Rumah Judi Berjalan Bernama Sumber Kencono

“Apa, sih, yang bikin orang-orang masih suka naik Sumber Kencono?”

Rumah Judi Berjalan Bernama Sumber Kencono MOJOK.CO

Ilustrasi Sumber Kencono. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSumber Kencono jelas bukan bus biasa. Ia adalah rumah judi berjalan dengan puluhan peserta yang cukup edan untuk mempertaruhkan hidup mereka sendiri.

Saya telah memesan empat tiket kereta api demi mudik ke Jombang ketika Mas Bojo menaruh ponselnya dan bertanya dengan mimik serius, “Apa, sih, yang bikin orang-orang masih suka naik Sumber Kencono?”

Sebagai jawaban, saya mengangkat bahu. Kami jarang mudik dengan menumpang bus, dan momen yang jarang itu pun selalu diisi oleh bus Eka, bukan yang lain. Tapi, kami sama-sama tahu reputasi Sumber Kencono, dan pikiran bawah sadar kami menciptakan penolakan.

Sumber Kencono bukan satu-satunya bus yang melayani trayek Surabaya–Jogja, tetapi reputasinya berada di semesta bus lain. Ia adalah gabungan makna dari kecepatan, ugal-ugalan, dan petaka. Andai Balai Bahasa melonggarkan kriteria pemuatan lema, Sumber Kencono sangat layak dimasukkan ke dalam KBBI.

Sekalipun semua orang mafhum belaka dengan reputasi buruk Sumber Kencono, bus ini ternyata masih diminati penumpang. Apakah itu disebabkan oleh tarifnya yang lebih murah, kabinnya yang lebih nyaman, dan pelayanan awak bus yang lebih humanis ketimbang rival-rivalnya?

“Kita mesti cari tahu,” ujar Mas Bojo, sebelum membuka situs KAI demi membatalkan perjalanan.

Hari besar itu pun tiba. Setelah satu jam menumpang bus Gunung Mas yang kecil dan bising bukan main, kami tiba di terminal Ngawi. Baru empat langkah keluar dari kabin Gunung Mas, seorang lelaki berseragam biru-kuning mendekati kami dan menanyakan tujuan sebelum memandu kami menyusuri koridor panjang yang menghubungkan terminal kedatangan dengan keberangkatan.

“Saya cuma pengin naik Sumber Kencono,” kata Mas Bojo kepada lelaki tersebut.

“Ah, ya,” sahut lelaki itu. “Kebetulan, saya kernetnya.”

Bus berkelir biru-perak itu tampak di kejauhan, tetapi perasaan enggan semakin kuat seiring terkikisnya jarak. Saya merasa seperti terpidana mati yang digiring menuju sepasukan regu tembak, dan saya mulai mempertanyakan ulang alasan kami menaiki bus ini kepada Mas Bojo. Bagaimana jika semua reputasi buruk itu mewujud?

“Yang terjadi nanti, terjadilah,” jawab Mas Bojo, seyakin pembina pramuka ketika disuruh menyebutkan semua butir Dasa Dharma.

Kami mendapat kursi baris keempat dari depan, dan satu pertanyaan mengenai kenyamanan bus ini pun terjawab: Sumber Kencono tidak lebih nyaman ketimbang bus lain. Kursinya tidak bisa disetel seperti kursi bus Gunung Mas, dan jarak antar-kursinya menyiksa dengkul. Busa kursinya cukup empuk, tetapi posisi duduknya terlalu tegak seperti bangku taman.

Di tempat yang semestinya dihuni oleh spion tengah terdapat televisi 24 inci yang memutar video-video dangdut. Tak ada yang istimewa dari televisi tersebut, tetapi kualitas audionya cukup sempurna untuk mengalihkan perhatian kami dari segala kecemasan.

Kaca depan ditempeli dua biji boneka Marsupilami, sementara kaca samping penuh dengan stiker berisi anjuran dan larangan. Contohnya, pada kaca di baris pertama terdapat stiker yang melarang penumpang mengambil video tanpa izin, sementara kaca baris kedua menganjurkan penumpang untuk membawa pasangan karena bus ini bisa membuat siapa pun berpegangan tangan.

Kaca di samping kursi kami ditempeli stiker berisi sederet nomor telepon yang bisa dihubungi penumpang apabila tidak diberi karcis. Tepat di sampingnya terdapat stiker yang lebih kecil, yang mengharap pemakluman penumpang bila mendapati bus ini melaju kencang.

Begitulah, kadang-kadang keseruan lebih penting ketimbang keselamatan.

