MOJOK.CO – Daihatsu Gran Max adalah salah satu mobil terkuat dan tergesit di jalur Jogja Pati. Mobil ini bahkan mampu mengejar dan mepet Toyota Fortuner!
Manja. Apa-apa kok lewat jalan tol. Supir macam apa yang maksa harus lewat jalan tol? bagaimana kalau penumpangnya tidak suka, tidak punya uang, atau memang mau irit selama perjalanan?
Begitu kalimat candaan yang keluar dari salah seorang sopir senior di tempat tunggu para supir di tempat wisata Seribu Batu Songgo Langit, Mangunan, Imogiri. Kalimat yang saya dengar di tahun 2016-an, ketika perlahan tol Jokowi mulai menguasai jalanan antar-kota di sekitar Pantura, Jawa Tengah.
Pertanyaan itu muncul setelah beliau berkenalan dengan seorang sopir dari Jakarta yang membawa rombongan tamu yang liburan ke Jogja menggunakan Hiace. Sungguh, saya memperhatikan betul pembicaraan mereka. Pembicaraan mereka bisa menggambarkan bahwa masalah sopir modern akan kalah dengan jawaban sopir kultural. Ini “sopir lama” yang lahir sebelum era tol muncul, saat Soeharto dan Bakrie masih menguasai jalan tol di beberapa daerah.
Bertahun-tahun kemudian, saya yang memuja-muja akses jalan tol sebagai salah satu cara mempermudah perjalanan seperti ditampar keras. Alasannya adalah suatu hari saya mendapat tawaran mengangkut ikan segar dengan rute start dari Jogja via Kopeng-Salatiga-Purwodadi-Kudus dan finish di Juwana, Pati, menggunakan Daihatsu Gran Max.
Menerima pekerjaan yang terbilang baru untuk saya
Sebelum menerima tawaran ini, saya sempat mengobrol dengan pemberi kerja. Jadi, saya mendapatkan penjelasan bahwa keputusan tidak masuk tol semata-mata untuk mengurangi biaya perjalanan. Hal ini nantinya akan berpengaruh ke harga ikan per kilogram-nya.
Dan, untuk melibas perjalanan ini, si pemberi kerja menyerahkan kunci Daihatsu Gran Max (blind van) kepada saya. Gran Max yang saya bawa adalah tipe mesin 1,3 L, 4 silinder. Setahu saya, beban mobil kosong sekitar 1.800 kilogram dengan transmisi 5 kecepatan manual.
Mendengar kata manual, saya merasa lebih percaya diri ketimbang harus mengangkat barang menggunakan mobil matik. Tentu ini semata-mata mengenai kebiasaan menggunakan mode engine break di situasi tertentu.
Sebetulnya saya masih ragu menerima tawaran ini. Namun, setelah menimbangnya beberapa jam, saya mau juga. Alasannya karena belum pernah membawa barang atau angkutan lain selain manusia. Yah, sesekali mencoba sesuatu yang baru. Apalagi bawa Daihatsu Gran Max.
Setelah resmi menerima pekerjaan ini, si pemberi kerja, yang kebetulan senior saya, memberi tahu bahwa berat ikan yang harus saya bawa adalah 500 kilogram. Saya semakin kaget karena kalau pesanan ikan sedang banyak, berat yang harus saya bawa bisa sampai 800 kilogram. Saya langsung membayangkan membawa ikan 800 kilogram menggunakan Daihatsu Gran Max, melewati tanjakan cukup berat di Kopeng dan daerah Bawen. Ini jelas perlu teknik khusus agar mobil kuat menanjak.
Perjalanan pertama bersama Daihatsu Gran Max menuju Pati
Sejujurnya saya kembali ragu. Namun, rasa penasaran membuat saya akhirnya berangkat juga menuju Juwana, Pati. Di perjalanan pertama bersama Daihatsu Gran Max, saya mengajak seorang teman bernama Angga.
Kami berangkat pukul 4 pagi dengan estimasi perjalanan sekitar 4-5 jam. Saya akan membawa Daihatsu Gran Max menempuh rute Kopeng-Pasar Gajah, loading barang 1-2 jam, dan pulang via jalur Bawen-Magelang.
Aktivitas loading bisa lama karena gudang tempat mengambil ikan adalah salah satu gudang besar dan ternama di Juwana. Jadi banyak truk besar yang mengantre. Selesai loading, kami harus langsung tancap gas kembali ke Jogja. Ikan beku (beku kapal) tidak boleh lama-lama berada di luar. Apalagi hanya menggunakan box fiber seperti kotak minuman dingin dan harus melewati teriknya Pantura.
