MOJOK.CO – Honda City sedan siap diajak lari kencang, dengan kendali yang tetap prima. Ini mobil lembut, tetapi jangan sesekali meremehkan tenaganya.
Siang itu, tepat pukul 13:30, saya tiba di sebuah perumahan mewah di utara Kota Jogja. Saya akan memenuhi permintaan seorang tamu langganan yang meminta saya menyupiri mereka menuju Pandeglang untuk menghadiri acara pernikahan.
Beberapa hari sebelumnya, beliau bertanya kepada saya via WhatsApp.
“Rul, nanti ke Pandeglang enaknya kita bawa mobil Honda City Hatchback atau City Sedan?”
Saya hanya menjawab, “Monggo, terserah saja, saya ngikut.”
Sejauh ini, saya belum pernah membawa Honda City generasi baru ini. Baik versi Hatchback atau Sedan. Namun, saya yakin kedua mobil ini tetap menjadi pilihan bagus untuk perjalanan jauh. Khususnya sebuah perjalanan dengan 4 orang di dalam mobil; 3 orang dewasa termasuk saya dan seorang anak usia 9-10 tahun. Jadi, jujur saja, saya sudah menantikan momen-momen ini.
Hari yang dijanjikan tiba juga. Saya akan mengendarai sebuah hatchback yang mendapat predikat sebagai pengganti sepadan untuk Honda Jazz. Untuk pembaca yang belum tahu, Honda Jazz sudah stop produksi pada Februari 2021. Namun, ternyata, hari itu saya akan membawa Honda City sedan.
Saya pernah membawa Honda City pada 2010, 2012, dan menjadi penumpang pada 2017. Tentu, fitur dan lainnya sudah jauh berbeda dengan yang sekarang. Saya ingat betul kenyamanan sebagai sopir dan penumpang di sedan kelas menengah pengganti Honda Jazz yang sudah menjadi legenda itu.
Kokpitnya memang nyaman. Sebagai penumpang dengan tinggi 185 sentimeter, saya tidak merasa sempit. Yah, walau kurang ideal untuk perjalanan jauh.
Kesalahan sopir yang kali pertama membawa Honda City sedan: terlalu percaya pengaturan pabrik
Sebelum masuk ke kokpit, saya mengamati dulu luaran Honda City sedan keluaran 2023 ini. Yang saya mengamati adalah desain bodi luar, velg, ban, dan beberapa detail lain. Setelah itu, baru saya masuk ke dalam kokpit dan tidak ada rasa kaget.
Untungnya, saya tidak menemukan fitur-fitur asing, seperti ketika saya mengendarai Hyundai Ioniq atau Creta. Dua mobil ini mempunyai tampilan baru dan membuat sopir rental langganan dan terbiasa membawa Innova Reborn dan Avanza seperti saya menjadi kagok. Jadi, tidak ada culture shock yang membuat saya terlihat kampungan.
Namun, tetap saja saya membuat kesalahan ketika kali pertama mengendarai Honda City sedan ini. Saya terlalu percaya diri untuk tidak mengatur sensor keamanan yang mengaktifkan rem otomatis apabila ada kendaraan atau sesuatu yang membahayakan mobil.
Padahal, keluarga kecil yang menjadi langganan ini sudah mengingatkan saya. Katanya, atur semua fitur sesuai kenyamanan saya. Mengingat kami akan menempuh perjalanan jauh. Namun, lantaran terlalu percaya dengan pengaturan pabrik, saya asal jalan saja. Dan ternyata saya salah.
Kejadiannya di jalur alternatif dari arah Jalan Kaliurang menuju Manisrenggo. Ada pengendara motor yang berbelok, keluar dari persimpangan jalan. Jaraknya mungkin sekitar 5 sampai 7 meter saja dari Honda City yang saya bawa.
Sopir yang memalukan
Saya terbiasa berkendara mepet/presisi atau kadang disebut titis dalam Bahasa Jawa. Maksudnya, jarak kendaraan dengan pembatas, atau sesuatu di depan, terjaga jaraknya. Nah, saat itu, saya lupa kalau pengereman otomatis Honda City masih terpasang.
Jadi sudah, tiba-tiba mobil mengerem mendadak. Mobil itu mengeluarkan suara keras seperti yang bisa kalian dengar di mobil-mobil generasi baru (2020 ke atas) ketika fitur keamanan aktif.
Sontak kami berempat kaget. Selama beberapa detik kami semua terdiam. Sang suami, yang duduk di kursi depan memecah keheningan. Beliau lantas menjelaskan kalau ada fitur pengereman otomatis berjarak 5 sampai 6 meter.
