Bus Mataram Magelang Wonosobo Semrawut, Kernet Aktif Berteriak, tapi Justru Bikin Kangen

Bus Mataram Magelang Wonosobo Semrawut, tapi Bikin Kangen MOJOK.CO

Bus Mataram Magelang Wonosobo Semrawut, tapi Bikin Kangen MOJOK.CO

MOJOK.CO Bus Mataram Magelang Wonosobo isinya semrawut, dengan sopir dan kernet yang hobi sekali berteriak. Namun, entah kenapa, justru bikin kangen. 

Kamis pekan lalu, selepas turun dari Bus Sinar Jaya angkatan pagi rute Bogor Wonosari di Tugu kota Parakan (Galeh), saya menuju jalan Parakan Wonosobo. Saya menunggu Bus Mataram Magelang Wonosobo.

Parakan, ketika itu, sudah Magrib dengan gerimis tipis sebagai penghias senja. Tujuan saya di senja itu ke Sigandul View Coffee and Resto yang berada di kecamatan Kledung Temanggung. Parakan Sigandul sendiri berjarak 8,1 kilometer (mengacu pada Google Maps). Bila jalan kaki, saya akan memakan waktu 1 jam 39 menit. Kalau naik mobil atau motor, memakan waktu 16 menit. Kontur jalan dari Parakan ke Sigandul didominasi tanjakan sehingga akan membuat ciut nyali supir fresh graduate.

Selang beberapa menit menunggu, Bus Mataram Magelang Wonosobo yang saya tunggu tiba. “Sobo! Sobo!” Terdengar suara kernet bus. Dia memendekkan “Wonosobo” menjadi “Sobo”. Begitu juga dengan kata “Temanggung”, menjadi “Manggung”. 

“Sobo Manggung! Sobo Manggung!” Demikian yang biasa saya dengar bila naik dari Magelang. Entah sang kernet mengucapkannya seperti itu atau karena cepatnya pengucapan.

Bus yang saya tunggu di senja itu ialah Bus Mataram Magelang Wonosobo berbodi hijau dengan 2 pintu, tengah dan belakang. Saya naik melalui pintu tengah sehingga dan dapat kursi di tengah. Bus medium ini menggunakan Mitsubishi dan digawangi 2 personel, supir dan kernet.

Sebagai penumpang dengan hobi mengamati berbagai hal, Bus AKDP Putra Mataram dan yang sejenisnya ini “agak laen” dengan bus Trans yang ada. Misalnya, Trans Jateng atau Trans Jakarta. Meski agak berbeda, tapi Bus Mataram Magelang Wonosobo ini ngangeni

Sopir dan kernet yang lebih bebas

Sopir dan kernet Bus Mataram Magelang Wonosobo ini teramati berkostum tanpa seragam baku. Bebas mau pakai apa saja. Mau pakai kaos, kemeja, atau jaketan juga biasa saja. Bercelana denim, bahan, atau celana hansip juga boleh. Bebas. Biasanya handuk kecil menjadi aksesoris wajib yang dibawa untuk mengelap cucuran keringat.

Alas kaki juga bebas. Bisa sepatu, sandal Adidas KW, maupun sandal Swallow dengan bagian atas putih, bawah hijau, dan bertali hijau. Sangat kontras dengan sopir dan kernet bus Trans. Mereka harus memakai seragam khusus dan pakai sepatu ketika melayani penumpang.

Bebas berikutnya adalah bebas merokok! Seperti yang kita tahu, banyak yang melarang asal rokok di dalam bus. Misalnya di bus Trans yang lumayan ketat.

Namun, di beberapa kesempatan perjalanan, punggawa Bus Mataram Magelang Wonosobo ini masih ada yang merokok.

Selain itu, yang “laen” dari Bus Mataram Magelang Wonosobo adalah kebebasan kernet untuk berteriak dan jadi daya tarik sendiri.

“Sobo! Sobo!”

“Magelang! Magelang! 

“Parakan!”

Teriakan kernet akan lebih meyakinkan calon penumpang, walau tulisan rute sudah terpampang di kaca depan Bus Mataram Magelang Wonosobo. Saya salah satu penumpang yang memiliki keyakinan mantap bila telah mendengar teriakan rute dari sang kernet. Lain hal dengan bus Trans, di mana rute perjalanan sudah tertulis dengan rapi di halte, kaca depan bus, maupun aplikasi.

