Sepotong Mini Cooper untuk Gendukku: Mobil Sempit yang Nggak Nyaman Blas

Sepotong Mini Cooper untuk Gendukku: Mobil Sempit yang Nggak Nyaman Blas

Sepotong Mini Cooper untuk Gendukku: Mobil Sempit yang Nggak Nyaman Blas

MOJOK.COAndaikan saja Toyota Avanza atau Mitsubishi Expander dipotong jadi dua, lalu jadilah Mini Cooper satu dan Mini Cooper dua.

Zaman kaya dulu, sekira 2017, saat anak sulung saya, biasa saya panggil “Genduk”, hendak menyongsong ultah ke-17, sebagai seorang ayah yang luar biasa dan langka ini, saya bersiap betul untuk memberikan surprise padanya. Pikir punya pikir, saya putuskan untuk menghadiahinya mobil.

Imaji saya melayang ke sinetron:

“Taraaaa…. Met ultah, Nduk, moga panjang umur, sehat selalu, diberkahi dan dirahmatiNya. Ini hadiah buatmu….”

Sebuah kontak mungil saya angsurkan padanya. Matanya melotot kaget, shock, kedua tangan mencengkram erat kedua pipinya, mulut menganga tanpa bisa bersuara lagi. Lalu, ia menghambur ke pelukan saya, saya pun mendekapnya erat-erat, sangat erat hingga tak ada lagi sekerat angin pun yang bisa memisahkan tubuh saya dengan tubuhnya, dan ia berbisik lirih di telinga saya.

“Terima kasih, Ayah, how much I love you, you are the best daddy in the world….” Ia pun menerima kontak mobil hadiah saya, dan matanya berkaca-kaca. Saya mengecup keningnya, kedua pipinya, dan menggumamkan salawat lirih buatnya.

Oke, fixed! Mobil…

Pertanyaannya, mobil apa?

Saat saya ajak mamanya Gara, istri saya, berbincang perihal rencana surpise tersebut, ia hanya bilang, “Manut aja, Yah….”

Ah, sungguh istri yang manutan. Nyenengin, ndak kayak kamu yang cerewet, elek lagi, hih!

Beberapa hari saya berpikir tentang berbagai jenis mobil buat Genduk. Jazz sudah ada, Yaris juga sudah, CRV sudah, lalu… masa Brio, itu kan kelompok kaleng Khong Guan? Tidak! Harus yang istimewa.

Syukur hamdalah, ilham itu datang juga: Mini Cooper! Yes, Mini Cooper. Itu mobil yang imut, antik unik desainnya, powerful, tentu saya akan juga bisa memakainya sesekali, dan berkelas.

Karena di Jogja tidak ada dealer Mini Cooper, saya menghubungi Ivan, bocahku di Jakarta, meminta tolong padanya untuk mencarikan info Mini Cooper yang ready stock. Dua harian berselang, Ivan mengabari bahwa di daerah Kelapa Gading ada unit yang ready.

“Warnanya merah, Pak, di atapnya ada bendera Inggris, tapi harganya mahal sekali, heee….” Begitu katanya.

“Berapa, Van?”

“Hampir satu M begitu, Pak….”

“Oke, tolong booking ya, kan segera kutranfer DP-nya, soal teknis lanjutannya segera kukabari.”

Ivan ini berlebihan, gumam saya, masa segitu dibilang mahal, sih? Ya biasa saja, to, Van. Harap maklum, itu terjadi di zaman saya kaya raya. Zaman saya pernah terlintas rencana untuk membeli semua tanah koleksi Uda Alfi Limbak, pelukis kondang, beserta seluruh blabak yang dicorat-coretnya pakai cat itu dan saya sisakan buatnya satu atau dua kresek tanah saja sebagai klangenan.

Sesuai rencana, kurang dua atau tiga hari ultah Genduk, saya berangkat ke Jakarta. Hari itu juga saya menuju lokasi dealer mobil tersebut, berbincang singkat dengan juragannya, lalu saya ke BCA terdekat, mentransfer penuh, selesai. Tak pakai ribet, kayak cah tipis aja.

Asyik, surprise sesuai cerita sinetron itu makin dekat di pelupuk mata.

Saya pun meminta mamae Gara berangkat ke Bandung pakai kereta, beserta Genduk tentu saja. Nanti kita ketemuannya di hotel Aston biasanya aja, ya. Mobilnya kubawa dari Jakarta, begitu skenario kami.

Lagi-lagi, sebagai istri solehah yang tahu betul suaminya saleh sehingga mustahil menyakitinya, ia manut penuh. Sungguh perempuan manutan yang menyenangkan, ora koyok kowe sek iyig, elik neh, hih!

Berangkatlah saya ke Bandung via tol Cipularang bersama Ivan. Mobil matik mungil ini memang sangat powerful. Handling mantap. Akselerasinya yahud pol. Ia benar-benar setara mobil sport yang saya punya, Mercedes SLK 250.

Tetapi, ah, lagi dan lagi, makin lama saya merasa makin mantap untuk mengatakan: betapa tidak nyamannya Mini Cooper ini! Iya, tak nyaman.

Untuk masuk ke baris kursi kedua, Anda harus jungkirin jok depan, sebab ia hanya memiliki dua pintu. Lalu, begitu duduk, dengkul pasti membentur jok depan. Mentok! Begitu pun kepala, nyaris kejedot.

Benar-benar sesak, sempit. Jangan mendamba bagasi. Walaupun secara de facto ada, tapi secara de jure sungguh ngeselin. Ora patut!

