok mbok urusi, Mas…” komentar teman saya. “Eman-eman energimu…”
“Iki aku pas sela kok, Dik. Sesekali nyedekahi fakir pikir kan gak apa-apa… Siapa tahu itu juga bentuk sedekah. Sambil sesekali mencoba merenung dan mensyukuri hidup ini. Bersyukur, karena tidak goblok seperti dia. Sudah goblok, ngeyelan, tapi masih pede bisa cari makan dari kegoblokannya.”
Teman saya tertawa ngakak.