Sudah beberapa hari ini, kita disuguhi berita, bagaimana para pemudik yang mayoritas naik sepeda motor, melakukan aksi menerobos jalan yang dijaga petugas. Ada apa di balik aksi tersebut?
Sebetulnya apa yang dilakukan oleh para pemudik sudah bisa diperkirakan oleh banyak orang, termasuk oleh petugas. Pertama, banyak orang tidak mudik tahun lalu. Kalau tahun ini masih tidak mudik, itu artinya rata-rata mereka tidak mudik selama dua tahun. Waktu yang cukup lama buat warga negara kita, yang punya ciri khas keterikatan dengan keluarga dan kampung halaman yang kuat.
Kedua, mereka kecewa karena aturan dilarang mudik dianggap plin-plan. Mencla-mencle. Tidak komprehensif dan merasa kebijakan tersebut tidak berpihak pada mereka. Mal dibuka dan padat pengunjung. Tempat pariwisata dibuka. Bahkan banyak warga yang diwawancara media, yang sampai pada kesimpulan: warga negara asing saja boleh masuk, kenapa warga negara sendiri tidak boleh masuk?
Sekarang akses publik terhadap sumber berita, sudah makin meluas. Begitu mereka mengonsumsi satu berita yang dipikir tidak sesuai dengan apa yang mereka alami, tentulah timbul perasaan terzalimi. Akumulasi dari itu semua itulah yang membuat setiap hari puluhan ribu pemudik nekat melakukan pembangkangan di jalanan. Itu yang terdata lewat berita-berita. Tentu banyak lagi pemudik yang lolos lewat berbagai jalan tikus.
Menariknya, dukungan mudik datang dari warga yang tidak mudik. Di jalanan Bekasi, ratusan warga yang tidak mudik menyemangati warga yang hendak mudik. Saat ditanya wartawan, mereka menjawab kira-kira begini: Kasihan, sudah dua tahun tidak bertemu keluarga, masak mau bertemu keluarga sebentar saja tidak boleh.
Warga nonpemudik itu pula yang kerap memberikan bantuan kepada para pemudik untuk untuk melewati jalan tikus utamanya di wilayah mereka sendiri. Mereka ada di jalan-jalan, mengarahkan warga yang dipaksa putar balik untuk melewati jalan-jalan tertentu yang tidak dijaga petugas atau dijaga petugas namun sangat longgar.
Banyak pula yang menyediakan tempat persinggahan bagi para pemudik untuk menunggu jam-jam tertentu ketika penyekatan sudah dilonggarkan. Warga membantu warga.
Di lapangan, saya mendapati, banyak petugas, terutama yang saya temui di jalan-jalan kecil, memaparkan bahwa mereka mengalami kesulitan untuk menghalau pemudik. “Masak sih, Pak, kami suruh mereka pulang. Sudah ratusan kilometer mereka lolos, kan tidak masuk akal jika kami suruh balik.” Begitu ungkap salah satu petugas di jalur tikus seputar pantura.
Petugas lain bahkan dengan jujur mengakui, mereka bilang, “Saya suruh balik dulu, tapi saya beritahu pos ini akan longgar setelah jam 20.00 malam. Masak rumah mereka tinggal beberapa puluh kilometer, saya suruh balik.”
Di beberapa pos pemeriksaan, saya melihat pemeriksaan hanya sekadar formalitas. Petugas berada di pinggir jalan, tapi ya hanya di pinggir jalan. Tidak memeriksa pengendara sama sekali. Atau sesekali saja memeriksa, itu pun hanya diperiksa perlengkapan perjalanan seperti SIM dan STNK. Tidak ada pemeriksaan surat tugas atau surat kelengkapan kesehatan. Jawaban mereka mirip dengan rekan mereka yang lain, “Kasihan, Pak. Lagian kami realistis, kalau ketahuan di sini, mereka akan cari jalan lain. Tidak mungkin balik ke kota tempat mereka bekerja,” tutur salah satu petugas dengan mimik serius.
Jadi sebetulnya, para petugas pun menyimpan semacam rasa tidak tega untuk mengusir atau meminta pemudik balik. Walhasil, yang dilakukan mereka sekali lagi hanya sekadar formalitas, atau sekadar membuat kendor pemeriksaan di jam-jam tertentu supaya pemudik bisa melenggang ke kampung halaman. Ada yang mulai longgar pada pukul 20.00, ada juga yang mulai pukul 23.00.
Sampai sekarang, saya mencoba berkomunikasi dengan beberapa teman yang melakukan liputan lebaran, mereka mendapati hal yang serupa di berbagai tempat lain. Sampai sekarang pun, saya belum mendapatkan liputan tentang orang-orang yang sudah mudik lalu balik lagi. Itu artinya, hampir semua pemudik sukses mudik.
Dalam konteks ini, rasanya tidak bijak jika pemerintah menyalahkan pemudik, warga nonpemudik yang mendukung pemudik, maupun petugas lapangan. Pemerintah sebaiknya merenung, utamanya dalam membuat kebijakan yang dirasa warga tidak sensitif dan tidak adil. Dan yang lebih penting lagi, mempersiapkan banyak rumah sakit untuk mengantisipasi lonjakan penyakit pascamudik.
Tapi ingat, lonjakan itu jika terjadi, jangan hanya dilihat dari para pemudik. Bisa saja dari pengunjung mal yang berjubelan, dan tentu saja dari tempat wisata yang sengaja dibuka.
BACA JUGA Obrolan Utusan Manusia dengan Utusan Corona dan esai Puthut EA lainnya.