Angga mulai khawatir dengan tenaga Daihatsu Gran Max ketika mobil terasa lebih berat. Apalagi pengeremannya tidak maksimal, jauh lebih lambat, dan tidak seketika bisa melakukan rem mendadak seperti ketika mobil kosong. Kami khawatir ban akan bocor atau bahkan pecah.
Saat itu, saya mengangkut 600 kilogram ikan. Namun, lantaran ini perjalanan pertama, memiliki kekhawatiran cukup besar. Apalagi kami tidak lewat tol, di mana kondisi jalannya jelek, khususnya Pantura, dari Kudus ke arah Pati, Pasar Gajah, hingga Pasar Mranggen. Sial, Google Map membuat kami nyasar karena memberikan jalur alternatif yang membingungkan hingga kami kemalaman sampai di Jogja.
Normalnya, sopir sebelum saya akan menghabiskan durasi selama 10-11 jam sekali jalan PP dan tidak mengantre di gudang Juwana. Tapi saat itu, saya menempuh perjalanan selama 14 jam. Waktu tempuh yang tidak diharapkan oleh pemakai jasa saya.
Baca halaman selanjutnya: Mobil kaleng yang mampu mengejar larinya Fortuner.
Perjalanan kedua dan sebuah tekad
Untuk perjalanan kedua, saya bertekad untuk lebih cepat. Apalagi saya sudah agak lebih memahami kendali dan tenaga Daihatsu Gran Max blind van ini.
Misalnya, dalam keadaan kosong, akselerasi dan gesitnya saat menyalip nyaris menyamai mobil sekelas Avanza baru atau hatchback. Saya bahkan berani membuntuti Fortuner sepanjang jalur Jalan Magelang-Muntilan Hingga Kopeng, yang berkisar di kecepatan 100-120 km /jam. Jangan sampai kamu menyepelekan tenaga Gran Max, meski suara raungan mesinnya agak menyeramkan.
Di perjalanan kedua, saya kembali berangkat pukul 4 pagi dari daerah Kapten Haryadi, Sleman. Sebelumnya, saya mengecek kondisi mobil, termasuk tekanan angin ban yang diisi 36 di depan dan 42 di bagian belakang.
Daihatsu Gran Max yang saya bawa tidak dilengkapi power steering, spion yang bisa diatur menggunakan panel elektronik dan fitur-fitur lain yang memudahkan sopir. Semua dilakukan dengan penuh tantangan, alias manual. Kalau sudah merasa Mitsubishi L300 adalah tantangan, maka kalian perlu mencicipi berkendara dengan Daihatsu Gran Max 1.3 (blind van).
Kecepatan dan kendali Daihatsu Gran Max memang cukup meyakinkan
Saya menempuh perjalanan Jogja-Salatiga melalui jalur Muntilan-Kopeng hanya dalam waktu 1,5 Jam. Sementara Salatiga-Kudus melalui jalur Gubug-Gajah saya tempuh dalam waktu 2 jam 30 menit.
Memang, getaran-getaran di dalam mobil jadi sangat terasa dan terdengar “berisik”. Maklum, bagian belakang mobil ini hanya ditutupi “kaleng” tanpa peredam seperti mobil penumpang. Jadi, benturan badan mobil, ban, dan shockbreaker terdengar keras tiap melewati jalanan yang tidak mulus.
Saya tiba di Juwana dengan total waktu tempuh 5 jam lebih 10-20 menit. Bisa lebih cepat kalau saja tidak tersendat aktivitas masyarakat di pagi hari. Jalanan ramai anak sekolah, orang berangkat kerja, ada pasar kaget, kena palang kereta, dan lain sebagainya.
Di Juwana saya hanya butuh waktu 1 jam untuk bongkar muat barang karena masih pagi dan belum ada antrean. Saya berencana pulang ke Jogja dengan rute Pasar Gajah-Mranggen-TOL-Bawen-Magelang. Sepanjang perjalanan melewati Pantura hingga Pasar Gajah dengan kondisi jalan yang tidak baik membuat kekhawatiran sedikit meninggi. Apalagi kondisi jalan dan muatan saat itu 700 kilogram lebih.
Selama rute awal, saya memacu Daihatsu Gran Max di kecepatan 60 km/jam. Lalu, saya naik ke 80 km/jam ketika melihat kondisi jalannya bagus.
Mengingat saya membawa muatan yang berat, jarak pengereman tidak bisa sebaik mobil penumpang. Jadi, kita harus ancang-ancang cukup jauh saat mengerem.
Untungnya, karena Daihatsu Gran Max adalah mobil manual, maka engine brake cukup membantu pengereman. Kali ini, tantangan berkendara seorang diri menjadi sensasi menyebalkan, sekaligus menyenangkan.
