MOJOK.CO – Asal kamu tahu saja, bagi kami, Kijang Buaya itu besinya terbuat dari hati. Hatinya merupakan ingatan warga akan jasa-jasanya.
Sekali waktu, saya pernah nekat putar balik melawan arus demi memastikan mobil yang parkir di depan sebuah rumah adalah Kijang Buaya. Itu loh, produksi awal mobil keluarga legendaris di Indonesia.
Rupanya betul, mobil teronggok dan sudah ditumbuhi semak itu memang Kijang Buaya. Saya iseng bertanya kepada pemiliknya, apakah mobil itu mau dijual. Dia tegas menjawab: “Sudah banyak yang mau beli, tetapi tidak dijual.” Saya sudah hafal dengan jawaban. Saya hanya menjepretnya pakai kamera hape lalu pergi.
Belum tahu Kijang Buaya? Kalau Kijang Innova pasti tahu, dong. Nah, Kijang Buaya itu buyutnya Kijang Innova. Dilihat dari bentuknya, mobil ini merupakan generasi pertama produksi tahun 1975. Peluncurannya dilakukan pada Pekan Raya Jakarta 1975 dan Presiden Soeharto serta Gubernur Jakarta saat itu, Ali Sadikin, turut hadir.
Jadi begini, di desa saya itu ada pabrik penggilingan padi. Pemiliknya punya Kijang Buaya yang menjadi akomodasi mengangkut gabah penduduk desa ke desa tetangga. Peristiwa ini terjadi sekitaran pertengahan tahun 90an. Dan, mobil ini boleh disebut satu-satunya mobil di desa kami.
Kijang Buaya di desa saya sangat berjasa. Mobil ini membuat banyak pemuda desa mahir mengemudi. Mereka yang ingin mahir, pertama-tema, harus bekerja di pabrik penggilingan padi. Selanjutnya, setahap demi setahap, mereka akan mendapat kesempatan belajar mengemudi mobil ini. Beberapa dari mereka yang “sudah lulus” dari pabrik, kini bekerja di Arab Saudi, sebagai sopir orang-orang Arab di sana.
Tetapi, tentu saja tidak semua pemuda di desa bisa bekerja di pabrik itu. Saya sendiri ketika diterima bekerja hanya bisa duduk di pinggiran bak kala pergi mengangkut gabah. Saya hanya bisa menyentuh setirnya kalau mobilnya sedang parkir. Itu pun sudah sangat membanggakan.
Karena satu-satunya dan dicintai semua pemuda, Kijang Buaya itu sudah diterima layaknya warga desa. Semua merasa memilikinya. Bila ada hajatan pengantin, khusunya pengantin lelaki yang akan diantar ke rumah mempelai perempuan, Kijang Buaya wajib mengiringi. Pasalnya, dalam tradisi Bugis di desa saya, pihak pengantin lelaki diharuskan membawa beragam buah seperti nenas, semangka, pisang, kelapa, dan lain sebagainya. Saat itu, tidak ada moda angkutan darat sebaik bak mobil ini.
Si pemiliknya sendiri tidak pernah pusing soal itu. Asal semua bahagia dan sepanjang Kijang Buaya itu tidak rewel, semua warga boleh mamakai.
Namun, tidak ada yang abadi dalam hidup ini selain perubahan. Seiring jalannya waktu, mobil kesayangan desa kami harus ditepikan.
Rangkanya keropos termakan usia. Salah satu pintunya tidak bisa lagi dipasang seperti semula. Pintu sebelah kanannya itu raib ketika salah satu calon sarjana desa kami gagal ujian mengemudi. Sewaktu mundur, pintunya tiba-tiba terbuka dan tersangkut di pohon. Tukang las tak bisa menolongnya. Besinya semakin menipis sehingga tidak bisa lagi ditambal untuk memasang dudukan engsel pintu.
Tahun 1997, keluar generasi keempat yang dikenal sebagai Kijang Kapsul dengan beragam varian. Salah satunya dinamakan Kijang Rangga. Tenang, Rangga yang ini nggak suka ghosting kayak mas-masa baperan di film itu.
Apakah pemilik Kijang Buaya di desa saya beralih ke lain hati? Ternyata tidak. Meskipun sudah sering ditepikan, pintu sebelah kanan sudah tiada, besi-besi mulai keropos, Kijang Buaya kesayangan kami masih bisa membantu para pemuda mengangkut gabah dengan sisa-sisa tenaganya.
Cuma saat itu, Kijang Buaya sudah tidak lagi mengiringi acara bahagia hajatan pengantin. Tentu saja wujudnya yang sudah keriput dan usianya semakin senja membuat Kijang Buaya diistirahatkan. Kasihan, saya takut ia gampang masuk angin karena sudah tua.
Menjelang masa pensiun, mobil keramat ini berganti nama. Para pemuda menamainya Kijang Rangka untuk membedakannya dengan Kijang Rangga. Penamaan ini mungkin sekadar strategi humor para pemuda untuk menghormati dan menikmati masa-masa senja mobil keramat ini.
Suatu hari, pemilik pabrik membeli mobil baru, tetapi bekas. Selintas, modelnya mirip. Pemilik pabrik membeli Kijang generasi kedua yang akrab disebut Kijang Doyok. Cara membedakannya cukup mudah. Lampu depan Kijang Buaya modelnya bulat, sedangkan Kijang Doyok berbentuk kotak.
Beberapa tahun kemudian, saya masih menemukan mobil itu terparkir di samping pabrik. Meski sudah tidak digunakan lagi, mobil keramat itu tidak dibuang ke tukang rosok. Sudah seperti jimat, ia ada di sudut mengawasi para pemuda yang kerjanya mengangkut gabah. Jasanya tidak akan pernah dilupakan.
Beberapa onderdil mobil keramat ini dikanibal untuk menunjang kinerja Kijang Doyok. Saya kadang membayangkan. Andai Kijang Buaya ini bagian dari keluarga Autobots dalam film Transformers, tentu mudah baginya malih rupa menjadi mobil tipe yang dimau. Alphard, mungkin.
Suatu kali pernah datang pembeli besi tua ke pabrik. Ingin menimbang lalu membeli mobil keramat desa kami. Namun, niatnya langsung ditolak para pemuda. Warga yang mendengarnya menjadi kesal dan meminta pembeli besi tua itu pergi. Pemilik pabrik cuma geleng-geleng kepala saja.
Asal kamu tahu saja, bagi kami, Kijang Buaya itu besinya terbuat dari hati. Hatinya merupakan ingatan warga akan jasa-jasanya. Jadi, maaf saja, mobil keramat ini tidak akan pernah dijual.
BACA JUGA Mereview Panther Dinas Polisi dan Kijang Satpol PP dari Kursi Belakang atau ulasan romantis tentang kendaraan lainnya di rubrik OTOMOJOK.