Fitur pengereman otomatis Honda City ini bisa menyesuaikan. Jika ada kendaraan masuk ke dalam “zona pengereman”, ya rem akan aktif. Baik kendaraan dari depan atau belakang. Yah, akibat kejadian tadi, semua orang di jalan mendadak mengalihkan pandangan kepada kami. Dasar sopir malu-maluin saja, pikir saya.
Baca halaman selanjutnya: Terlihat menipu, Honda City terlihat kalem, tapi galak bertenaga.
Godaan untuk membawa Honda City berlari lebih kencang
Sang suami juga menjelaskan bahwa selain Brake Assistant atau Collision Mitigation Braking System (CMBS), ada juga Lane Assistant yang sangat membantu apabila berkendara di jalan tol. Mungkin ini yang disebut sebagai “Honda Sensing”. Tapi dasar saya sopir kuno dan terbiasa tanpa bantuan teknologi seperti “Honda Sensing”, saya akhirnya mematikan 2 fitur tadi. Yah, supaya berkendara bisa lebih “luwes” saja.
Selepas dari Manisrenggo, kami mulai sedikit meliuk-meliuk untuk mendahului mobil lain di Jalan Raya Boyolali menuju pintu tol. Mode berkendara masih menggunakan ECO alias lebih kalem. Saya merasa belum membutuhkan mode Sport yang “jambakan” tenaganya lebih responsif dengan tenaga yang tentu lebih terasa besar.
Saat pintu tol Boyolali hanya berjarak 10 meteran, seketika jantung saya mulai berdetak lebih cepat. Muncul godaan untuk mencoba seberapa kencang dan stabil Honda City ini. Namun, saya juga harus bisa menjaga tamu tetap merasa aman dan nyaman. Terlebih paddle shift di kiri dan kanan setir mobil seperti bergerak memanggil saya untuk ngebut.
Saya menggunakan jalan tol Boyolali-Kendal-Batang untuk “perkenalan” dengan sensitivitas kendali, getaran shock, suara, tekanan ban standar, beban yang dibawa, belokan demi belokan, pengereman, hingga jalanan yang kadang sedikit rusak atau bergelombang. Selepas Batang, saya menambah kecepatan.
Saya memperhatikan spion tengah dan mengukur situasi. Jika penumpang di samping saya, dengan kecepatan 100 sampai 120 km/jam, masih aman dan semua orang terlihat rileks atau malah terlelap, pedal gas saya injak lagi untuk menembus kecepatan 140 km/jam.
Beruntung, kami melakukan perjalanan saat siang hari. Jadi, jalanan bisa terlihat dengan jelas. Setelah 140 km/jam, sesekali saya coba juga menginjak gas hingga jarum speedometer mencapai angka 150-160. Tapi itu hanya sesekali, karena setiap ada jalan bergelombang, sedikit saja, rasanya Honda City ini agak “terbang”.
Kendali mobil yang memang nyaman
Selepas Cirebon, saya kembali berkendara di kecepatan 100-120 km/jam. Kami nyaris tidak merasa kelelahan menempuh perjalanan Jogja-Cirebon.
Yah, mau mobil merk apa saja, ketika berada di kokpit sedan, orang yang paling nyaman adalah sopir. Bersama Honda City sedan ini, saya tidak merasa pegal di persendian tangan, punggung kram, pantat sakit, atau kaki terasa kaku.
Ilustrasinya kayak gini.
Kalau mengendarai mobil selain sedan, kalian perlu berhenti untuk istirahat merokok dan ngopi 3 jam sekali. Saat mengendarai sedan, kalian sanggup nonstop jalan 4-5 jam sebelum rasa jenuh atau lengan terasa kaku mulai muncul. Tapi tergantung juga gaya berkendara atau “manajemen otot dan sendi” kalian ketika perjalanan jauh. Ini butuh jam terbang sih.
Nah, sebelum sampai Pandeglang, kami mampir dulu untuk menginap di Jakarta. Tamu saya tidak kuat apabila harus nonstop melakukan perjalanan dari Jogja menuju Pandeglang di hari yang sama. Yah, walaupun kami bisa saja berhenti dan istirahat lama di Rest Area jalan tol.
Mampir ke Jakarta
Sekitar pukul 22:00 kami sudah melintasi Jakarta Outer Ring Road (JOR) menuju hotel di daerah Jakarta Selatan. Total, perjalanan kami dari Jogja ke Jakarta bersama Honda City dengan beberapa kali berhenti di rest area menghabiskan 8 jam.
Ini durasi rata-rata perjalanan Jogja-Jakarta, dan saya, nyaris tidak merasa lelah. Selain kondisi badan sedang fit, mobil yang saya kendarai ini sedan. Jelas akan lain cerita kalau bawa Luxio, Avanza, atau Gran Max Blind Van.
