Tafsir Tunggal Bela Palestina dan Undangan Gus Yahya Staquf dari Israel - Mojok.co
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Ziarah
    • Seni
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Home
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Uneg-uneg
  • Terminal
Beranda Esai

Tafsir Tunggal Bela Palestina dan Undangan Gus Yahya Staquf dari Israel

Miftakhur Risal oleh Miftakhur Risal
10 Juni 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Rencana kuliah umum di Israel oleh KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terpaksa dibatalkan setelah beragam kritik mengalir deras. Memangnya mendukung kemerdekaan Palestina itu caranya cuma harus gontok-gontokan dengan Israel saja?

Musim panas (sekali) 2008 di Tripoli, saya punya kesempatan ikut dengar “uneg-uneg” dari mahasiswa senior asal Suriah. Sebut saja namanya Abdullah. Ia cerita panjang lebar soal Palestina. Dengan amat menggebu-gebu, mirip Moammar Qadafi kalau lagi bahas revolusi. Memang ia cukup lama mengikuti konflik Israel-Palestina, ya maklum, waktu itu Suriah belum babak belur, hingga fokusnya ke Palestina masih bisa total.

Dari ceritanya, saya bisa simpulkan kalau doi sebenarnya cuma fans garis kerasnya Hamas, bukan fans Palestina. Pasalnya, doi tak hanya serang Israel dalam argumennya, tapi juga “pemilik” Palestina lainnya, yaitu Fatah. Setiap langkah yang diambil Fatah untuk Palestina, ia kritisi. Sebaliknya, segala hal yang dilakukan Hamas, ia dukung.  Fatah ia anggap sebagai musuh dalam selimut; bantuan-bantuan luar negeri mereka dapat banyak, tapi cuma berani pakai cara-cara pengecut, beraninya kok di meja perundingan diplomasi.

Untuk diketahui pembaca Mojok yang budiman, Fatah dan Hamas adalah dua faksi di Palestina dengan corak perjuangan yang berbeda. Fatah memang identik dengan meja-meja perundingan. Tokoh-tokohnya sibuk keliling dunia cari dukungan diplomatis. Sekilas, mereka kelihatan cuma jalan-jalan saja ke mana-mana, enggak mau ikut berdarah-darah ikut angkat senjata.

Sedangkan faksi Hamas lebih identik dengan intifada, AK-47, dan perjuangan yang berdarah-darah. Singkatnya kalau Hamas adalah Hulk, maka Fatah adalah Black Widow-nya. Tentu saja di Palestina tidak cuma ada dua faksi itu, masih ada faksi lain, termasuk faksi komunis Palestina, tapi harus diakui pengaruhnya tak sebesar Hamas dan Fatah.

Waktu mendengar penjelasan kawan saya, saya cuma membatin—bukan karena tidak berani bersuara, tapi karena kemampuan bahasa Arab saya baru sampai level bisa survive di pasar, belum sampai level debat. “Ealah, mosok ya wajah faksi Palestina harus Hamas thok?”

Baca Juga:

Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU / satu abad yang Gini-gini Aja MOJOK.CO

Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU yang Gini-gini Aja

28 Januari 2023
Sejarah Indonesia 100 Tahun Lalu: Dari Pembuangan Tan Malaka hingga Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan Sarekat Islam

Sejarah Indonesia 100 Tahun Lalu: Dari Pembuangan Tan Malaka hingga Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan Sarekat Islam

2 Januari 2023

Saya yakin yang punya pandangan seperti Abdullah, teman saya ini, sangat banyak di bumi Indonesia tercinta. Orang-orang yang alam pikirannya dalam soal Palestina amat hitam-putih. Kalau enggak berani melawan Israel dengan face to face, ya mending ke laut aja.

Nah itulah yang bikin kabar mengenai Kyai Yahya Cholil Staquf (Katib ‘Am PBNU) diundang untuk menghadiri kuliah umum dari The Israel Council on Foreign Relations, sebuah lembaga independen Israel, begitu ramai di media sosial.

Gus Yahya, biasa disapa begitu, didaulat untuk mengisi kuliah umum dengan tema besar “Pergeseran dari Konflik ke Kerja Sama” . Kabar itu pertama kali diterima publik dari jurnalis Israel Simon Arann melalui akun Twiternya dan sontak jadi pergunjingan umat muslim di Indonesia.

Sekilas dari tema tersebut, kita tahu bahwa gagasan yang diusung cukup bagus. “Apa iya enggak capek konflik terus? Ayo guyub rukun disengkuyung bareng!” Kira-kira begitu gagasan panitia yang Yahudi itu. Hm, baik juga bukan?

Tapi ya begitulah, sangat disayangkan Gus Yahya memilih untuk membatalkan kuliah umum tersebut, meski tetap akan berangkat ke Israel untuk menemui beberapa tokoh di sana. Namun yang jelas riuh-rendah suara menentang sudah mulai terdeteksi. Rata-rata tekanan yang ada adalah upaya agar Gus Yahya membatalkan kuliah umum ini.

