MOJOK.CO – Meski “mati” demi adik sendiri, sampai saat ini, Megapro adalah motor Honda paling jantan. Legenda itu nyatanya tak akan pernah mati.
Ada satu nama motor yang bagi anak 2000-an ke bawah, mungkin masih bikin dada bergetar kalau mendengar knalpotnya dari jauh. Yang saya maksud adalah motor Honda Megapro.
Dulu, semua segan kepada motor Honda satu ini. Entah itu di kampung, kota, atau depan sekolah. Megapro adalah lambang kejantanan sejati sebelum era pamer riding gear lengkap di TikTok dimulai.
Megapro bukan sekadar motor, tapi simbol semua zaman di mana anak muda masih sering nongkrong sambil ngelap motor di bawah pohon jambu, Mereka nongkrong pakai minyak wangi merek “Splash” dan berharap gebetan lewat biar bisa pura-pura men-starter motor dua kali.
Namun, sebagaimana takdir para legenda, Megapro akhirnya harus tumbang. Bukan karena kalah mesin, bukan juga karena kalah tampang. Motor Honda ini tumbang karena menjadi “tumbal” kelahiran adik kandungnya yang lebih murah dan ramah leasing. Namanya, Honda Verza.
Tragis? Ya. Konyol? Iya juga. Ironis? Banget.
Dari jalanan ke level legenda
Di awal kemunculannya, Megapro langsung menjadi idola. Motor Honda ini lahir sebagai penerus GL-Pro, dengan DNA yang sama: gagah, tangguh, dan punya suara yang khas, “nggereng” tapi sopan. Saat motor bebek masih jadi primadona rakyat jelata, Megapro muncul sebagai pilihan bagi mereka yang ingin tampil lebih jantan tanpa harus menjual kambing keluarga.
Desain tangki besar, bodi berotot, dan mesin 150cc yang terkenal awet bikin Megapro cepat diterima. Di tangan para pemuda tahun 2000-an, motor Honda ini bisa berubah wujud jadi apa saja. Mulai dari motor touring, motor sekolah, motor gebetan, sampai motor ronda.
Yang paling legendaris tentu saja Megapro lawas generasi 2000-an awal. Suara knalpotnya empuk, posisi duduknya nyaman, dan handling-nya seperti punya GPS alami. Miring dikit langsung stabil, rem dikit langsung berhenti, tanpa perlu sistem ABS segala.
Masa keemasan Megapro dan gengsi yang tak terbeli
Megapro punya gengsi tersendiri. Di era sebelum motor sport fairing menjamur, motor ini adalah representasi “cowok beneran”. Kalau kamu naik Megapro, apalagi yang masih kinclong dan belum pernah jatuh, nilai kejantananmu langsung naik 80%.
Bahkan di mata orang tua, Megapro itu seperti “motor yang bisa diandalkan untuk masa depan”. Banyak bapak-bapak yang sengaja beli motor Honda satu ini bukan buat gaya, tapi buat nyari menantu.
“Kalau dia bawa Megapro, tandanya dia tanggung jawab,” begitu kira-kira logika mereka. Intinya, Megapro bukan cuma alat transportasi, tapi alat identitas.
Datangnya zaman “Verza-lisasi”
Namun, waktu terus berjalan. Pasar berubah. Anak muda makin suka motor yang tampil sporty, tajam, dan pakai stiker bergaya racing padahal dipakai buat beli Indomie.
Di sisi lain, Honda juga mulai berhitung. Motor Honda laki-laki sejati macam Megapro ini makin mahal produksinya. Sementara itu, segmen motor kerja murah semakin besar. Maka lahirlah si adik: Verza.
Secara kasar, Verza ini seperti versi downgrade dari Megapro. Ia lebih murah, lebih sederhana, tapi tetap tangguh.
Mesinnya masih 150cc, tapi desainnya lebih kalem. Suspensi belakang diganti pakai model gembung (twin shock), bukan monoshock. Speedometer-nya analog, dan tampangnya… yah, jujur aja, agak seperti “Megapro habis diet ketat.”
Honda menyebut Verza sebagai motor pekerja keras. Tapi di balik strategi itu, banyak fans Megapro yang merasa dikhianati. Mereka seperti kehilangan sosok jagoan yang diganti dengan pekerja pabrik berkerah biru.
“Lho, kok Megapro diganti beginian?” begitu komentar warganet waktu Verza pertama kali muncul.
