MOJOK.CO – Honda CBR 150R datang berkat restu dari ibu. Doa yang membuat sport fairing paket komplet ini jadi awet dan pengertian.
November 2020. Saat itu, dana pensiun almarhum bapak akhirnya turun. Ibu dan adik saya sudah semacam menyiapkan proposal anggaran untuk renovasi rumah dan membeli perabot baru. Alhamdulillah, dana pensiun bapak masih sisa. Oleh sebab itu, saya kebagian program peremajaan sepeda motor. Yes!
Saya sendiri sadar kalau sisa dana pensiun bapak nggak bakal cukup untuk memboyong motor baru kelas 150cc berkaburator. Duh, harganya sudah masuk range harga mobil second tahun 90an. Oleh sebab itu, “prpposal” yang saya ajukan pun menyesuaikan. Bapak dan ibu akhirnya setuju dengan syarat salah satu motor di rumah harus dijual dulu.
Sebetulnya, menjual motor yang ada di rumah bukan pilihan mudah. Di rumah, sudah ada Supra X 125 kepunyaan bapak. Motor ini sesak akan kenangan. Motor yang sudah menemani saya selama 10 tahun lebih. Sejak SMA hingga lulus kuliah, sampai menemani mengisi masa-masa menganggur. Pengalaman saya ngojol pun ditemani Supra X tersebut.
Selain Supra X, ada Mio J injeksi yang dulu dipakai adik perempuan saya. Sehari-hari saya pakai untuk ngojol juga, belanja, dan kondangan. Lalu ada Honda Verza hasil koperasi yang biasa dipakai adik laki-laki saya. Yah, kalau dipikir, sudah ada tiga sepeda motor, sedangkan yang doyan pakai motor cuma saya dan adik laki-laki.
Yah, dengan berat hati, Supra X penuh kenangan itu akhirnya yang dijual. Lagian, ibu sering merengut lantaran tagihan reparasi motor keluaran Honda itu mengalir terus. Hasil penjualan Supra X tersebut dimasukkan ke dalam proposal peremajaan motor saya. Target saya adalah motor 150cc berkopling dan salah satu incaran saya adalah Honda CBR 150R 2014.
Setelah mendapatkan persetujuan terkait Honda CBR 150R, saya berburu via marketplace, terutama Facebook. Sebetulnya, selain Honda CBR 150R, saya juga kepincut sama Supra GTR. Sebuah keinginan yang langsung ditampik sama ibu.
“Lah? Supra lagi? Dulu sudah pakai Supra, sekarang mau beli Supra lagi?
Saya tahu ibu sudah agak malas sama reparasi Supra. Meski yang saya inginkan ini sangat berbeda dari Supra X.
“Tapi, kan, motor bebek juga. Beli yang sport, sesuai sama tinggi badanmu,” kata ibu.
“Yah, harganya di atas anggaran awal, Bu,” saya coba memberikan pengertian.
“Nggak papa, GAS AJA!” Tegas Ibu.
Wah, tumben. Mumpung suasana hati ibu lagi bagus, saja ajukan nama Honda CBR 150R. Hitung-hitung dulu saya pernah test ride Honda CBR 150R tapi yang keluaran 2012. Dulu, saya langsung kesengsem sama motor naked premium turunan Honda CBR 150R Thailand, yang kencang meski tampangnya nggak banget, kayak Verza hasil sitaan bank.
Saya laporkan ke bapak dan ibu. “Bu, ini Honda CBR 150R lama. Masih bagus, cuma perlu ganti ban sama lampu saja. Selebihnya aman.”
“Nah ini tampan! Cocok buat kamu.”
“Tapi uangnya naik lumayan dari awal. Nambah Rp3 juta lagi.”
“Sudah, aman itu! Bungkus saja,” ujar Ibu meyakinkan.
Hati saya langsung bungah. Besoknya, saya langsung mengontak pemilik Honda CBR 150R itu. Tak butuh waktu lama, motor idaman saya sudah nangkring di rumah, tidak lupa ban dan lampu sudah saya ganti.
Saya pakai LED untuk lampu biar kelistrikannya nggak gampang ngambek. Iya, motor ini rewel di bagian situ, terutama sepul dan kiprok yang dipaksa angkat bohlam jadul 35 Watt dikali dua. Akhirnya, penantian selama 10 tahun punya motor kopling beneran terwujud!
Saat dibawa, Honda CBR 150R terasa memberikan gengsi lebih. Sesuai harapan saya, mesin dengan takometer yang menunjukkan redline di 13 ribu RPM (mentok di 12 ribu RPM) seakan membuat rider-nya terus ngegas diputaran tinggi tanpa getaran. Hal ini yang membuat saya makin suka sama mesin dengan kode K15 ketimbang k56 klotok-klotok yang banyak isu itu.