Sesampainya di kamar hotel, saya mendapat pesan WhatsApp dari tamu saya. Kami akan melanjutkan perjalanan lagi pada pukul 11 siang menuju sebuah hotel di Pandeglang. Tentu lewat jalan tol lagi dan bukan sesuatu yang melelahkan. Kami hanya akan menempuh perjalanan selama 2 jam dengan kecepatan santai, maksimal di kecepatan 120 km/jam.
Malam itu, tidur saya selama 4 sampai 5 jam benar-benar pulas. Tidak ada mimpi. Tidak ada rasa lelah sama sekali. Oya, kami menginap di Pandeglang semata-mata agar keberangkatan kami menuju daerah Menes tidak terburu-buru. Dari Pandeglang menuju Menes memerlukan waktu 45 menit hingga 1 jam dalam kondisi lancar, baik melewati jalur Labuan atau Mandalawangi.
Lembutnya Honda City agak “menipu”
Untuk mencapai Menes dari Pandeglang, kami mengambil jalur bawah, yaitu Labuan. Sekilas, jalur ini mirip rute Bawen, Purwodadi-Blora, atau Karang Pucung.
Kami nyaris tidak mendapat kendala. Honda City sedan ini mampu melahap semua belokan dan tanjakan dengan lembut. Untuk rute ini, saya sengaja menggunakan mode Sport tanpa paddle shift. Semata untuk menguji tenaganya saat beberapa kali mendahului truk besar dan panjang, bahkan menyalip di tikungan menanjak. Jadi, mobil ini memang “agak menipu”. Terlihat lembut, tapi galak bertenaga.
Tolong jangan meniru gaya berkendara saya, ya. Sekali lagi, ini soal jam terbang, intuisi, dan teknik. Kendali Honda City sendiri sama sekali tidak bermasalah, walau kecepatan ada di atas 60 km/jam dan sesekali menyentuh angka 100. Kami sedikit terburu-buru pagi itu, karena tamu saya akan menjadi saksi pernikahan.
Konsumsi BBM
Selesai acara, istri tamu saya meminta agar saat pulang kami tidak perlu buru-buru. Lalu, kami turun lagi menuju Pandeglang, untuk makan siang, lalu mencoba Tol Bitung untuk kembali menginap di Jakarta sebelum kembali ke Jogja.
Sepanjang Tol Bitung hingga masuk JOR, saya kembali sesekali bermain dengan mode Sport dan paddle shift. Saya tidak menggunakan mode Sport dalam waktu yang lam semata-mata ingin menguji seberapa besar konsumsi BBM.
Selama perjalanan 5 hari dengan kondisi full tank, kami hanya mengisi BBM menggunakan Pertamax senilai Rp1 juta. Kami menggunakan mode ECO nyaris di 80% perjalanan. Meski dengan mode seperti itu, tenaga Honda City ini masih powerfull sekalipun di tanjakan panjang jalan tol atau di kelokan sekitar Boyolali dan Pandeglang.
Preferensi pribadi: Honda Jazz
Secara keseluruhan, Honda City ini gesit, bertenaga bagus, kendali juga bagus. Sementara di kaki-kaki atau roda, ada sedikit perbedaan ketika kita menggunakan mobil sedan dari merek lain. Misalnya seperti Toyota, yang shockbreaker-nya terasa lebih empuk, tapi tentu akan terasa limbung ketika berbelok dalam kecepatan tinggi.
Saya berani menjamin bahwa Honda City ini lebih dari cukup untuk memuaskan kamu yang ingin berkendara dengan sedan. Semua aspek ada di atas rata-rata. Mulai dari sensasi berkendara, kenyamanan, hingga fitur. Kelengkapan dan bagian pendukung seperti head unit, jok, fitur stir, pedal gas dan rem yang lembut, kekedapan hingga bagasi, ada di atas rata-rata.
Untuk sedan kelas menengah, New Honda City Sedan ini salah satu mobil yang memiliki fitur dan kenyamanan berkendara yang bagus. Namun, kalau harus memilih mana yang lebih baik dari segi kenyamanan sopir, kendali, serta sensasi berkendara, Honda Jazz Gen 3 masih tetap pilihan pertama saya.
Tapi sekali lagi, ini preferensi pribadi. Kalau harus mengulangi berkendara dari Jogja menuju Pandeglang dan ada 2 pilihan mobil; New Honda City Sedan atau Jazz generasi ketiga, rasanya saya akan memilih untuk membawa Honda Jazz.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Honda Freed: Mobil Honda Kecintaan Mama Muda dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.