Gus Yahya sendiri jelas merupakan sosok yang sangat dihormati bagi kalangan Nahdliyyin. Beliau menduduki posisi Syuriah, tepatnya Katib ‘Am. Seseorang di posisi itu bukan main-main karena sudah di-“kiai”-i kan secara kultural jauh sebelum menjadi NU struktural. Tapi pembatalan kuliah umum, jujur, sedikit mengejutkan saya. Meski di sisi lain tetap harus disyukuri bahwa Gus Yahya tidak membatalkan kedatangannya ke Israel untuk silaturahmi. Berbicara di forum internasional di bidang perdamaian juga bukan yang pertama bagi beliau, jadi saya yakin Gus Yahya ya enggak gagap-gagap amat-lah di depan tokoh-tokoh Israel.

Hal semacam ini sebenarnya jadi sinyal mengkhawatirkan karena segala upaya untuk mendukung Palestina harus sesuai dengan tafsiran tunggal. Upaya-upaya di luar tafsir tunggal itu pun harus siap dicap menyakiti rakyat Palestina—versi perspektif masyarakat muslim Indonesia.

Memangnya apa sih bentuk monopoli tafsir tunggal tersebut? Antara lain Palestina harus merdeka, Israel harus diusir. Dukung Palestina harus yang berani seperti Hamas, bukan dengan cara pengecut seperti Fatah. Maka tidak cukup ada kedubes Palestina di Indonesia. Kalau bisa bikin juga “kedubes” Hamas yang berani itu. Waw, semangat yang luwar biyasa.

Padahal kalau diperhatikan lebih jauh, Hamas sendiri kadang menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Terowongan yang menghubungkan perbatasan Mesir dan Jalur Gaza, dikomersilkan oleh salah satu elite Hamas, Abu Ibrahim. Anda bisa membaca sendiri laporan dari Spiegel Online, sebuah media di Jerman. Belum lagi laporan Forbes yang menyebut Hamas sebagai salah satu organisasi (Forbes menyebutnya cukup keras; teroris) terkaya dengan pendapatan 13 triliun tiap tahun. Gile~

Meski begitu, bukan berarti faksi Fatah lalu otomatis jadi benar-benar bersih lho ya? Tapi singkatnya begini, Akhi. Dukungan hanya pada Hamas, termasuk melalui donasi, telah lahirkan kekuatan bersenjata yang powerfull di negara konflik. Apa itu baik-baik saja?  Dari kacamata upaya perdamaian, ya jelas ini ramashook! Parahnya, di saat bersamaan, upaya-upaya diplomasi yang dilakukan faksi lain masih saja dipandang sebagai solusi lemah yang tak membawa perubahan.

Padahal kita sebagai bangsa, pernah punya pengalaman yang sama dengan Palestina sebagai negeri yang terjajah. Ada yang mati-matian di medan tempur seperti Diponegoro—iya betul, ada yang seperti Pattimura di garis depan—iya betul, serta banyak lagi nama-nama lain yang mengorbankan nyawa di medan tempur. Tapi jangan lupa, kita juga punya Sutan Syahrir, Oerip Soemarmo, Mohamad Roem, hingga Bung Karno yang tidak pernah angkat senjata. Mereka ini adalah sosok yang piawai berjuang lewat jalur dialog dan diplomasi. Dan kita bisa melihat sendiri juga kan hasilnya sekarang?

Persoalan dari ketidaksepakatan terhadap undangan kuliah umum Gus Yahya di Israel adalah munculnya nuansa monopoli mengenai “cara” membela Palestina yang benar. Bentuk monopoli tafsir bela Palestina ini semacam menarasikan bahwa mendukung Palestina itu berarti tak boleh dekat-dekat dengan Israel. Apapun yang berdekatan dengan Negara Yahudi itu berarti indikasi bahwa yang bersangkutan tidak benar-benar membela Palestina.

Lha kalau berdekat-dekatan ini niatnya diskusi aja gimana? Ya, enggak boleh. Kalau dengan warga Yahudi non-Pemerintah Israel? Ya pokoknya enggak boleh. Kalau di dialog itu justru lahir solusi untuk mempertegas posisi pro-Palestina? Ya, pokoknya jangan.

Maka tak heran jika Gus Yahya (saya masih khusnuzon) “terpaksa” membatalkan kuliah umum tersebut. Tekanan yang diterima beliau mengingatkan saya dengan tekanan yang diterima Gus Dur ketika masih jadi Presiden, yang saat itu tanpa tedeng aling-aling membuka hubungan bilateral pertama antara Indonesia dengan Israel.

Padahal kalau kita mau sedikit melihat di luar sana, banyak kok pihak-pihak yang mengupayakan penyelesaian konflik Israel-Palestina dengan tidak melulu melihat situasinya serba hitam-putih semacam ini. Almarhum Qadafi misalnya, mengusulkan negara “Isratine” (gabungan Israel dan Palestine). Sedangkan negara-negara lain umumnya usulkan solusi dua negara.

Banyak juga negara Islam pro-Palestina merdeka yang juga tetap jalin hubungan dengan Israel dengan pelbagai dinamikanya. Turki dan Saudi, contohnya. Lalu apakah kedua negara tersebut bisa dianggap menyakiti hati umat muslim sedunia karena dekat juga dengan Israel? Enggak juga tuh.

