MOJOK.CO – Orang itu macam-macam kepribadiannya, termasuk juga dengan macam-macam cara orang minta jatah untuk Lebaran.
Sekira dua tahun lalu, ada seorang tokoh muda yang (sok) radikal menyerang saya dan Mojok melalui media sosial. Saya hanya diam saja. Bukan karena bijak, tapi karena saking jijiknya.
Pasalnya sederhana. Dia yang kebetulan mengelola sebuah situsweb bersama beberapa orang temannya itu pernah meminta bantuan saya lewat dua orang sahabat. Permintaannya sebetulnya mulia, hanya saja tidak tepat. Saya diminta untuk mencarikan pembiayaan buat situswebnya.
Sebagai orang yang mengelola Mojok saja, saya sendiri juga kerap menghadapi kendala finansial waktu itu, tentu saja permintaan tersebut tidak bisa saya penuhi. Dan saya jawab baik-baik lewat kedua sahabat saya itu, karena saya memang tak kenal yang bersangkutan. Hanya kenal nama dan membaca beberapa kali tulisannya di media sosial.
Eh, kurang dari dua bulan semenjak kejadian itu, mendadak orang ini seperti kesetanan menyerang Mojok dan saya. Saya ingat persis hal itu, karena dilakukan pada bulan puasa seperti ini.
Banyak orang bertanya kepada saya kenapa saya tidak membalas. Jujur saja waktu itu saya tidak mengerti bagaimana menjelaskannya. Saya tidak kenal, dia habis minta bantuan saya, dan tidak ada hujan atau angin tiba-tiba menyerang Mojok dan saya. Terlebih, dia membungkus diri dengan cap aktivis. Jujur saja, saya jadi jijik.
Bahkan sampai dua sahabat saya, satu dari Bandung dan satu dari Kudus, akhirnya sampai datang ke Yogya sambil meminta maaf kepada saya karena sempat menyampaikan permintaan bantuan, yang menurut mereka, kadar orang itu sudah sampai taraf: sakit jiwa. Saya hanya tertawa saja. Ya memang hidup ini beginilah. Macam-macam saja kejadiannya. Aneh-aneh.
Tapi harus diakui, dari peristiwa itu pengalaman saya jadi bertambah. Ada orang yang di media sosial tampak sangat alim, intelektual, kritis, tapi punya bakat sakit jiwa. Ya, tentu saja karena media sosial selalu bisa membungkus orang dengan aneka macam topeng. Makanya tak heran pula jika banyak penipuan mudah terjadi melalui media sosial.
Saya mengingat kembali kejadian tersebut, karena hari ini mendadak seorang teman curhat. Di ceritanya, ada temannya yang tak pernah datang saat dia sakit, tak pernah bersilaturahmi, lalu beberapa hari ini kasih jempol dan komentar di Facebooknya, dan tiba-tiba bilang, “Bos, bentar lagi Lebaran, mana THR-nya nih?”
Teman saya ini orang baik. Dia tidak sembarangan curhat. Mungkin saking baiknya, dia tidak pernah bisa mengerti kenapa ada orang yang punya kelakuan seperti itu.
Saya yang lebih paham akan polah manusia, karena banyak gaul dan berhubungan dengan banyak tipe orang, tertawa ngakak. “Sudah gitu saja kamu pikir. Kalau kamu punya uang kasih. Kalau tidak, ya enggak usah. Itu hal biasa menjelang Lebaran gini…”
“Ini bukan soal aku punya uang atau tidak. Ini soal aku tidak tahu bagaimana bisa ada orang yang punya kelakuan kayak gitu…” jawabnya dengan nada terheran-heran. Begitulah kalau hidupnya terlalu lurus-lurus saja. Gumunan.
“Kayak gitu itu masih biasa. Coba biasakan menerima hal aneh begituan dalam hidup ini. Dunia ini lengkap dengan keganjilan dan keanehan. Kamu tak perlu berlebihan…”
Setelah itu, saya beri dia beberapa hal yang biasa dilakukan orang untuk tiba-tiba meminta jatah uang Lebaran sekalipun tak akrab benar.
Pertama, mirip yang dilakukan temannya. Tiba-tiba kerap nongol di media sosial memberi respons. Lalu mengirim pesan yang isinya langsung, dalam bahasa Tukul: “tunjebpoin”.
Kedua, biasanya menyapa lewat inboks atau pesan pendek, lalu mengabarkan dirinya sedang dalam kekacauan ekonomi. Curhatlah. Masalahnya adalah kenapa curhatnya sama kita, orang yang tak begitu dekat dengan dia. Tentu saja karena memang itu hanya pengantar saja sebelum meminta uang untuk Lebaran.
Ketiga, dia akan pamer status sedang menderita di media sosial. Baik direspons atau tidak, itu sudah dianggap cukup sebagai prolog meminta: “Kamu kan tahu kalau aku habis tertipu, seperti yang kuceritakan di Facebook…” dan tahu sendiri terusannya.
Keempat, tiba-tiba dia memuji-muji kita. Bahkan terkesan berlebihan. “Hanya kamu lho, temanku yang sukses tapi rendah hati…” atau “Aku lihat ide-idemu itu brilian, kamu sangat cerdas…” dan yak, seterusnya akan mengarah ke hal seperti yang bisa kita duga.
Ketika diminta saran oleh teman saya, apakah baiknya dia memberi uang atau tidak, saya bingung. Kalau diberi, sebetulnya itu mengkhianati hati nurani. Karena bagi banyak orang, itu hal yang menjengkelkan. Dan pola seperti itu bisa berulang. Tapi kalau tidak diberi, kadang pikiran pragmatis yang bekerja: ah daripada bikin ribet dan repot dijapri terus-menerus.
Saya tak bisa memberi saran apa-apa. Itu tergantung kepribadian kita juga. Kalau saya sih biasanya tidak saya jawab. Atau kadang saya kasih pas memang punya uang berlebih, hanya saja tak perlu banyak-banyak. Cukuplah untuk membeli seekor ayam dan beberapa bungkus rokok di saat Lebaran. Sebab persoalannya kan memang orang macam itu menjengkelkan, tapi bisa jadi dia memang sedang kesulitan.
Kecuali kalau kayak pembukaan cerita di atas. Selain saya gak kenal, masa diminta membiayai situswebnya. Ya tak mungkin saya kasih. Tapi untung juga tidak saya kasih. Kalau saya kasih, sampai sekarang mungkin saya tak tahu kalau dia punya kepribadian yang menjijikkan seperti itu.