MOJOK.CO – Bus Lorena adalah kenangan manis ketika saya masih kecil. Bersama ibu, kami menempuh perjalanan yang menyenangkan dari Jember ke Jakarta.
Saban Lebaran, hal paling menyenangkan usai makan-makan dan pakai baju baru adalah pergi tamasya. Jika menjelang Lebaran pada mudik, empat tahun sekali, ibu mengajak saya untuk menengok adiknya di Jakarta.
Jadi, ketika kebanyakan orang mudik, kami malah ke ibu kota. Biasanya, kami baik bus Lorena. Berangkat dari Jember pukul 12 siang dan tiba di sana esok harinya.
Bus Lorena, pada awal milenium, usai reformasi dan sebelum Megawati jadi presiden, merupakan bus favorit untuk bepergian jarak jauh. Saat itu, untuk jurusan Jember ke Jakarta, kereta ekonomi yang ada adalah Gaya Baru Malam Selatan. Sebuah kereta yang berhenti di setiap stasiun. Sudah begitu, isi gerbongnya lebih mirip medan perang daripada moda transportasi.
Soal bus Lorena, keadaannya sudah sangat jauh berbeda. Saat ini, bus mania bisa dengan mudah dan jelas menjelaskan perbedaan Lorena, Karina, Safari Dharma Raya, dan beragam jenis bus lain. Menjelaskan perbedaan bodi dan sasi, misalnya. Bagi saya dulu, bus jarak jauh ya cuma Lorena. Kalau yang lokal ya cuma Tjipto dan Akas yang melayani trayek Surabaya ke Situbondo.
Naik bus eksekutif, dengan kaki yang bisa selonjor, AC super dingin, selimut, dan snack, barangkali adalah perjalanan menyenangkan bagi bocah delapan tahun. Ibu saya, di sisi lain, selalu mengeluh bahwa kakinya kaku, AC terlalu dingin, makanan yang tidak hangat, dan sopir yang memutar lagu Broery membuat perjalanan seperti karya wisata yang melelahkan.
Baca halaman selanjutnya….
Banyak kenangan bahagia bersama ibu dan Lorena
Kenangan menyenangkan bersama bus Lorena
Salah satu hal yang menyenangkan dari naik bus jarak jauh bersama Lorena adalah perjalanan malamnya. Di dalam bus malam yang tenang, suasana begitu hening dan damai. Deru mesin bus menjadi latar belakang yang menenangkan, memberikan rasa kenyamanan dan bunyi yang syahdu dalam perjalanan yang panjang. Meskipun jalanan kabupaten terkadang tidak rata saat 2000an awal, namun itu tidak mengurangi ketenangan dalam perjalanan menuju Jakarta.
Jalanan kabupaten di awal masa reformasi, usai lepas dari Orde Baru, dan masa awal pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid tentu sangat berbeda dengan sekarang. Belum lagi tidak banyak tol. Jadi, bus malam masih menjelajahi beberapa titik kabupaten untuk menjemput dan menurunkan penumpang. Ya sekaligus menjadi titik istirahat, entah makan malam atau sarapan ketika menempuh perjalanan dari Jember ke Jakarta.
Sampai hari ini, saya masih meyakini bahwa tidur terbaik adalah tidur di bus malam. Dengan nuansa kegelapan menyelimuti segala penjuru. Jalanan kabupaten yang tidak banyak lampu-lampu yang menyinari, membuat malam semakin syahdu dalam kegelapan. Namun, suasana gelap tersebut justru menambah keasyikan dan ketenangan di dalam bus. Seakan-akan ada kedamaian yang terpancar dari setiap sudutnya.
Suasana semakin gayeng dengan adanya selimut hijau Lorena yang wangi. Biasanya di setiap pangkalan, selimut diganti baru dan mereka membungkusnya dengan plastik. Selimut itu memberikan kehangatan dalam dinginnya AC yang menjaga udara tetap segar di dalam bus. Sambil merunduk dalam selimut, saya bisa tidur nyenyak memeluk tangan ibu, atau kadang membawa bantal tambahan untuk ditempelkan ke jendela.
Lorena adalah penyelamat perjalanan dari Jember ke Jakarta
Bagi keluarga saya, bus ini adalah penyelamat. Alasannya, mereka langsung mengantarkan keluarga dari Jakarta ke Jember, dan dari Jember ke Jakarta. Kami tidak perlu transit di kota lain, meski harus menempuh 12 jam perjalanan atau lebih jika terkena macet di Jakarta.
Dulu ketika SD, saya sering tertidur lepas dari Ngawi dan bangun setelah masuk Jakarta. Itu kenapa saya percaya naik Lorena selepas Ngawi kami tidak lewat Jawa Tengah tapi langsung bablas Jakarta.
Guru SD saya meledek “Lho, berarti bus itu terbang nggak lewat Jawa Tengah?” Lelucon itu awalnya lucu, tapi jadi tak tertahankan ketika terlalu sering disampaikan untuk menunjukkan kesalahan saya. Barangkali itu yang bikin saya mendendam dan tak suka padanya. Tapi sekarang, setelah naik bus sendiri dari Bogor ke Jember, saya sering terbangun di malam hari dan tahu rute-rute perjalanan Lorena.
Hal lain yang bisa membuat saya ingin kembali naik Lorena adalah makanan yang disajikan di rest area. Dulu, yang saya ingat, tempat makan yang dipilih sering menjual jajanan dan oleh-oleh. Meski jika datang pada malam hari lepas pukul sembilan, banyak warung yang sudah tutup. Jika menu makanan kurang menarik, ibu biasanya menawari saya untuk makan Pop Mie. Ini menu yang jarang dimakan saat di rumah.
Sekarang semua sudah berbeda
Saya ingat sekali dulu itu kami menukar tiket kecil dengan makanan, nasi, sop sayur, ayam goreng, dan kerupuk. Kadang, yang membuat kangen makanan bus Lorena adalah kualitasnya. Tentu kita tidak bisa membayangkan makanan yang super mewah. Tapi, setidaknya, makanan yang dihidangkan adalah makanan panas. Setelah naik bus dingin berjam-jam, makan sup panas dan teh hangat jelas membuat gembira.
Sayang, semuanya sudah berubah. Sekarang, pilihan kereta dan pesawat banyak tersaji. Apalagi setelah pembukaan bandara di Banyuwangi dan Jember. Keluarga kami sekarang lebih memilih naik pesawat jika ingin cepat. Kalau ingin nyaman, ya memilih naik kereta.
Bus Lorena, yang harga tiketnya tidak jauh-jauh amat dari kereta atau pesawat, jelas kehilangan pamor. Tapi, bagi para penggemarnya, termasuk saya, bus ini masih punya pesona. Entah sebagai tempat untuk tidur dengan shuttle bus executive atau yang biasa. Ah, saya jadi ingin ke Jakarta naik Lorena lagi.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Perjalanan PO Lorena, Bermula dari Anggota TNI yang Jual Rumah hingga Melantai di Bursa dan kisah menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.