Dari hal tersebut kita bisa berkaca, ada ragam cara untuk tuntaskan konflik panjang itu. Gus Yahya Cholil Staquf memang membatalkan kuliah umumnya, tapi tetap berniat untuk menyambung dialog dengan Israel. Apakah hasilnya nanti signifikan atau tidak, itu lain soal. Toh, ada banyak cara menuju Roma. Ada banyak cara selesaikan konflik Israel-Palestina.

Sebagai penutup, saya ingin memberi pesan sederhana. Akhi, studi perdamaian itu bukan eksakta. Ia bisa dikaji dengan ragam pendekatan. Langkah-langkah menuju damai juga beragam. Satu pendekatan yang tak antum setujui, tak berarti juga bakalan menyakiti warga Palestina. Lagian, sejak kapan antum berhak mewakili Palestina?

Terakhir diperbarui pada 31 Mei 2021 oleh

Tags: diponegoroIndonesiaIsraellibyaNahdlatul Ulamanupalestinapbnusutanyahya cholil staqufyahya staquf
Miftakhur Risal

Miftakhur Risal

Alumni Islamic Call College Tripoli, Libya. Tinggal di Bantul.

Artikel Terkait

Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU / satu abad yang Gini-gini Aja MOJOK.CO
Esai

Suara Kader Muda NU untuk 100 Tahun NU yang Gini-gini Aja

28 Januari 2023
Sejarah Indonesia 100 Tahun Lalu: Dari Pembuangan Tan Malaka hingga Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan Sarekat Islam
Esai

Sejarah Indonesia 100 Tahun Lalu: Dari Pembuangan Tan Malaka hingga Keluarnya Muhammadiyah dari Barisan Sarekat Islam

2 Januari 2023
Nyi Ageng Serang, Perempuan Sakti di Perang Jawa
Ziarah

Nyi Ageng Serang, Perempuan Sakti Pembela Perang Jawa

28 Oktober 2022
pulau pasir mojok.co
Luar Negeri

Polemik Pulau Pasir di NTT yang Jadi Milik Australia

26 Oktober 2022
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Xiaomi Mi 8: Mengintip Spek Ponsel dengan Skor AnTuTu Tertinggi Saat Ini

5 Jenis Mukena Terbaik untuk Salat Id Para Wanita

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

Xiaomi Mi 8: Mengintip Spek Ponsel dengan Skor AnTuTu Tertinggi Saat Ini

Tafsir Tunggal Bela Palestina dan Undangan Gus Yahya Staquf dari Israel

10 Juni 2018
Surat Cinta untuk Warga Solo: Jangan Ulangi Problem Pariwisata Jogja MOJOK.CO

Surat Cinta untuk Warga Solo: Jangan Ulangi Problem Pariwisata Jogja

4 Februari 2023
Blak-blakan Reno Candra Sangaji, Lurah 1.000 Baliho yang Sempat Bikin Geger Jogja. MOJOK.CO

Blak-blakan Reno Candra Sangaji, Lurah 1.000 Baliho yang Sempat Bikin Geger Jogja

4 Februari 2023
bisnis raffi ahmad mojok.co

Nama-nama Penting di Balik Gurita Bisnis Raffi Ahmad

30 Januari 2023
jd.id tutup mojok.co

JD.ID Tutup, Lalu Bagaimana Nasib Pegawai dan Aset Penggunanya?

31 Januari 2023
Mencoba Lawson yang Baru Buka: Oden Enak yang Harganya Nggak Enak Buat UMR Jogja MOJOK.CO

Mencoba Lawson yang Baru Buka: Oden Enak yang Harganya Nggak Enak Buat UMR Jogja

29 Januari 2023
Cerita Orang-orang yang Memasang Pelor di Penis Mereka MOJOK.CO

Cerita Orang-orang yang Memasang Pelor di Penis Mereka

30 Januari 2023

Terbaru

Analisis Buruknya Crowd Management Konser Dewa 19 di JIS MOJOK.CO

Analisis Buruknya Crowd Management Konser Dewa 19 di JIS

6 Februari 2023
maria ulfah

Mengenal Maria Ulfah (Bagian I): Perjuangkan Hak Pilih Perempuan Indonesia

5 Februari 2023
Warga Poteran Sumenep butuh jembatan. MOJOK.CO

Keluh Kesah Warga Pulau Poteran Sumenep: Nggak Punya Jembatan, Tarif Tongkang Naik

5 Februari 2023
keterwakilan perempuan

Strategi Zigzag Kerek Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Kok Bisa? 

5 Februari 2023
sisa makanan mojok.co

Mangkel Sama Orang yang Nyisain Makanan di Warung Nasi Padang

5 Februari 2023
fans manchester united mojok.co

Menjadi Orang Penyabar dalam Sudut Pandang Fans Manchester United

5 Februari 2023
lapor spt mojok.co

Apa yang Terjadi Kalau Kita Nggak Lapor SPT? Ini Penjelasan Sanksinya

5 Februari 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Susul
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Pameran
    • Panggung
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Podium
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Kunjungi Terminal
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In