Bus melaju tak lama kemudian, dan saya masih tak menemukan alasan orang-orang menyukai Sumber Kencono ketika kondektur menarik bayaran. Tarif yang mesti saya bayar dari Ngawi ke Jombang adalah sebesar dua puluh tiga ribu rupiah, jauh lebih murah ketimbang bus Eka, tapi sama murahnya dengan rival abadinya, Mira.

Kalau kenyamanan dan tarif sama belaka dengan rivalnya tersebut, orang-orang yang tahu reputasi Sumber Kencono mestinya bisa duduk dengan tenang di terminal sembari menunggu Mira datang. Mira bukannya kebal dari kecelakaan, tapi mempertaruhkan hidup dengan menumpang bus yang Anda tahu betul sering celaka adalah keputusan yang tidak masuk akal.

Jalur Ngawi–Magetan tak memungkinkan kendaraan yang lebih besar dari sepeda motor melaju kencang. Bus yang kami tumpangi pun demikian; ia setia membuntuti truk ayam yang bergerak pelan karena lajur kanan dilalui kendaraan tak berputus. Sesekali sang sopir bisa menginjak pedal gas lebih dalam, tapi hingga terminal Magetan, dia gagal mendahului truk ayam itu.

Tak banyak yang bisa diceritakan dari sopir bus kami; dia memakai seragam biru-kuning seperti rekannya yang lain, dan mengenakan kacamata hitam layaknya sopir bus sejati. Rokoknya Gudang Garam Surya, dan dia menyulutnya nyaris sepanjang jalan—ya, dia merokok di bus AC, tapi kami bisa apa, coba? Memecahkan kaca lalu melompat keluar?

Bagian horor perjalanan ini dimulai selepas terminal Magetan. Arus kendaraan di ruas jalan Magetan–Nganjuk masih sepadat ruas sebelumnya, tetapi bahu jalan di ruas tersebut cukup lebar untuk bus ini menampilkan dirinya yang sesungguhnya.

Sisa perjalanan kami diisi dengan rapalan doa. Sang sopir membuktikan dirinya pantas mengenakan seragam biru-kuning tersebut; dia menyalip dari kedua sisi jalan sambil barangkali mendesah kesal mengapa bus ini tak dilengkapi sayap. Dia menginjak semua pedal dengan kecakapan yang mampu membikin Rio Haryanto berkecil hati, dan dia melajukan bus ini seolah ada gerombolan T-Rex yang sedang mengejar kami.

Lima penumpang di baris pertama menjerit ngeri sesekali, sedangkan penumpang di baris kedua mencengkeram kursi dengan muka sepucat mayat. Saya mulai mempertanyakan kewarasan saya sendiri yang sengaja mencemplungkan diri ke situasi jahanam model begini.

“Tapi, inilah yang dicari penumpang,” kata Mas Bojo, setelah mendesah lega karena bus kami batal beradu banteng dengan Pajero. “Sensasi ala roller coaster.”

Pada momen itulah saya menemukan jawaban yang saya cari. Bukan, bukan sensasi roller coaster yang penumpang cari, melainkan sensasi berjudi dengan taruhan hidup kita sendiri, seperti judi. Penikmat roller coaster tahu bahwa mereka kemungkinan besar bakal turun dengan selamat, tetapi penumpang Sumber Kencono, baik sadar maupun tidak, memberi ruang bagi nasib buruk sebesar porsi yang diberikan untuk keluar hidup-hidup.

Itulah yang membuat saya dan penumpang lain menahan keinginan untuk menyumpahi sang sopir setelah diberi momen-momen kengerian. Kami sekadar mendesah lega dan tersenyum, sembari berseru pada diri sendiri, “Wah, ternyata masih hidup!”

Dan kami menginginkan momen mengerikan itu lagi dan lagi. Kami semua menikmati badai adrenalin yang diciptakan sang sopir, dan kami mempersetankan besar taruhan yang tak sepadan untuk mengalami badai tersebut. Oleh sebab itulah kami hanya boleh mengadu pada jajaran direksi Sumber Kencono mengenai karcis; mereka sungguh tahu bahwa tak ada penumpang Sumber Kencono yang mengharapkan perjalanan teduh nan damai.

Sumber Kencono jelas bukan bus biasa. Ia adalah rumah judi berjalan dengan puluhan peserta yang cukup edan untuk mempertaruhkan hidup mereka sendiri. Ya, kehidupan memang dipenuhi momen perjudian dengan imbalan berupa kesintasan. Namun, hanya Sumber Kencono, bukan bus lain, yang mampu menyodorkan hal tersebut secara vulgar sekaligus sulit ditampik.

Kita semua, dalam perspektif tertentu, memang seorang penggila judi.

BACA JUGA Asmara dan Hati yang Mulia di Atas Roda dan pengalaman bersama bus lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version