Ledok, Kendaraan Legendaris di Pesantren Saya Setelah Buraq dan Awan Kinton

Saya akan membela Mojok dari cemooh Mas Dinar Zul Akbar yang mengatakan bahwa Mojok berpihak pada kapitalis asing. Itu tidak benar. Buktinya tulisan Anda tentang sepeda dimuat. Kalau bukti itu masih belum kuat, izinkan saya menulis tentang ledok, satu jenis kendaraan yang tidak ada kapitalis-kapitalisnya sama sekali. Bukan tidak mungkin selepas tulisan ini, Mojok akan memuat review buraq atau awan kinton yang tidak punya nilai komersil sama sekali itu.

Mungkin tidak semua dari kalian familier dengan ledok. Bagi Mojokiyah yang hidupnya di perdesaan pasti pernah dengar walau sepintas. Grandong atau odong-odong adalah nama lainnya. Bukan odong-odong yang lagunya memekakkan itu, yang ini kendaraan roda empat yang tubuhnya dikomersialkan untuk mengangkut bahan bangunan atau untuk menggiling (kata orang Jawa: nyelep, nyelip) padi dan jagung.

Awal mula saya mengenalnya yakni saat SD. Saat itu jam pelajaran di sekolah belum se-full day sekarang. Saya masih ingat, biasanya waktu pulang sekolah bertepatan dengan waktunya ledok berkeliling. Namanya juga anak kecil, saya dan teman-teman tetap nebeng nggandhol kendaraan itu walaupun sopirnya melarang. Jenis ledok yang sering lewat dan saya naiki adalah yang digunakan untuk menggiling padi dan jagung. Warna cat hijaunya yang sudah terkelupas seakan menegaskan keselarasannya dengan tanaman yang akan ia giling.

Ada dua mesin yang dikombinasikan pada kendaraan yang orang desa saya sebut ledok selep itu. Pertama, mesin yang berfungsi menggerakkan ledok selep sebagaimana umumnya mesin mobil. Kedua, mesin yang digunakan untuk menggiling padi dan jagung.

Perbedaan fungsi kedua mesin tersebut disatukan bukan oleh Pancasila, tapi bahan bakar solar. Oleh sebab itu, wajar bila para pemilik ledok selep banyak yang tidak sepakat dengan Jokowi ketika membentuk UKP-PIP (Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila). Namun, ketidaksepakatan mereka tidak akan pernah sampai ke telinga Jokowi. Media tidak akan pernah menganggap rerasan mereka sebagai berita yang aktual. Seberapa penting suara mereka itu? Gak penting blas.

Maka, kedua corong ledok selep yang menghadap langit menjadi simbol pengaduan mereka kepada Yang Maha Kuasa yang kekuasaan-Nya melebihi kuasa Jokowi dan media. Kedua corong tersebut juga berfungsi sebagai tempat memasukkan padi atau jagung yang akan digiling oleh mesin yang tepat berada di bawahnya. Setelah melalui proses penggilingan, padi atau jagung akan keluar melalui lubang yang mirip perosotan anak TK. Oiya, hampir lupa, ada dua lubang perosotan di ledok selep ini, yang pertama sebagai tempat keluarnya bulir padi atau jagung, yang lainnya sebagai lokasi keluarnya merang (kulit padi) atau batang buah jagung.

Begitulah deskripsi ledok selep yang sangat sering saya naiki dan ditunggu para petani. Kalau petani yang menunggu, tentu bukan karena ingin nebeng nggandhol. Dengan adanya alat ini, mereka tidak perlu menjual padi atau jagungnya kepada tengkulak. Mereka cukup menggiling dengan pembayaran yang seikhlasnya (begitu kata pemilik ledok selep yang biasanya merangkap sopir), setelah itu disimpan dalam lumbung. Kalau kepepet butuh uang baru dijual sendiri.

