Melihat kondisi akhir-akhir ini, saya kira para politikus, aktivis, dan kaum intelektual, sebaiknya meninjau ulang dan lebih cermat lagi posisi kerupuk dalam geopolitik meja makan. Kata “geopolitik” sengaja saya pilih secara serampangan, mengingat kata itu juga sering dikutip secara serampangan pula oleh banyak orang di media sosial kita belakangan ini.
Saya akan mengambil studi kasus di Yogyakarta saja, yang konon dalam semesta perbincangan kuliner di Indonesia termasuk menduduki posisi yang lumayan penting. Wilayah itu sengaja saya pilih juga, supaya memudahkan saya untuk melihat lebih dekat lagi jika ada bantahan argumen terhadap paparan saya jika ditilik dari kota atau daerah lain yang mungkin sedang sulit saya akses.
Di Yogya, untuk mengetahui apakah sebuah warung cukup laris atau tidak, punya banyak penggemar atau tidak, biasanya ditilik dari dua hal. Pertama, dari banyaknya jumlah kalender yang ditempel di warung tersebut. Makin banyak kalender yang menghiasi dinding, dari mulai kalender dari toko besi dan bahan bangunan sampai kalender dari bank, makin tersohor pula warung makannya. Kedua, tentu saja dilihat dari varian kaleng kerupuk. Makin banyak variannya, maka makin mudah untuk menggaet kepercayaan publik. Itu dari sisi jumlah dan varian kaleng. Belum dari varian kerupuk nonkaleng yang biasanya disediakan khusus di atas meja makan.
Jika seseorang datang ke sebuah warung dalam kondisi lapar, setelah memesan menu makanan, hal pertama yang akan dilakukan adalah mencari kerupuk. Setidaknya itu bisa dijadikan semacam kegiatan sembari menunggu menu pesanan datang. Mengunyah satu dua kerupuk atau seplastik dua plastik kerupuk sembari memeriksa hape, membuat penantian atas menu bisa lebih dikonsolidasikan dengan perut yang melilit dan lidah yang kemecer.
Mengunyah kerupuk dengan iramanya yang kaya memberi sensasi tersendiri, yang menyambungkan mulut dengan telinga. Rasa kerupuk memang berbeda satu dengan yang lain. Tapi jangan lupa, suara dari hasil kunyahannya juga berbeda. Kerupuk rambak, misalnya, terasa lebih jazzy. Sementara kerupuk gendar lebih kuat irama popnya. Kalau kerupuk yang terpilin dengan keripik, semacam kerupuk/keripik usus, ceker ayam, emping, lebih kental slow-rock-nya. Kalau kerupuk udang, apalagi kerupuk udang dari Pantura, bolehlah kita bersepakat irama blues-nya lebih kentara. Sedangkan kerupuk di dalam kaleng, alias kerupuk bolong-bolong, jelas dangdut sekali. Jadi, makan kerupuk juga sesungguhnya memberi semacam efek musikalitas yang penting di warung makan. Itu pula yang bisa menjelaskan kenapa di restoran-restoran mahal, biasanya jarang menyediakan kerupuk. Sebab mereka lebih suka memilih memutar musik betulan.
Posisi kerupuk ini sebetulnya in-between. Disebut lauk juga bukan lauk. Disebut penganan samping, tidak juga. Cara memakannya pun multifungsi. Ada yang suka dimakan di depan sebagaimana dianggap sebagai hidangan pembuka. Tapi juga ada yang suka sebagai pengiring menu utama. Dimakan berbarengan. Tapi ada juga yang dimakan di akhir, semacam pencuci mulut. Biasanya hal itu dilakukan oleh orang yang suka makan makanan kuah. Soto atau bakso, misalnya. Begitu sudah tandas, tersisa kuahnya, maka saatnya kerupuk mengambil alih untuk dicocol-cocol.
Posisi kerupuk yang tidak jelas itu yang sering disejajarkan sebagai representasi dari suara rakyat. Orang datang, pesan makanan, senang menyaksikan banyak kerupuk, makan satu, sembari berpikir nanti akan makin lezat jika menu utama datang. Begitu menu utama datang, kerupuk terlupakan. Sama kayak suara rakyat yang dibutuhkan elite politik kita ketika mau pilpres, pilkada, atau pemilu-pemilu lain. Begitu mereka menang, lupa sama rakyat pemilihnya. Telantar. Mirip kerupuk. Jangankan ditoleh, ingat pun tidak.
Kasta kerupuk jelas kasta terendah dan tentu saja tidak punya cukup posisi tawar dalam geopolitik meja makan. Kalau ada orang makan soto, misalnya, orang yang mengajak makan temannya, biasanya menawarkan berbagai fitur soto. Pakai ampela? Tambah dagingnya? Perkedelnya istimewa, lho. Dan lain-lain. Tidak ada yang bilang: kerupuknya enak lho, silakan dimakan. Atau: Ayo nambah kerupuknya….
Tapi bagi penyuka kerupuk, ia bisa merusak selera. Datang ke warung, pesan rawon, sebelum makanan datang, kerupuk diambil dari kalengnya, digigit dan ternyata melempem, maka rawon yang dipesan bisa dipastikan secara psikologis akan dianggap tidak enak. Kerupuk melempem memberi pesan tegas, menu yang Anda pesan tidak bakal enak. Kerupuk melempem seperti sebuah simptom tentang kondisi menu makanan.
Bagi beberapa orang, posisi kerupuk jelas. Mereka umumnya punya keyakinan: makanan yang enak tidak perlu dibarengi dengan kerupuk. Itu hampir mirip dengan orang yang doyan minuman beralkohol. Sebagian dari mereka punya posisi yang tegas, minuman yang enak tidak membutuhkan tambul. Tapi ada juga penggemar die hard kerupuk. Makan apa saja kalau belum ada kerupuknya, rasanya belum paripurna. Bahkan makan steak sekalipun. Bagi orang seperti itu, tak segan-segan meminta emping atau cemilan pengganti kerupuk untuk menyempurnakan proses makan mereka.
Tentu saja, sebagai bagian penting dunia kuliner, apalagi kategori kuliner non-elite, kerupuk penuh dengan stigma tidak sehat. Hampir sama posisinya dengan stigma yang disematkan pada gorengan dan rokok.
Demikianlah sepintas paparan saya dalam meninjau kerupuk dari perspektif geopolitik meja makan. Dan kurang afdol jika tidak saya tutup dengan kutipan yang saya pelesetkan dari seorang filsuf dari twitland: Piye perasaanmu nek dadi kerupuk?
BACA JUGA Seorang Anak Tak Harus Cocok dengan Bapaknya dan esai-esai Puthut EA lainnya di rubrik Kepala Suku.