Baca halaman berikutnya: Sebuah bus yang semrawut, tapi bikin kangen.

Perilaku penumpang Bus Mataram Magelang Wonosobo yang nggak kalah unik

Beda dari bus Trans yang mayoritas penumpangnya adalah masyarakat perkotaan dan penyangga kota, Bus Mataram Magelang Wonosobo dan sejenisnya lebih banyak melayani masyarakat pedesaan dan kota kabupaten. Hal ini yang menyebabkan penumpang bus ini mempunyai perilaku unik.

Salah satunya adalah keberanian penumpang untuk menawar harga tiket. Misalnya, “Biasanya 5 ribu kok sekarang 7 ribu!” Ada juga begini: “Loh., saya tadi dari pasar, deket itu, kok bayarnya 10 ribu!”. Si kernet biasanya akan melawan sambil senyum-senyum.

Selain menawar ongkos bus, terkadang penumpang membayar dengan uang yang sudah lusuh, kotor, dan lecek. Penumpang mengeluarkan uang tersebut terkadang dari peci hitam, kantong kemeja putih garis-garis yang sudah lusuh, sela-sela buku yasin ibu-ibu sepulang yasinan di desa sebelah, maupun dari kantong kemeja korpri khas guru honorer yang lesu karena gajinya masih nunggak 2 bulan.  

Penumpang Bus Mataram Magelang Wonosobo ini saya saksikan berinteraksi dengan sesama penumpang maupun dengan sopir atau kernet. Bahkan penumpang dan sopir atau kernet sudah ada yang saling kenal karena seringnya berinteraksi di dalam bus ini. Lain dengan penumpang di bus Trans yang kebanyakan lebih sibuk dengan hape masing-masing. Bagi saya interaksi antara sopir, kernet, dan penumpang adalah hal yang bikin saya kangen.

Ketika penumpang akan naik atau turun, komando ada di kernet atau penumpang bukan sopir

Kalau bus Trans, mereka sudah punya halte yang pasti. Jadi, sopir pasti akan berhenti secara otomatis untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Walau halte kosong, bus tetap berhenti selama beberapa detik atau paling tidak memelankan laju bis.

Lain dengan Bus Mataram Magelang Wonosobo dan sejenisnya. Kalau penumpang mau turun, komando ada di kernet atau bahkan si penumpang sendiri. Biasanya, ketika akan naik, calon penumpang akan melambaikan tangan ke arah bus, lalu sopir akan berhenti di depannya. 

Ada kalanya bis berhenti agak jauh sehingga calon penumpang harus berjalan bahkan berlari. Bila calon penumpang diam saja, bis tidak akan me-notice. Bus Mataram Magelang Wonosobo akan jalan terus.

Bila sudah naik, penumpang memberitahukan lokasi turun kepada kernet. Lalu, kernet akan “teriak” menginfokan supir bahwa ada penumpang yang akan turun. Namun terkadang, penumpang memberitahukannya langsung kepada supir. Misalnya:

“Kantor PLN, Pak!”

“Depan ya, Mas!” 

Mriki mawon, Pak!

Terkadang penumpang atau kernet menginfokan sopir dengan cara mengetok-ngetok kaca atau tiang di dalam bis menggunakan uang logam. Bunyi yang dihasilkan sangat ngangeni terutama bagi penumpang yang sudah lama tidak naik bus ini.

“Sigandul! Sigandul!”

Teriakan sang kernet membuat Bus Mataram Magelang Wonosobo itu perlahan menepi. Ini tanda saya harus bersiap turun. 

Suwun nggih, Mas”, ucap saya ke sopir dan kernet. 

Nggih!” Balas mereka bersamaan. Saya turun di depan Sigandul View Coffee and Resto sembari memandang Bus Mataram Magelang Wonosobo berbodi hijau perlahan meninggalkan saya. Ah, saya lupa tanya nama kernet dan sopir. Semoga bisa berjumpa lagi!

Penulis: Hanif Ibadurrahman

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Riwayat Bus Mulyo Jogja Purwokerto, Mantan Raja Jalur Selatan Andalan Buruh Gendong Pulang ke Kulon Progo dan pengalaman menarik lainnya di rubrik OTOMOJOK.

Exit mobile version