Jadi, ini nasihat, jika Anda hanya mampu beli satu mobil, plis jangan melirik-lirik Mini Cooper. Ini mobil yang blas tak relate dengan habit mobil tunggal yang bernafsu mengangkut semua anggota keluarga untuk piknik ke pantai, plus sanak kerabat, plus rantang susun empat berisi nasi, mie goreng, sambal, dan lauk pauk, plus dua tikar gulung, lalu ember dan peralatan mandi.

Tidak! Ini sangat tepat dijuluki “sepotong mobil”. Andaikan saja Avanza atau Expander dipotong jadi dua, lalu jadilah Mini Cooper satu dan Mini Cooper dua.

Lebih-lebih jika Anda merupakan kaum-pemikir-bahan-bakar. Mobil ini wajib pakai Pertamax, sedotannya ya jelas jos. Lagi-lagi, sepotong Mini Cooper ini untuk urusan bahan bakar bisa setara dengan dua mobil kaleng itu.

Sesuai plan, saya sampai ke Aston pagi sebelum Subuh. Usai mandi-mandi, salat Subuh, tak lama berselang keluarga tersayang dari Jogja tiba.

Genduk saya sambut spesial, sesuai skenario sinetron. Saya peluk, saya bisikkan ucapan met ultah penuh welas asih, saya doakan segala kebaikan buatnya. Lalu: “Taraaaa…. ini hadiah buatmu, Nduk,” sembari saya angsurkan sebuah kontak berlogo sayap kanan kiri dengan tulisan MINI di tengahnya.

Ia benar-benar memperlihatkan ekspresi shock. Berkali-kali ia hanya bisa bersuara sejenis ini: “Aduh, ya Allah, Ayah ini…. Aduh, ya Allah, Ayah ini…. Aduh, ya Allah, Ayah ini….”

Saya lirik wajah mamae Gara. Ia tersenyum bungah. Yes, skenario kami memberikan surprise kasih sayang di ultah ke-17 Genduk berjalan dengan sangat baik.

Lalu, saya ajak Genduk ke basement, tempat mobil surprise itu diparkir. Saya dan semua orang mengekorinya dari belakang. Begitu ia memencet remot, mobil imut itu pun berkedip-kedip, bagai berkata, “Here I am, come here please….

Genduk pun mendekatinya. Membuka pintu Mini Cooper, melihat bagian dalamnya, sekilas. Lalu keluar lagi. Memandangi berkeliling sekujur tubuh mobil ini, sekilas. Dan berkata, dengan wajah datar, “Gini, ya….”

Saya terdiam, tercekat. Lebih-lebih saat sejenak kemudian, Genduk meminta kembali ke kamar, katanya mau rebahan, capek abis perjalanan dari Jogja.

Sorenya, mobil itu dibawa Ivan ke Jogja. Saya dan anak-anak naik kereta.

Sejak saat itu, sejak mobil itu mulai parkir di dalam garasi rumah, hanya sekali saya pernah melihat Genduk membawanya ke sekolah. Ya, hanya sekali. Selebihnya, ia memakai Jazz atau Yaris atau CRV.

Walhasil, saya yang sering membawa Mini Cooper terabaikan itu. Semakin lama saya bawa, semakin kesal hati saya. Ini sungguh mobil yang menang gaya tok, tidak nyaman blas.

Dibanding Jazz, ya enak Jazz, lah. Apalagi dibanding CRV kesukaan saya. Apalagi dibanding Accord, ya langit dan bumi. Mungkin, ini setara belaka dengan Ignis, dalam versi murah dan mahal.

Setelah tiga atau empat bulan, karena tak lagi pernah saya lihat Genduk membawa mobil malang itu, saya bertanya kepadanya di suatu malam, “Nduk, kamu nggak suka ya sama Mini Cooper-nya?”

“Ehmmm, sempit, Yah, sesak, susah kalau pergi sama teman-teman. Mereka bilang nggak nyaman, nggak enak, enakan Jazz atau Yaris. Lagian, gasnya gampang nyendal-nyendal….”

Hadehhh….

“Apa mau dijual aja, Nduk?” ucap saya dengan nada ngelulu.

“Ya nggak papa, terserah Ayah aja….”

Gustiiii….. Luluan saya menikam saya sendiri!

Saya terpukul! Saya merintih! Saya mengerang! Saya meradang! Saya terjengkang! Saya terjungkal! Saya berlinang air mata! Saya, saya, saya, halahhhh pongge….

Tanpa perlu lama lagi, saya telpon Ivan dan minta tolong supaya Mini Cooper itu dibawa lagi ke Jakarta. Jualkan. Beberapa hari berselang, dari Jakarta, Ivan mengabarkan bahwa mobil itu ditawar seseorang dari sebuah showroom di Kelapa Gading dengan harga selisih bisa buat beli mimpi-mimpimu yang tak kunjung kesampaian.

Saya jawab, “Ya, nggak apa-apa, Van, jual saja.”

“Rugi banyak lho, Pak?”

“Iya….” Ivan ini berlebihan, gumam saya, buat anak kok ada kata rugi….

Saat Ivan telah mentransfer sejumlah uang penjualan Mini Cooper itu, ATM-nya saya masukkan kantong kemeja. Saya terinspirasi cerpen Seno Gumira Ajidarma yang mengisahkan seorang lelaki memotong senja berbentuk kartu pos lalu memasukkannya ke dalam saku untuk dihadiahkannya kepada kekasihnya.

Bedanya, yang saya kantongi adalah sepotong Mini Cooper untuk Genduk, bukan sepotong senja untuk Alina.

BACA JUGA Produk Gagal Sih Boleh, tapi Jangan Alphard Dong dan cerita penyesalan lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version