Tampliannya memang bukan selera anak muda. Mana itu buntut belakangnya datar ada behelnya pula. Kalah telak sama kompetitor yang buntutnya sporty dan seksi. Namun, Honda CBR 150R ini terkadang sukses menipu mata awam yang mengira ini core of the core-nya CBR. Lucu juga.
Jok datar Honda CBR 150R menawarkan kenyamanan lebih ke penumpang serta pengendaranya. Kalau kepepet, masih bisa dipakai untuk ikat kardus di belakang. Intinya, ini motor yang bisa diajak susah. Yang model R15 nggak bakalan bisa untuk diajak susah.
Iseng-iseng saya tes Honda CBR 150R di Jalinsum (Jalan Lintas Sumatera) Jambi-Merlung dengan aspal mulus tapi banyak tikungan. Saya ajak ke high speed. Enak betul ini motor. Handling-nya mudah dijinakkan dan terkontrol. Honda CBR 150R bisa diajak santai kayak naik Vespa, bisa juga “ditarik” ala pembalap.
Sedikit derita bersama Honda CBR 150R
Namun, kebahagiaan di atas tak berlangsung lama. Satu minggu setelah Honda CBR 150R mendarat di rumah, Honda Verza milik adik laki-laki saya hilang dimaling. Sementara itu, Mio J milik adik sudah diboyong ke Bandung.
Apa mau dikata, Honda CBR 150R saya kebagian tugas untuk belanja ke pasar, menggantikan tugas Mio J. Yah, memang terlihat keren ketika ada CBR parkir di pasar. Namun, sisi kerennya sedikit luntur ketika membawa belanjaan yang kelihatan seperti berusaha keras menyaingi bakul sayuran.
Lantaran masih nganggur, iseng saya pakai Honda CBR 150R untuk ngojol pakai aplikasi kuning. Harapannya, bisa dapat adik-adik gemas. Nyatanya, yang saya dapat malah cancel-an emak-emak yang ogah rempong pas naik CBR. Bukannya dapat yang seru-seru, malah rugi di bensin yang lumayan boros.
Satu tahun pemakaian, ditambah bapak sudah tiada, keuangan agak goyah. Saya harus berhemat dan lebih kritis mengatur keuangan. Sempat ada perasaan untuk menjual Honda CBR 150R. Saya bahkan sempat memasang iklan penjualan motor. Namun, entah kenapa, CBR saya sulit laku, beda banget sama CBR lain. Seakan-akan, sudah jodohnya, mungkin.
Suatu kali tabungan saya sempat ludes ketika harus membayar Bea Balik Nama (BBN). Padahal posisi saya masih nganggur, dalam artian tidak ada pekerjaan tetap. Sembari saya melahap banyak wawancara kerja, adik dan ibu saya memulai usaha donat kentang online.
Saya kebagian menjadi kurir. Mengantar donat ketang pesanan tentu saja mengendarai Honda CBR 150R. Sekali lagi, CBR satu ini memberikan “kenyamanan” di tengah kesusahan. Meski joknya keras dan adik saya sering mengeluh, tapi posisi pembonceng tetap nyaman. Apalagi ketika harus membawa donat kentang pesanan dalam jumlah banyak.
Motor satu ini menjadi semacam “pertolongan dari Atas” ketika harus mengantar banyak pesanan dalam rentang waktu yang terbilang sempit. Iya, alhamdulillah, pesanan donat kentang ibu saya cukup lancar.
Sampai akhirnya saya mendapatkan kerja tetap dengan gaji layak, setiap pagi, saya masih menunggani Honda CBR 150R untuk mengantar pesanan donat.
Satu hal yang paling penting adalah Honda CBR 150R saya sangat jarang “jajan”. Dibandingkan Supra X 125 milik almarhum bapak dulu, CBR saya lebih pengertian. Malah biaya servisnya bisa lebih murah dibandingkan Honda Beat. Satu hal yang saya jaga betul dari motor ini adalah bodinya. Amit-amit kalau pecah bikin tabungan menangis!
Saya salut dengan Honda CBR 150R. Motor yang seakan bisa menyeimbangkan banyak fungsi, antara performa dan gaya. Sudah paket komplet. Mengingat segala perjuangan yang sudah keluarga saya lalui, CBR satu ini tidak akan pernah saya jual. Kenangan di dalamnya terlalu mahal untuk dilupakan.
BACA JUGA Honda Supra dan Pria-pria Goblok yang Dekat dengan Kematian dan kisah inispiratif lainnya di rubrik OTOMOJOK.
Penulis: Ilman Habib
Editor: Yamadipati Seno