Ledok jenis lain saya jumpai (dan kemudian naiki) ketika mondok di Mojo, Kediri. Namanya ledok matrialan, biasa dipakai mengangkut bahan bangunan. Di pondok saya, santri diperbolehkan masuk sekolah umum. Walhasil, saat-saat itulah kabur dari pondok menaiki ledok matrialan mengalahkan nikmatnya pacaran dengan santri pondok putri.

Awalnya saya tak percaya ketika seorang teman mengatakan bahwa ledok matrialan adalah salah satu kendaraan yang wajib dinaiki selain buraq, angin Nabi Sulaiman, atau awan kinton Son Go Ku. Selain karena sudah sering naik ledok selep saat SD, umur saya juga sudah tak mengizinkan. Masak sudah khitan masih naik ledok matrialan.

Apalagi kalau melihat bentuk fisiknya yang bikin trenyuh. Catnya yang sudah tidak bisa diidentifikasi, gerobak belakangnya yang lebih mirip gledekan daripada pikap L300, belum lagi bila gerobak itu sedang melakukan tugasnya mengangkut material, suaranya itu lo, kreket-kreket-kreket. Sungguh, dari radius 2.000 sentimeter saja sudah membuat telinga seperti disayat-sayat oleh silet berkarat.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Saya dipaksa oleh-Nya untuk merasakan naik ledok matrialan.

Pada hari yang tidak terlupakan itu, saya memilih menghabiskan jam pelajaran setelah istirahat bukan di sekolahan, tapi di rental PS. Kersane Ngalah, Keamanan Pondok sedang melakukan operasi gabungan bersama polsek dan bagian kesiswaan. Mereka berdatangan saat Ronaldo, yang waktu itu masih berseragam Manchester Unyu sedang meliuk-liuk melewati adangan bek-bek Arsenal.

Saya kaget. Begitu juga teman-teman lain.

Dalam keadaan yang tak terduga, bangkitlah naluri primitif manusia untuk bertahan hidup. Ada yang lari ke belakang, ada yang ngumpet di kolong meja, ada juga yang memilih pasrah. Tapi, saya tidak termasuk dalam semua kategori itu. Saya memilih ngumpet di ruangan yang biasa dipergunakan sebagai musala. Di situ saya melihat ada mukena yang menggantung, mungkin mukena istri pemilik rental. Tanpa berpikir panjang, saya langsung mengenakan mukena dan berpura-pura sedang salat ketika tim razia gabungan memeriksa ke dalam. Alhamdulillah, kumis dan jambang saya saat itu belum tumbuh. Seandainya sudah selebat sekarang, pasti mereka menangkap saya karena diduga teroris yang sedang menyamar.

Setelah tim razia gabungan pergi, saya segera keluar dengan masih memakai mukena untuk berjaga-jaga. Ternyata, hanya saya saja yang masih ada di rental PS. Teman-teman lain sebagian besar sudah kabur, sisanya tertangkap. Terpaksa saya harus menanggung beban yang mereka tinggalkan: membayar sewa PS. Totalnya dua puluh ribu rupiah. Picek.

Ibarat pepatah, ketiban tangga yang berjatuhan tiada henti, saya masih mengalami kesialan lainnya: lapar sementara uang saya sudah habis, dan tim gabungan itu masih berpatroli di jalan. Asu. Mengetahui kenyataan yang begitu perih membuat saya sejenak hilang ingatan di warung makan sebelum akhirnya suara kreket-kreket ledok matrialan terdengar dari kejauhan.

Menunggu bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Saya harus naik ledok matrialan itu. Terserah mau ke mana ia membawa saya. Yang penting saya tidak tertangkap, batin saya waktu itu.

Karena sudah bosan bercerita sebagaimana kalian sudah bosan dengan janji-janji Jokowi, saya akan menyingkatnya. Setelah naik gerobak belakang ledok matrialan, saya berhasil lolos dari patroli tim razia gabungan. Dan lapar yang saya rasakan segera terpuaskan di kantin pondok.

Exit mobile version