Perjalanan ketiga: Mencoba jalur berbeda
Setelah melalui jalanan via Kopeng-Salatiga-Gajah-Kudus, saya penasaran mencoba rute timur. Salah satu alasannya adalah Pantura dan Grobogan sedang banjir. Jalur timur ini melintasi Manisrenggo-Klaten-Surakarta-Purwodadi-Blora hingga tembus jalur lingkar luar Pati.
Menurut informasi, jalur ini sudah lebih baik dari beberapa tahun sebelumnya. Bahkan sedikit lebih baik dari jalur yang saya lewati 2 kali sebelumnya, yaitu Salatiga-Gajahan-Kudus.
Saya meminta kepada senior saya untuk mengambil rute timur. Dia setuju selama saya selalu menghidupkan Google Map. Baginya, yang pernah mencoba rute tersebut, jalannya akan sangat membingungkan. Bermodalkan pengalaman mengendalikan Daihatsu Gran Max dalam kondisi mobil sehat, kosong, maupun dengan muatan berat, percaya diri saya semakin menjadi-jadi.
Lagipula, bukannya bermaksud sombong. Saya bukan supir kemarin sore yang baru mahir membawa Ayla-Agya-Avanza matik tanpa muatan dan dengan fitur serta kendali manja.
Saya kemudian berangkat lebih pagi, sekitar pukul 3 pagi karena mengantisipasi kemungkinan rute nyasar dan titik-titik rawan banjir. Tapi nyatanya, semua berjalan mulus.
Sejak Surakarta-Sugihwaras-Ngandong-Kajen, semua nyaris tanpa halangan berarti. Hanya sedikit persoalan di daerah Sukolilo karena tanjakan dan turunan. Khususnya ketika membawa muatan banyak dan harus berpapasan dengan kendaraan besar yang sulit menanjak. Jalur ini juga dikenal juga sebagai jalur taksi gelap Jogja-Pati.
PR terbesar saya adalah sebuah tikungan tajam sekaligus menanjak ketika masuk Sukolilo dari arah Kudus. Kalau saya memaksa menggunakan gigi 2, maka butuh akselerasi tepat atau ancang-ancang agak panjang sebelum melewati tikungan dan tanjakan “V” itu. Apalagi saya membawa muatan super berat ketika pulang dari Pati. Tapi nyatanya, bersama Daihatsu Gran Max, saya melewati tanjakan itu tanpa kendala.
Apakah Daihatsu Gran Max sehebat itu?
Dari 3 kali perjalanan Jogja-Pati-Jogja, saya bisa memastikan bahwa Daihatsu Gran Max adalah salah satu mobil terkuat dan tergesit. Ia bisa menyaingi Mitsubishi L300 dan mobil box jenis Suzuki.
Setelah menjalani 3 perjalanan itu, adrenalin saya selalu naik setiap tawaran dari Mas Abhi datang. Membawa Daihatsu Gran Max jadi kesenangan tersendiri.
Oya, Mas Abhi adalah senior saya. Dia adalah pemilik warung “Premium Seafood Jogja” yang beralamat di Jl. Kapten Haryadi No.43, Ngentak, Sinduharjo, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Jogja. Saya berani menjamin seafood di sana segar dan terkurasi dengan baik. Lha wong saya yang membawa ikannya langsung.
Soal perjalanan PP Jogja-Pati bersama Daihatsu Gran Max, kini justru saya nantikan. Saya menikmati sebuah tantangan baru. Lelahnya melewati jalan tanpa tol, bercampur bau ikan terbayar dengan indahnya persawahan, perbukitan hijau, dan tukang kopi di atas bukit yang dikelilingi hutan jati atau karet.
Saya sekarang bisa memahami kenapa mobil ekspedisi berukuran kecil lebih memilih menggunakan Daihatsu Gran Max. Mobil ini sangat tangguh untuk menjelajah sampai ke pelosok-pelosok daerah yang medan jalannya sungguh di luar dugaan dan membuat jantung sopir berdegup kencang.
Sebagai penutup, biaya BBM Jogja-Pati via Bawen menghabiskan 320 hingga 340 ribu rupiah menggunakan Pertalite. Sementara via jalur Boyolali hanya berkisar 300-320 ribu pulang pergi Jogja-Pati. Soal kendali dan tenaga, jangan ditanya, Daihatsu Gran Max ada di angka 8 dari 10 bagi saya pribadi.
Penulis: Khoirul Fajri Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Saking Banyaknya Kegunaan Gran Max, Kamu Bakal Bingung Ini Mobil atau Aplikasi Gojek dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.