MOJOK.CO – Mobil Isuzu Panther Grand Touring yang katanya cocok untuk menjelajah di alam bebas ini, ternyata terasa limbung ketika melewati jalur yang menantang.
Sedangkan jalan yang akan kami lewati tidak hanya satu jalur (single track), namun juga tidak rata, bertebaran batu dan kerikil termasuk juga lobang besar disana-sini akibat dilindas truk material yang melintas
Semakin sering menulis untuk rubrik Otomojok buat saya adalah semakin bertambahnya kegundahan dalam hati. Bagaimana tidak, sebanyak mobil atau motor apapun yang saya ulas, rata-rata adalah bukan milik saya pribadi. Termasuk soal mobil Isuzu Panther Grand Touring yang akan saya bahas di bawah ini.
Ya, mau gimana. Lha wong saya memang tidak memiliki kemampuan dan daya dukung istri keuangan. Sehingga tidak bebas mengoleksi mobil layaknya Bung Edi Ah Iyubenu yang sepertinya punya etalase khusus kendaraan di istana mewah tempat tinggalnya.
Pengalaman berkendara dengan Isuzu Panther dengan varian terbaru Grand Touring ini saya dapatkan ketika masih bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara. Ada agenda pekerjaan yang harus saya tunaikan yakni meninjau mesin-mesin yang telah beroperasi sejak saya masih bersekolah dengan mengenakan celana pendek warna biru.
Kali ini saya harus berangkat ke daerah Lhoksukon Selatan yang terletak di Kabupaten Aceh Utara. Jarak antara mess tempat saya menginap di kota Lhokseumawe dengan lokasi tujuan sebenarnya hanya sekitar 30 kilometer. Namun jarak tersebut biasanya harus ditempuh dalam kurun waktu 1,5 sampai 2 jam. Apa pasal? Sabar, nanti akan saya jelaskan.
Ini adalah trip kedua saya menggunakan mobil Panther milik perusahaan ini. Saya sempat bertanya dalam hati, kenapa kok kami tidak menggunakan kendaraan dengan spesifikasi double gardan dan 4-wheel drive. Pasalnya spesifikasi tersebut adalah spesifikasi favorit yang sering dijadikan referensi dalam menentukan mobil operasional di lapangan. Lagipula seingat saya akses jalanan yang akan kami tempuh tergolong tidak mudah. Driver perusahaan yang mengantar kami pun tidak bisa menjawab kegundahan saya.
“Sudah keputusan dari pusatnya begitu, Mas,” ungkap sang driver. Anehnya, ketika mendengar jawaban driver tersebut, saya seperti melihat sekelebatan sebuah kata muncul di dahinya. Efisiensi, itu yang saya baca.
Terus terang saya baru tahu bahwa mobil yang saya kendarai adalah mobil keluaran tahun 2016. Sudah lama sekali saya tidak menjumpai atau naik mobil Panther sehingga saya agak kaget dengan hal ini.
Oooh, ternyata Panther masih ada ya edisi barunya, demikian pikir saya. Karena dari penampilan dan eksteriornya nampak tidak jauh beda dengan Panther edisi lama –kalau tak mau dibilang membosankan. Interiornya pun tidak nampak spesial, tidak berlekuk-lekuk dan futuristik macam produk keluaran Toyota masa kini.
“Mobilnya agak limbung ya. Goyangannya lebih terasa dibandingkan Innova”.
Demikian pendapat rekan kerja di samping saya saat mobil melakukan beberapa manuver untuk menghindari sapi, kerbau dan kambing yang berjalan santai melintas di tengah jalan raya.
Ya, apabila Anda berkunjung ke daerah Aceh Utara, maka pemandangan semacam ini adalah lazim adanya. Bukan karena penduduk setempat menganggap hewan tersebut sebagai hewan suci sebagaimana halnya di Bali atau India. Tapi karena memang dibiarkan saja seperti itu oleh sang pemilik ternak. Padahal sudah sejak lama pemerintah daerah menganjurkan agar binatang ternak tersebut dimasukkan ke kandang sebagaimana mestinya.
“Kalau hewannya ketabrak, pemiliknya malah lari. Karena takut disuruh ganti rugi mobil yang lecet akibat tabrakan dengan hewan”, seloroh Pak Deni (bukan nama sebenarnya), pekerja sekaligus warga lokal yang bertugas menemani kami.
Saya manggut-manggut saja mendengar penjelasan Pak Deni tentang hewan ternak yang menganggap jalan raya adalah lahan tempat bermainnya. Saya enggan berkomentar karena sedang beradaptasi di dalam mobil Isuzu Panther Grand Touring ini dengan cara mencari posisi duduk yang enak.
Saya setuju dengan pendapat rekan saya tadi bahwa mobil ini memang terasa lebih limbung dibandingkan dengan produk sekelasnya, Innova. Seingat saya yang telah berkali-kali naik produk jebolan Toyota tersebut, goyangan dan ‘bantingan’ di dalam kabin tidak begitu terasa walaupun sopir di kursi depan melakukan manuver ekstrim, atau akrobat sekalipun. Padahal kedua mobil tersebut menggunakan tipe suspensi yang sama, Coil Spring.