Megapro: Dari ikon motor Honda menjadi sebatas kenangan
Meski Honda sempat mencoba mempertahankan nama besar itu lewat versi terakhirnya, yaitu New Megapro FI, tapi pasar sudah berubah terlalu cepat. Penjualannya tak sekuat dulu. Banyak yang bilang desainnya aneh, terlalu futuristik buat penggemar klasik, tapi terlalu kalem buat anak muda.
Dan begitulah, sekitar tahun 2018, Honda memutuskan untuk menghentikan produksi Megapro. Resminya, Megapro berhenti demi memberi ruang bagi Verza.
Secara tak langsung, legenda itu “mengorbankan diri” untuk memastikan adik kandungnya tetap bisa hidup di pasar. Sebuah keputusan yang mengandung aroma pengorbanan, atau dalam istilah sinetron: “Demi kamu, adikku, aku rela tak dikenang.”
Sekarang, kalau kita lihat di jalan, Megapro sudah jarang banget. Yang tersisa biasanya milik bapak-bapak dengan plat nomor lama dan knalpot chrome yang sudah kusam, tapi masih tetap setia dibersihkan tiap sore. Mereka tak mau ganti ke Verza, karena katanya “Megapro punya jiwa.”
Ironi sebuah pengorbanan
Lucunya, setelah Megapro benar-benar menghilang, Verza malah sering diremehkan. Banyak yang menyebutnya “motor bapak-bapak”, “motor ojol yang tersesat”, atau “motor tangguh tapi tak punya karisma.” Padahal, kalau dipikir-pikir, Verza nggak salah apa-apa.
Ia cuma lahir di zaman yang salah. Yaitu di sebuah zaman ketika motor laki-laki harus tampil kekar seperti moge, padahal dompet masih level cicilan angsuran sembako.
Kalau Megapro adalah “motor yang bisa diajak ke pesta”, Verza lebih cocok jadi “motor yang bantu kamu antar bahan bangunan ke rumah mertua.” Sederhana, tapi berjasa.
Namun, yang bikin sedih adalah cara orang melupakan Megapro begitu cepat. Padahal, berapa banyak kisah cinta, touring, sampai patah hati yang terjadi di atas joknya?
Berapa banyak motor yang sudah jadi saksi hidup perjuangan anak kos balik ke kampung demi lebaran? Sekarang semua itu tinggal kenangan.
Tapi, motor Honda legendaris ini nyatanya tak pernah mati
Meski tak lagi diproduksi, motor Honda tetap punya tempat spesial di hati para penggemarnya. Banyak komunitas yang masih aktif, dari Sabang sampai Merauke. Bahkan di pasar motor bekas, Megapro lawas masih dicari. Alasannya sederhana: “Karena ini motor yang punya karakter.”
Karakter itu yang sulit dicari di motor-motor sekarang. Motor modern memang lebih irit, lebih halus, dan pintar. Tapi, mereka terlalu “netral”. Tidak ada lagi suara khas Megapro yang nggereng tapi adem, atau sensasi kopling yang berat tapi memuaskan itu.
Beberapa orang bahkan bilang, kalau motor Honda ini masih diproduksi sekarang dengan desain lawas tapi mesin modern, pasti bakal laku keras. Karena nostalgia, seperti yang kita tahu, adalah bahan bakar paling mahal setelah Pertamax Turbo.
Sebuah salam hormat untuk Megapro
Akhirnya, kisah Megapro ini seperti kisah para legenda lain. Ia tidak benar-benar mati, hanya berhenti tampil di panggung. Ia sudah menjalankan tugasnya dengan baik: membesarkan nama Honda, menciptakan generasi pengendara tangguh, dan menjadi jembatan bagi lahirnya Verza.
Tapi tetap saja, melihat Megapro “disingkirkan” oleh adiknya sendiri rasanya seperti nonton film keluarga yang ending-nya pahit. Konyol, tapi getir.
Mungkin di suatu tempat, di garasi kecil di kampung, ada satu unit Megapro yang masih hidup. Mesinnya menyala pelan setiap sore dan pemiliknya tersenyum kecil sambil berkata:
“Kamu memang sudah tua, tapi kamu tetap motor paling jantan yang pernah ada.”
Penulis: Alan Kurniawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Motor Honda MegaPro Karbu Tetap di Hati dan catatan menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.