Sepanjang perjalanan, saya terus mengamati bagian-bagian dari mobil Isuzu Panther Grand Touring ini. Sempat saya merasakan dingin di tengkuk dan kepala, rupanya karena double blower AC mobil ini terletak tepat di belakang kami. Fyi, saya dan rekan saya duduk di kursi tengah. Semburan hawa dingin AC tepat di belakang kepala, ditambah dengan goyangan mobil yang aduhai, rasanya bukan kombinasi yang pas untuk tubuh kita. Alih-alih relaks, justru mual yang bisa terjadi.
Oh ya, di antara kami berdua tersedia sandaran lengan. Fitur model captain seat ini menurut saya justru tambah menyita space yang ada. Karena lebar mobil ini hanya 1.770 mm, lebih pendek 60 mm dibandingkan dengan Innova.
Bosan dengan interior yang biasa saja, saya minta pak sopir menyalakan musik. Siapa tahu suasana menjadi lebih nyaman. Tidak ada touch screen di depan tapi ada monitor kecil yang terpasang di roof bagian tengah. Lumayanlah, suara sengau Ebiet G. Ade menemani perenungan saya soal kendaraan ini.
Tak lama kemudian mobil Isuzu Panther Grand Touring ini mulai memasuki jalan dengan pemandangan kebun kelapa sawit di kanan kiri. Saya sempat membaca plang nama yang terpasang –Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) Cot Girek. Wilayah perkebunan ini tadinya adalah perkebunan tebu. Dulu pernah berdiri dengan megah pabrik pengolahan gula disini. Saking besarnya kapasitas produksinya, pabrik ini memiliki pembangkit listrik sendiri, bahkan punya lapangan terbang sendiri.
Saya terhenyak mendengar penjelasan Pak Deni soal pabrik gula ini. Saya membayangkan bahwa tentu pada masa jayanya, pabrik gula ini pasti menampung banyak tenaga kerja dan menyumbang banyak untuk pendapatan daerah. Mendadak saya merasa kasihan pada mereka yang akhir-akhir ini berteriak lantang menyuarakan anti-gula padahal jaman dulu, gula merupakan salah satu komoditas penggerak ekonomi rakyat.
Lamunan saya terhenti saat mobil mulai memasuki ruas jalan yang akan menyiksa pantat kami selama kurang lebih satu jam kedepan. Anda sudah nonton film Marlina si pembunuh dalam Empat Babak? Latar belakang film itu menyorot ruas jalan yang hanya ada satu jalur. Beruntungnya Marlina, karena jalanan itu sudah beraspal. Sedangkan jalan yang akan kami lewati tidak hanya satu jalur (single track), namun juga tidak rata, bertebaran batu dan kerikil termasuk juga lobang besar disana-sini akibat dilindas truk material yang melintas. Kadang mobil melaju perlahan saat harus menghindari lubang yang bisa mencapai 15 cm kedalamannya.
Itulah kenapa saya bilang di awal, seharusnya kami menggunakan mobil double cabin semacam Toyota Hilux atau Ford Ranger untuk sukses menembus area ini dengan nyaman.
Beruntung Panther ini memiliki ground clearance yang tinggi sehingga kami tidak bermasalah saat melewati lubang-lubang tersebut. Hal ini didukung juga dengan spesifikasi ban yang lebih lebar, ukuran 235/70 walaupun radius ban hanya R15. Barangkali ini satu-satunya keunggulan mobil tersebut.
Saya menoleh ke sebelah kiri, penasaran kenapa rekan saya tidak mengeluh soal kondisi jalanan seperti ini. Ternyata rekan saya yang berkomentar bahwa mobil ini lebih limbung daripada Innova tadi sudah terlelap. Saya heran, kok ada orang yang bisa tertidur saat keadaan seperti ini. Saya ambil ponsel berniat untuk mencari hiburan. Nihil. Sinyal telepon lenyap di daerah ini. Daya ponsel saya pun tinggal separuh, sepertinya power terkuras karena gawai berusaha mencari sinyal terus. Saya tak mampu menemukan colokan USB khusus untuk charging batere ponsel.
Saya haqqul yaqin, seorang pemuda yang mengklaim dirinya petualang, generasi millennial yang gemar memakai kaos bertuliskan “My Live My Adventure” niscaya akan mencoret jenis mobil ini dari daftar keinginannya. Buat apa berswafoto di daerah pedalaman nan eksotis kalau tidak bisa segera pamer dengan mengunggah foto ke media sosial lantaran habis batere?
Pasrah bahwa memang tak ada (lagi) yang spesial dari kendaraan ini akhirnya sukses membuat saya menyusul rekan saya. Tidur.
Saya lupa berapa lama saya tertidur. Saya sempat mendengar obrolan Pak Deni dengan rekan saya yang sudah duluan terjaga, soal jengkol yang harganya lebih murah di Aceh (per kilo cukup lima ribu saja!), soal lahan di Lhoksukon yang dibanderol 14 juta rupiah per hektar dan banyak hal lain. Saya masih malas untuk bangun.
“Pak Rulli nanti pulang dari sini mau makan apa? Mau mie aceh ‘spesial’ yang bisa bikin tambah ngantuk?”, tanya Pak Deni sembari terkekeh dengan senyum misterius.
Saya langsung bangun.